=========================================================
Judul bab merupakan pelesetan dari judul sebuah gim
yakni Shin Megami Tensei: Imagine (真・女神転生IMAGINE)...
Umaibou adalah nama makanan ringan berupa stik yang berbahan dasar jagung...
Seri ini bisa kalian baca lebih cepat satu hari di I-Fun Novel...
Umaibou adalah nama makanan ringan berupa stik yang berbahan dasar jagung...
Seri ini bisa kalian baca lebih cepat satu hari di I-Fun Novel...
Selamat menikmati...
=========================================================
Setiap sebulan
sekali diadakanlah apel untuk seluruh murid di tempatku bersekolah, yakni SMA
prefektur Maegasaki.
Sambil menunggu
dimulainya acara di dalam gedung olahraga, kusapa teman yang berbaris di
sampingku ini.
"Sekilas info.
Diriku akhirnya mendapat seorang istri."
"Wah, tahun
ini sudah yang keberapa kali, Nishimura?"
Jawab teman
sekelasku dengan ekspresi jengkel.
Nishimura adalah
namaku di duta.
Tidak, maksudku,
itu memang namaku, tidak perlu ditambah di
duta segala.
Bukankah telah
berkembang menjadi kebiasaan jika menambahkan kata di duta untuk hal-hal berkenaan dengan dunia nyata bagi orang-orang
yang sudah terlalu membenamkan diri di internet?
"Dengarkan
dulu dan kamu akan terkejut. Dia ini yang pertama."
"Sudahlah,
bohongmu itu kelihatan jelas. Kamu berganti istri setiap tiga bulan
sekali."
Aku berusaha
mengatakannya dengan sangat serius, namun sekeras itu disangkal.
Hmm, bagaimana
kalau menunggu sebentar sebelum menjawabnya?
Tidak harus
blakblakan seperti itu juga, 'kan?
"Memangnya
kamu tidak punya tanggapan lain? Yah, seperti, Kamu benar-benar sudah menikah?! contohnya."
"Tidak."
"Padahal aku
bisa saja terkena serangan jantung kalau kamu bilang sudah punya pacar."
"Aku justru
bisa lebih kaget lagi kalau dua puluh tahun mendatang kamu menghubungiku dan
bilang akan menikah."
"Itu tidak
bisa kubantah, tapi bukankah ada cara yang lebih baik untuk
mengatakannya?!"
Lalu teman-teman
sekelas yang lain ikut bergabung mengiringi komentar yang sangat mengerikan
tadi.
Salah satu dari
mereka mengerutkan keningnya dengan tatapan bingung.
"Memangnya
yang dimaksud istri tadi siapa?"
"Istri yang
sedang dibahas itu hanyalah sosok karakter yang mereka sukai."
"Ya, ya, itu soal
waifu."
"Ih,
menjijikan."
"Hentikan!
Rasanya sakit sekali saat kamu mengatakannya dengan wajah datar begitu!"
Kupegangi kepalaku
dan bertindak berlebihan seolah terkena damage.
Meski begitu,
gerakan terluka tadi hanyalah akting. Tidak benar-benar separah itu.
Ini adalah ...,
yah, sebuah variasi dari asam garamnya kehidupan.
Rata-rata orang di
setiap kelas dalam suatu sekolah pasti punya yang namanya karakter. Iya, 'kan?
Atlet dari klub
olahraga, anak band yang tahu banyak
tentang musik, tipe ketua kelas dengan nilai bagus, berandalan yang agak
vulgar, semacam itulah.
Tapi nilaiku
rata-rata di antara rata-rata, aku bagian dari Klub Pulang ke Rumah dengan
bermain gim daring sebagai hobi. Seorang anak SMA biasa tanpa satu elemen
penting pun untuk bersosialisasi dengan riajuu.
Kupikir aku akan
berusaha keras dalam menciptakan karakter untuk bertahan di kelas, dan alhasil—
"Nishimura,
kamu ini memang otaku, ya ...."
"Terserah. Aku
menikmati hidup dengan caraku sendiri."
"Ya, sudah,
lain kali perkenalkan aku pada waifu-mu
tadi."
"Yang penting
dia harus mencari cara dulu untuk keluar dari monitor."
Ya, aku ini otaku yang terbuka.
Biarpun demikian,
tidak disangka ini cukup menyenangkan. Otaku
adalah karakter vital, jadi aku bergaul di kelas tanpa perlu menahan diri.
Betul, misalnya,
"Oh, iya,
Nishimura, kudengar komedian Jumbo Satou melakukan siaran langsung secara
daring. Apa itu benar?"
"Ah, ya, itu
benar. Kemarin juga begitu"
"Ah, masa?
Acaranya bagus, tidak?"
"Kamu pasti
paham kalau menontonnya sendiri, yang jelas itu membosankan."
"Benar, 'kan?!
Sudah kuduga!"
Kelihatannya untuk
topik seperti ini, keberadaanku tidak akan tergantikan.
Khususnya sebagai otaku yang terbuka untuk memenuhi
kebutuhan jika ingin membahas topik itu, bicaralah
dengan orang ini.
Individu yang mau
menerima pembahasan aneh, seseorang yang sanggup memberikan rasa nyaman
terhadap hal tersebut.
Dalam percakapan
tentang siaran langsung melalui internet, teman-teman sekelasku ikut
menambahkan, merasa lega, mungkin karena aku bisa begitu saja menjawab,
"Aku menontonnya," pada mereka.
"Orang itu
hanya bisa mengomentari dirinya sendiri, ya?"
"Betul, betul,
tanggapan yang dia berikan selalu sama. Itu
jumbo! salah satunya."
"Pasti ada
banyak komentar di sana."
"Tapi anehnya,
hal tersebut kadang bisa membuat ramai meski yang dia lakukan hanya itu-itu
saja."
Dan teman sekelasku
yang lain pun ikut masuk ke dalam percakapan. Mereka pasti menyaksikan sendiri
siaran langsungnya.
Namun agar tidak
dicap sebagai otaku karena ikut
membahas hal semacam ini, mereka sengaja mengarahkan pembicaraan melalui
diriku.
Lagi pula, selama
berbicara denganku sambil menyatakan semua hal yang aneh, mereka akan
dimaklumi.
Dengan alasan,
mengikuti arah pembicaraanku karena aku sendiri tidak punya topik lain untuk
dibahas.
"Siapa yang
peduli dengan pelawak yang hanya bagus dalam hal menyindir. Ah, aku ingin punya
pacar."
"Jangan bahas
hal yang sensitif."
"Kalau waifu juga masuk hitungan, aku punya
satu."
"Jangan bahas
hal yang sensitif, Nishimura"
Tentu saja, topik
normal juga ikut bercampur seperti ini.
Tidak perlu
menyembunyikan diri dan ada banyak topik dalam subkultur. Bahkan jika diriku
tidak bisa mengikuti pembahasan riajuu,
tidak masalah, inilah karakterku.
Secara pribadi,
kupikir diriku telah menetapkan tempat yang cukup bagus untukku sendiri.
Satu-satunya
masalah adalah— mungkin pandangan gadis-gadis terhadapku.
"Menjijikkan
...."
Dan suara itu
terdengar dari arah samping belakangku.
"Terus saja
mereka membahas hal-hal hina. Otaku
memang menjijikkan. Jangan dekat-dekat. Aku serius!"
Aku lalu menoleh.
Itu mereka, para gadis di kelasku — melihatku dengan tatapan dingin.
Peran seorang otaku terbuka diiringi dengan sebutan
sporadis menjijikkan dan menjengkelkan yang sudah bisa ditebak.
Ini agak menyebalkan, tapi begitulah sikap gadis-gadis SMA.
Gadis itu bernama
Segawa siapalah jika aku tidak salah.
"Memangnya ada
apa, Segawa? Jangan hantam rata ke semua otaku
dan menganggap mereka menjijikkan. Di dunia ini ada juga otaku yang berpengetahuan luas contohnya dalam hal anggur atau
bunga. Kamu sudah melecehkan mereka."
Mata Segawa semakin
memicing setelah aku menjawabnya tanpa formalitas.
"Tepatnya,
kamu yang menjijikkan, Nishimura"
"Itu tidak
bisa kubantah, jadi hentikan!"
"Ah,
Nishimura, betapa menyedihkan. Kebenarannya sungguh menyakitkan, ya?"
"Kita tahu
kalau dia memang menjijikkan, tapi kamu tidak perlu sejelas itu menunjukkannya,
'kan?"
"Kalian justru
lebih kejam!"
Yah, beginilah
adanya, aku tidak akan pernah mendapatkan pacar atau apa pun itu.
Jujur saja, aku
sudah menyerah. Yang kubutuhkan hanyalah gim-gimku.
"Tetap saja,
andai dia menjaga ucapannya, Segawa bisa terlihat lebih manis."
"Kamu belum
dengar, ya? Maeda yang duduk di sampingnya ternyata sudah menyatakan cinta
padanya, dan seketika itu pula dihabisi."
"Astaga.
Heroik sekali."
"Padahal dia
sendiri cukup aneh. Oh, iya, Segawa itu tipemu, 'kan, Nishimura? Lihat,
wajahnya lumayan, dia juga mungil, belum lagi dengan gaya rambut twintail-nya."
Bisikan teman-teman
sekelas mendorongku untuk mengalihkan pandangan pada gadis tadi.
"Eng, kalau tsundere tidak masalah, tapi dia hanya tsun saja, sih .... Waduh ...."
Tatapanku bertemu
dengan sepasang mata yang dipenuhi dengan niat membunuh yang nyata.
"... kamu cari
mati, ya?"
"Ampun!"
"To-tolong
ampuni Nishimura! Satu-satunya kejahatannya adalah rasa cintanya terhadap twintail! "
"Menjijikkan
sekali .... bisakah kamu jangan menghirup udara yang sama denganku?"
"Aduh,
sakitnya!"
Tidak perlu sampai
sekejam itu, 'kan?!
Tubuhku lalu
tersentak dan pundakku terdorong oleh seorang gadis dari kelas sebelah.
"Kyaa
...."
"Ah, maaf.
Kamu tidak apa-apa?"
"Ah, tidak,
aku ...."
Gadis itu mundur
seolah takut lalu bolak-balik menggelengkan kepala. Wajahnya tidak begitu bisa
terlihat karena dia menunduk dan tertutupi poni yang panjang, tapi sepertinya
dia benar-benar takut.
Apakah otaku semenakutkan itu?
Kurasa begitu, maaf
karena aku berada di dekatmu.
Yah, seperti itulah
pandangan mereka di masyarakat umum.
"Apel akan
segera dimulai. Semua harap tenang."
Ucap malas seorang
guru yang bertugas dari depan kelas. Seorang guru perempuan berumur dua puluhan
yang masih lajang. Aku tidak akan berkomentar mengenai kurangnya semangat
beliau meskipun masih muda, tapi beliau — Saitou-sensei — adalah seorang guru
Bahasa Jepang yang sangat biasa.
Diiringi dengan
jawaban, "Baik," yang terdengar cuek, kelas pun mulai menenang.
{Selamat pagi,
teman-teman. Saya Goshouin, ketua OSIS kalian. Sekarang akan kita mulai apel
sekolah.}
Sungguh,
kenyataannya tidak pernah sama sekali.
Namun tetap saja
....
Fakta bahwa aku
memiliki seorang istri itu benar, sungguhan dan nyata.
††† ††† †††
Kudengar erangan
monster saling bersahut-satuan dari headphone
di telingaku.
Karakter yang
kukendalikan — [Rusian] — berlari menembus ke dalamnya sebuah dungeon dengan segenap tenaga.
Tidak hanya satu.
Ada cukup banyak monster yang mengejar hingga memenuhi layar.
"Aah, sial
.... Menjengkelkan sekali."
Salah satu monster
berhenti dan meninggalkanku dari jangkauan deteksinya sembari aku terus berlari.
Aku pun berbalik
setelah berputar-putar di sekitar gerombolan musuh, sayangnya proses itu
memangkas lebih banyak life point-ku
— garisnya berkurang lagi.
Biasanya gaya
bermain ini hampir tidak memerlukan banyak usaha dan aku tidak akan pernah berbuat
kesalahan di situasi begini.
Namun sejak awal
ini sudah menjadi rentetan kesalahan. Hal yang bagus jika bisa kembali ke
sekutuku dengan life point setidaknya
tersisa delapan puluh persen, tapi kini justru sudah lenyap separuh. Aku pasti
kurang berkonsentrasi.
Dan aku tahu
penyebabnya.
Itu karena
percakapan di antara para anggota guild
-ku yang membanjiri jendela obrolan di bagian bawah layar.
Semua gara-gara
itu. Ini bukan salahku. Bukan aku yang harus disalahkan.
◆
Ako: Lalu aku mengajak Rusian untuk ikut
denganku ke tempat kami pertama kali bertemu dan menyatakan perasaanku di sana.
◆
Apricot: Akhirnya. Aku selalu penasaran kapan hal itu akan terjadi, tapi tidak
pernah kusangka kalau yang menyatakannya duluan adalah kamu, Ako.
◆
Schwein: Sampai butuh waktu selama ini,
ya? Astaga, dia pengecut sekali, wkwkwk.
◆
Ako: Tapi Rusian sempat menolakku ....
◆
Apricot: Serius? Maksudmu, dia sempat bilang, tidak, padamu, Ako? Apa mentalnya sedang terganggu?
◆
Schwein: Huh, orang sepertiku ini tidak akan pernah berbuat begitu jika di posisinya, wkwkwk. Kenapa bisa ada orang
sebodoh itu, wkwkwk?
◆
Ako: Kesedihan mendalam di luar imajinasi terliarku telah mendera diriku ....
"Orang-orang
ini ...."
Mungkin sebaiknya
kuhabisi mereka yang berkata seenak jidatnya itu bersama dengan rombongan musuh
ini.
Aku lalu berlari
dalam kecepatan penuh diiringi pikiran jelek ke tempat sekutuku. Bukan untuk
membunuh monster, melainkan untuk menghentikan obrolan tersebut.
◆
Ako: Tapi Rusian kemudian berkata, "Tidak perlu menyia-nyiakan uang untuk
hal seperti itu," sewaktu aku bersiap melakukan enchant pada sebuah cincin. Dan setelah mengatakannya, dia pun
memberikan cincin berharga sekitar dua puluh juta yang memiliki efek peningkatan di setiap statistik ketahanan.
"Uoowaaaaah,
cepaaaaaaat!"
Aku berlari sekuat
tenaga mendekati sekutuku sebelum gadis itu mengungkapkan lebih banyak hal
lagi.
Karakterku dulunya
adalah pengguna pedang besar namun sekarang kebalikannya, pengguna perisai
besar, dan mulai berperan sebagai penerima serangan musuh.
◆
Rusian: Ayo semuanya, mangsa sudah di depan mata!
Serangan
bertubi-tubi mengarah padaku selagi aku bertahan. Life point yang berangsur pulih pun langsung terkikis, dari yang
garis ukurannya berwarna hijau kini menjadi kuning.
◆
Schwein: Si penggerutu itu biarpun terus mengomel tapi masih mau mengurusi
semuanya, ya, wkwkwk.
◆
Apricot: Lelaki tsundere memang unik.
◆
Rusian: Jangan mengobrol saat ada yang membawa rombongan monster pada kalian! Ayo urus mereka, Shiu!
Oi, aku yang babak
belur di sini, tahu?! Aku bisa mati, tahu?!
◆
Schwein: Jangan ceramahi aku, dasar suami penggerutu, wkwkwk.
Pesan itu muncul
dan rekanku dengan pedang besarnya, Shiu — tepatnya, Schwein — mulai menghujani musuh dengan serangan.
◆
Rusian: Bagaimana dengan semua musuh yang kubawakan padamu ini, kampret?
◆
Schwein: Pikirmu serangga-serangga kecil ini bisa membunuh Schwein yang hebat, hah?
Kenapa dia berlagak
sombong begitu, padahal dia sendiri tidak akan mampu bertahan dari separuh
rombongan ini.
◆
Ako: Selamat datang, Rusian.
Dan waifu-ku, Ako sang Cleric dengan senang hati menyapaku.
Tidak, hei, kamu
adalah healer. Itu bukanlah profesi yang
punya waktu bersantai dan mengetik obrolan saat bertempur.
◆
Rusian: Sudahlah, heal saja! Heal, Ako!
Susah payah aku
mengurangi jumlah musuh disertai rasa kesal pada rekan-rekanku yang begitu
santai.
Meski begitu, garis
ukuran yang melayang di atas karakterku ini terus terkikis dengan cepat.
Penanda bahwa life point kurang dari separuh, warnanya
berubah dari kuning menjadi merah.
"Oi, oi, oi, heal, ayo, heal!"
Tanda kritisnya
kehidupan muncul pada karakter Rusian yang kukendalikan. Kondisinya sudah di
ujung tanduk.
◆
Ako: Maaf, Rusian, akan segera kulakukan. Tunggu sebentar!
"Banyak skill yang bisa kamu gunakan ketimbang
menghabiskan waktu untuk mengetik obrolan!"
Beberapa detik
berlalu selagi aku lanjut menggerutu. Kemudian efek cahaya hijau berkelap-kelip
di layar.
Skill
penyembuhan bekerja dengan baik.
—tepat di tengah
gerombolan musuh.
◆
Rusian: Kamu ini sedang apa?!
◆
Ako: Ma-maaf, Rusian!
Kalau begitu
kendalikan karakternya ketimbang mengetik seperti tadi!
Tepat ketika aku
pasrah akan kematian, sebuah gelembung obrolan muncul di karakter pria berjubah
yang berdiri di belakang Ako.
◆
Apricot: Ha-ha-ha, tidak perlu khawatir. Saksikanlah, kekuatan tongkat yang diperkuat seharga 150 ribu yen ditambah magic booster sekali pakai berharga tiga
ratus yen yang gratis satu jika membeli satu set berisi sepuluh!
◆
Rusian: Kenapa memakai item berbayar
yang jelas-jelas mengeksplotasi penggunanya?!
Itu sangat boros!
Lebih baik hentikan!
Meski pikiran
seperti itu terlintas, sihirnya terlanjur diaktifkan tanpa sempat dihentikan.
Sebuah ledakan
dengan efek khusus yang unik dari item
berbayar, lebih mengesankan daripada yang biasa, ditambah pula efek suara yang
menakjubkan. Jumlah damage yang tidak
masuk akal menutupi layar.
◆
Ako: Luar biasa, Master. Monster-monsternya sampai berserakan!
◆
Apricot: Ha-ha-ha, inilah kekuatan dari tongkat legendaris!
Atau kekuatan uang
— sebuah legenda memalukan.
Tapi dengan item berbayar yang menambah kekuatan
pada tongkat berbayar yang sebelumnya sudah punya daya serang tinggi, meteorit
yang menghantam area tadi telah meluluhlantakkan seisi gerombolan monster
tersebut.
◆
Apricot: Fu-fu-fu, Dalam game ini tidak
ada yang lebih menyenangkan selain menghabisi lawan dalam sekali serang.
◆
Rusian: Wah, kamu bisa menghabisi monster-monster di sini dalam sekali serang?
Mengetahui seberapa
banyak serangan untuk membunuh musuh — terlepas dari sisi keberuntungan —
adalah salah satu faktor dalam memaksimalkan efisiensi perburuan monster,
terlebih jika itu hanya butuh satu serangan.
Tapi hal tersebut
bukanlah sesuatu yang harus dikejar dalam sebuah area perburuan di suatu
tingkat kesulitan.
Apricot-shi, master
dari guild -ku — Alley Cats — adalah
pengguna barang berbayar kelas berat, bahkan melebihi orang-orang yang ada di guild kelas berat sekali pun.
Jujur saja, hatiku
perih hanya dengan menyaksikannya. Memang bukan uangku yang berkurang, tapi
masih terasa sakit seolah aku sendiri yang kehilangan.
◆
Apricot: Tentu saja. Item berbayar
tadi bukan hanya untuk dipamerkan. Camkan ini, masing-masing meteorit tadi
setara dengan tiga puluh batang umaibou.
◆
Rusian: Tiga puluh batang. Satu batangnya seharga sepuluh yen ....
◆
Schwein: Jadi rentetan serangan tadi lebih berharga daripada Rusian? Wkwkwk.
◆
Rusian: Aku tidak semurah itu, tahu?!
Seberkas cahaya
hijau menyelimuti karakterku selagi kami berbicara.
Efek sihir
penyembuh yang telah lama ditunggu. Garis ukuran life point-ku kembali berwarna hijau.
◆
Ako: Maaf. Barusan jadi tertunda karena aku mengobrol.
Karakter perempuan
berbusana putih yang menundukkan kepalanya berulang kali itu adalah istriku,
Ako.
Syukurlah aku tidak
sampai mati. Meski begitu, dia masih belum banyak berkembang. Padahal sudah
hampir setahun sejak dirinya mulai bermain.
◆
Rusian: Yang penting jangan asyik mengobrol sewaktu berburu, ya?
◆
Schwein: Amat sangat disayangkan jika yang mati adalah diriku, tapi kalau Rusian, siapa yang peduli?
◆
Apricot: Bukankah sebagai suami yang baik, seharusnya kamu lebih pemaaf? Lain
kali berikanlah dia keleluasaan.
Karakter Ako dengan
senang menepuk tangannya karena kata-kata tak bertanggung jawab dari kedua
orang tadi.
◆
Ako: Aku mengerti. Kalau begitu, jangan terlalu serius, Rusian!
◆
Rusian : Jangan dianggap remeh! Heal
dengan cekatan!
Waduh, serius, ya
ampun.
Ini akan bisa lebih
santai kalau healer-nya agak mumpuni.
◆
Schwein: Hei, Rusian, bukankah ucapanmu
tadi sudah kelewatan terhadap istri sendiri?
◆
Apricot: Betul, itu bisa dianggap KDRT.
◆
Rusian: Yang tersiksa itu aku! Lagi pula, KDRT itu hanya berhubungan dengan
persoalan rumah tangga di duta saja!
Aku bahkan mulai
mengomel sambil marah-marah! Mereka terlalu baik pada gadis itu hanya karena
kami sudah menikah!
◆
Rusian: Omong-omong, sebentar lagi akan kugiring beberapa musuh kemari. Ako,
kamu tidak perlu memaksakan diri. Usahakan saja agar aku tetap hidup.
◆
Ako: Baiiik. Aku akan berusaha semampuku.
Jawab Ako dengan
senang hati.
Tepat sebelum
diriku pergi, sebuah bunyi *pikon♪* terdengar diiringi
dengan jendela obrolan yang terbuka.
◆
Ako: Terima kasih, Rusian.
Lalu dilanjutkan
dengan kalimat lain.
◆
Ako: Aku mencintaimu.
Singkatnya, aku
tidak bisa menolak.
Sebenarnya aku
tidak sanggup untuk kembali menikah karena trauma akibat melamar seorang gadis
gadungan, namun dia berusaha keras menepis semua alasanku dan menjadikanku
seorang pecundang.
Akhirnya aku punya
istri di dalam gim.
††† ††† †††
◆
Rusian: Ah, lelah sekali ....
◆
Apricot: Rusian, apa EXP-mu naik?
◆
Rusian: Yah, kurasa begitu.
Kami bersama-sama
kembali ke kota dan sekarang berkumpul di sebuah kafe yang sudah kami anggap
sebagai tempat rapat.
Mebel dengan kayu
ukir berkualitas tinggi dan BGM yang damai. Ini adalah salah satu tempat
favoritku yang punya suasana menyenangkan.
Seolah merupakan
hal wajar, Ako duduk tepat di samping karakterku — Rusian — yang sebelumnya
telah duduk di salah satu kursi kafe tersebut.
◆
Ako: Kerja bagus. Aku sangat menyesal telah membiarkanmu terbunuh berulang
kali, Rusian.
Karakter Ako
memperlihatkan gelembung obrolan selagi kepalanya mengangguk-angguk.
Yang tertulis pada
gelembung tadi adalah kata-kata Ako. Tentu saja, gelembung yang muncul membuat
setiap orang melihat kata-kata yang sama.
◆
Apricot: Hari ini memang lebih berbahaya dari biasanya, ya?
◆
Ako: Ya-yah ....
Sebuah efek suara
lembut *pikon♪* berdering setelah
mengeluarkan kata-kataku. Jendela baru terbuka di layar game pada saat
bersamaan.
Rupanya obrolan
modus bisikan dari Ako.
Bisikan, wis, tell,
adalah istilah bagi orang-orang terhadap jendela percakapan pribadi antara dua
pemain yang tidak bisa dilihat orang lain. Berbeda dengan mengobrol memakai
gelembung percakapan, di sini tidak perlu cemas orang lain akan mengetahuinya.
Ako sering mengirim
pesan obrolan bisikan bahkan saat kami sedang bersama orang lain.
◆
Ako: Yah, aku ingin mengobrol lebih banyak denganmu, Rusian, jadi ....
"Lagi-lagi dia
melakukannya ...."
Kawan baikku, Ako,
yang sudah kukenal selama hampir setahun dalam gim.
Dia adalah istriku.
Bisa kusebutkan masalah apa saja yang muncul atas hal tersebut, hanya saja, dia
memang istriku.
Kira-kira sudah
setahun sejak pertemuan pertama kami. Kami berkenalan sewaktu aku memberikan
beberapa saran sederhana kepada Ako yang benar-benar tampak seperti pemula.
Yah, hal seperti cara log out dan
semacamnya. Pemula yang tidak tahu bagaimana mengakhiri gim sebenarnya cukup
umum. Tidak selangka itu.
Namun gadis ini —
sang pemula sungguhan — menempel padaku layaknya anak ayam yang menganggap hal
pertama yang dilihatnya adalah sosok orang tua.
Tepat setelah aksi
bunuh diri pada Nekohime itu, aku meninggalkan guild lamaku dan bermain sebagai seorang solo player yang merana. Lalu entah bagaimana kini tanpa sadar aku
menjadi sosok penjaga Ako. Segalanya berubah menjadi seperti ini.
◆
Rusian: Ako, kita sudah menikah, jadi kamu tidak perlu berbisik, 'kan? Kita
tidak harus merahasiakannya, katakan saja langsung di depan umum.
Setelah membalasnya
melalui bisikan, aku kemudian menerima jawaban Ako selang beberapa saat.
◆
Ako: Sekarang aku ... berbicara langsung ... ke dalam ... hatimu ....
◆
Rusian: Oooi, Ako?!
◆
Ako: ... ini tidak sama ... seperti mengobrol dengan ... anggota guild lain .... Perhatikan
istrimu .... Istrimu .... Istrimu ....
◆
Rusian: Perhatikan aku!
Yah, dia terbawa
pikirannya sendiri. Tapi faktanya, aku tidak pernah bosan dengannya.
Baik ketika dia
sedang punya masalah, menemukan sesuatu yang menarik, tertarik akan sesuatu
atau punya hal untuk dibicarakan, dia akan menceritakannya kepadaku. Itulah
tipe karakter perempuan miliknya.
Bukan perempuan dalam arti harfiah, namun
hanya sekadar karakter perempuan.
Aku tidak tahu
seperti apa individu yang memainkannya.
Terus terang, aku
yakin jika itu bisa saja seorang lelaki.
Sebaliknya, aku
yakin tidak ada gadis sungguhan dalam sebuah gim daring.
Tidak, aku sadar
mereka ada di suatu tempat dalam dunia gim daring yang luas ini, tahu? Mungkin
saja ada satu di sekitarku. Iya, 'kan? Tentu saja, ada kemungkinan kecil kalau
Ako memang seorang gadis. Iya, 'kan? Tapi aku tidak ambil pusing. dalam gim,
aku adalah Rusian dan Ako adalah Ako. Bukan seorang perempuan, melainkan karakter perempuan.
Gim dan duta adalah
hal berbeda. Sama sekali tidak berhubungan. Itulah sebabnya ada karakter laki-laki dan karakter perempuan di sana, bukanlah
laki-laki dan perempuan dalam arti sebenarnya. Begitulah dalam benakku.
Ini yang terbaik
untuk kami berdua, sekaligus untuk kesehatan mental kami.
—Lagi pula, tidak
mungkin aku akan serius menyatakan perasaanku pada seseorang yang ternyata di
dalamnya adalah lelaki.
◆
Schwein: Tetap saja, Rusian, perkembanganmu akan melambat jika melawan beberapa
musuh saja sudah nyaris mati, wkwkwk.
Begitulah, Shiu
menyatakannya dengan bangga sekembalinya kami dari menghitung item yang sudah
dikumpulkan.
Dia selalu saja
menyombongkan dirinya atau semacam itu, walau ternyata dia adalah sosok tekun
yang mampu menangani pembagian item setelah kami selesai berburu. Sisi
seriusnya yang sesekali muncul itu kadang menggemaskan.
◆
Rusian: Dasar mulut besar, bagaimana kalau kamu gantikan posisiku?
◆
Schwein: Eh, kamu serius? Kamu serius bilang begitu? Lihatlah nanti dan
pelajari, akan kupancing mereka semua di kesempatan berikutnya.
Ujar Schwein
sembari melakukan gerakan penuh semangat.
Ako pun dengan
antusias bertepuk tangan.
◆
Ako: Sang penahan serangan sudah serius! Sekarang kita bisa menang!
◆
Schwein : Tidak, aku tetap menggunakan pedang.
◆
Rusian : Ako, apa kamu serius mengatakan itu?
Ya. Tidak mungkin
ada seorang gadis berkata seperti tadi.
Intinya, gim daring
dan kenyataan itu berbeda. Aku tidak begitu ambil pusing.
"Yah, sudah
kuperkirakan."
Kuterima bagian
jarahan dari perburuan kali ini sambil menghela napas.
Terus saja seperti
ini. LA memang tidak cukup bersahabat bagi para pemula. EXP akan terus
berkurang akibat penalti kematian. Kami mengalahkan semua monster hari ini,
namun penalti kematian merampas semua EXP yang kuperoleh. Yang kudapatkan
hanyalah uangnya saja.
Bukannya aku
terlalu peduli dengan yang diriku dapatkan, karena tujuanku adalah bermain
dengan semua orang.
◆
Apricot: Astaga, kalian berdua terus saja menempel hari ini.
Master berbicara
dengan pandangan yang mengarah ke karakter kami.
◆
Rusian: Menempel? Bukankah biasanya juga
begitu?
◆
Apricot: Jika itu sudah biasa, berarti ini semakin membuktikan rasa saling
mencintai kalian. Benar, bukan? Sudah hampir setahun sejak kita semua saling
mengenal, tapi kalian berdua selalu seakrab ini. Bisa-bisa jadi sungguhan.
Master mengangguk
di layar. Hentikan, ini akan terasa memalukan jika mulai berbicara soal cinta
dalam gim yang memiliki sistem pernikahan.
◆
Rusian: Ini tidak seperti itu. Aku serius.
◆
Schwein: Kenapa kamu jadi malu-malu begitu? Huh, dasar riajuu sialan.
Selesai dengan
pembagian emasnya, Schwein mengucapkan itu sambil mengangkat pedangnya.
Dia sedang apa?
Entah kenapa sistem pernikahan dalam gim bisa mendapat perlakuan seperti itu.
◆
Rusian: Kamu ini bicara apa? Yang seperti itu tidak lebih sekadar pencapaian
dalam kehidupan gim daring.
◆
Schwein: Benar juga ..., eh, tunggu dulu. Aku nyaris menjadi seperti mereka.
Soalnya ada yang menyatakan perasaannya padaku beberapa hari lalu.
◆
Apricot: Oh, terdengar menarik.
◆
Rusian: Serius?! Shiu, jangan-jangan kamu memang seorang lelaki tampan?!
Aku jadi iri. Dia
memperoleh nasib yang jauh lebih baik daripada diriku.
Sial, lelaki tampan
sebaiknya mati saja—
◆
Ako: Argh, Shiu-chan, sebaiknya kamu mati
saja.
◆
Rusian: Eh?
◆
Schwein: A-Ako?
Tidak seperti
biasanya, Ako yang di sampingku ini tampak emosi.
Bahkan dia
melanjutkan perkataannya tanpa menghiraukan kebingungan kami.
◆
Ako: Kenapa semua riajuu sialan itu tidak mati saja? Kenapa mereka masih
berada di gim ini jika sudah mendapat pernyataan cinta? Mereka harus segera enyah
dari gim ini. Ada di sekitar mereka saja sudah membuatku depresi. Argh, tidak
bisakah orang-orang itu punah saja dari
muka bumi? Mereka tidak ada gunanya bagi dunia, fufufufufufufufu.
◆
Rusian: Ako, tenang, tenanglah!
◆
Schwein: Aku tidak mengiyakannya, aku menolaknya! Aku tidak peduli dengan
hal-hal berbau romansa!
◆
Ako: Fuhi fuhi fuhihihihi.
◆
Rusian: Sadarlah!
Aku membujuk Ako
untuk menenangkan diri.
Ya, benar, istriku
terkadang bersikap aneh.
◆
Rusian: Sama sepertimu, aku juga membenci para riajuu, tapi jangan sampai tertuju ke rekan
sendiri.
◆
Ako: I-iya, aku minta maaf.
Ako sedikit
menundukkan kepalanya.
◆
Schwein: Aku juga begitu, kok, wkwkwk.
◆
Apricot: Aku paham sekali maksudmu.
Kami sampai pada
kesepahaman yang luar biasa.
Kenapa kami semua
malah bersatu karena cemburu terhadap mereka yang riajuu? Arah dan pandangan guild
ini sudah menyimpang.
Tapi justru karena
itu kami bisa akrab. Mereka semua orang yang baik. Mungkin kami hanyalah sebuah
guild yang berisi empat anggota, tapi
berkat merekalah aku bisa menikmati game ini.
◆
Apricot: Kesimpulannya, di antara kita, Ako dan Rusian-lah yang paling dekat,
bukan?
◆
Ako: Tidak seperti itu juga. Pada awalnya itu sangat kacau. Dengarkan aku dulu!
Ako langsung
bereaksi.
Karakternya
berbalik menghadapku lalu mengeluarkan sebuah pesan obrolan sambil mendekapkan
kedua tangannya di dada, seolah ingin menarik perhatianku.
◆
Ako: Rusian menolak pernyataan cintaku berkali-kali. Sampai-sampai umurku
terkikis akibat stres!
◆
Rusian: Tapi akhirnya kuterima juga, 'kan?
◆
Ako: Ini tentang proses, bukan tujuannya!
Oh, rupanya istriku
pandai bicara.
Tapi aku sudah
punya cara sendiri jika hal tersebut terus dibahas.
◆
Rusian: Baiklah, aku mengerti. Kalau begitu, kita ulangi saja dan mulai kembali
ke awal status hubungan kita.
◆
Ako: Aku tidak serius, maaf, jangan
ceraikan aku. Kumohon, jangan campakkan aku!
Ako menyerah dalam
sekejap.
Meski begitu, aku
suka cara dirinya menampakkan kepribadian aslinya.
◆
Schwein: Ya, inilah masalahnya.
Gelembung obrolan
Shiu muncul seakan ingin melindungi Ako.
◆
Schwein: Rusian, kamu bilang kalau kamu sempat menolak lamaran Ako? Kamu
serius? Aku sadar kalau aku bukanlah orang yang pantas berkata seperti ini,
tapi yang wajar adalah kamu tidak akan bisa mendapatkan gadis ini kecuali penghasilanmu berkisar milyaran. Paham?
◆
Ako: A-aku tidak sehebat itu ....
Ako pun meringkuk
di balik gelembung besar karena malu.
Kenapa dia malah malu-malu?
Lagi pula tidak ada yang memujinya. Justru dia diperlakukan seperti karakter
wanita mata duitan.
◆
Apricot: Aku juga penasaran. Apa yang menghalangimu, Rusian? Bukankah selama
ini kalian selalu dekat?
Master ikut
bergabung dalam tanya jawab ini.
Jujur saja, aku
lebih suka tidak menceritakannya.
Tapi rasanya tidak
sopan jika tidak menjawab saat ditanya. Aku lalu mengetik di kiborku.
◆
Rusian: Aku tidak membenci Ako, sistem pernikahan dalam gim ini maupun hal
semacamnya. Maksudku, ini hanya sebuah gim, paham, sebuah gim. Ini bukanlah
kehidupan nyata atau semacamnya.
Karena itu aku
sempat menolaknya.
Aku tidak membantah
kalau aku juga memikirkan Ako yang sebenarnya hanya ingin memperdalam hubungan
kami lewat lamaran tersebut, tapi tetap saja, aku jadi ragu jika itu berkaitan
dengan pernikahan. Yah, contohnya yang menyangkut Nekohime-san saat itu.
◆
Schwein: Apa maksudmu berbeda dari kehidupan nyata? Bukan berarti kamu mungkin
akan menikah juga di duta, setidaknya kamu akan mendapatkan pengalaman itu di
sini, Rusian.
◆
Rusian: Bagaimana jika itu menyangkut batas-batas yang tidak boleh kamu langgar?!
Ada hal yang bisa
dikatakan, dan ada pula yang tidak!
Aku juga punya sisi
sensitif, tahu?!
Dan seakan ingin
menahan argumenku, pesan obrolan dari Ako muncul di layar.
◆
Ako: Oh, iya, ternyata itu. Aku mendengar ini dari Rusian, dan rupanya dulu dia
pernah melamar seorang pria.
◆
Rusian: Ap—
◆
Schwein: Wah, wkwkwk.
◆
Apricot: Yang benar?!
Waduh, Ako?! Kamu
sungguh mau menceritakannya?! Semudah itu?!
Kamu akan
mengungkap aib suamimu begitu saja, hah?!
◆
Schwein: Tidak kusangka kalau dia homo, wkwkwk. Jangan khawatir, aku tidak akan
berpikiran sempit hingga mengucilkanmu karena hal tersebut, wkwkwk.
◆
Apricot: Aku pun berpikir demikian. Tidak masalah, Rusian, kamu tidak perlu resah. Kita adalah rekan. Ah, tunggu, jaga
jarakmu, kalau tidak, akan kukeluarkan kamu dari guild.
◆
Rusian: Mana hati nurani kalian?!
Shiu dan Master
berbicara dengan penuh tawa hingga memenuhi layar.
Ah, sial, ini
menyebalkan. Mereka menerimanya begitu saja hingga membuatku merasa tidak
nyaman!
◆
Rusian: Bukan begitu. Hanya saja, yah, beginilah.
◆
Schwein: Begini?
◆
Rusian: Hmm, yah, itu.
◆
Apricot: itu?
◆
Rusian: Itu bukan hal penting.
◆
Schwein: Kami tidak akan tertawa. Ceritakan saja.
◆
Apricot: Semua akan baik-baik saja, tidak perlu cemas. Percayalah pada master guild -mu
◆
Ako: Tidak apa-apa, Rusian, semuanya akan mendengarkan.
Master, Shiu dan
Ako, masing-masing mendesakku.
Ah, aku tidak ingin
menceritakannya. Aku tidak mau, tapi apa boleh buat. Iya, 'kan?
◆
Rusian : Yah, itu hanya ..., dulu aku memang pernah melamar seorang hode lalu ditolak mentah-mentah. Begitu
....
◆
Schwein: Wkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwk.
◆
Apricot: Wkwkwk.
◆
Rusian: Sudah kuduga kalian akan tertawa!
Dan aku pun
ditertawai hingga membuat diriku cukup tertekan segera setelah mengetik hal
tersebut.
Aaargh, seharusnya
aku memang tidak usah menceritakannya!
◆
Schwein: Ini di luar perkiraanku. Perutku benar-benar jadi mulas. Wkwkwk, sulit
mengetik sambil tertawa begini, wkwkwk.
◆
Apricot: Ini pertama kalinya aku memuntahkan kopi di duta. Kamu hebat, Rusian.
Tidak kusangka kamu menyembunyikan sesuatu semenakjubkan ini.
◆
Rusian : Jadi kalian anggap ini lucu?!
◆
Schwein: Jadi kamu benar-benar melamar seorang hode? Ini sudah lebih parah dari segala kekhilafan remaja, tahu?
◆
Apricot: Sebuah kenangan masa muda, ya?
◆
Rusian: Kumohon, lupakan itu!
◆
Schwein: Mana bisa?
◆
Apricot: Aku terlanjur mengambil tangkapan layarnya.
Kalian memang
busuk!
Kembalikan perasaan
hangat dan nyaman yang kurasakan sewaktu memikirkan kebaikan kalian!
◆
Schwein: Akan kusimpan gambar ini dengan judul [7.13 Insiden Lamaran Rusian Hode].
◆
Rusian: Oi, itu bukan insiden yang terjadi hari ini! Cepat hapus!
Kampret, kenapa
malah terdengar seperti aku hode -nya?!
Tetap saja, matinya
kebenaran itu terasa menyakitkan.
Seleraku sama
normalnya dengan mereka, jadi ketika menyangkut pernikahan ataupun asmara,
penting bagiku jika pihak lawanku itu berbeda gender. Sulit rasanya membisikkan
kata-kata cinta kepada seseorang yang mungkin sebenarnya adalah lelaki.
Tapi tetap saja,
aku setuju untuk menikah dengan Ako berdasarkan obsesiku terhadap anggapan jika
gim dan duta itu berbeda.
Syok yang kualami
setelah serius melamar seorang hode dua tahun lalu begitu membekas hingga membuatku
langsung meninggalkan guild dan
memilih solo play selama hampir
setahun.
Ada satu kebenaran
yang memacuku untuk mendapatkan kembali tekad di tengah semua itu.
"Itu adalah
... prinsip siapa yang peduli asalkan dia
manis!"
Kukepalkan tinjuku
di depan layar.
Seperti itulah
agungnya sebuah kebenaran itu.
Bahkan jika pihak
lain adalah lelaki di duta kemudian berakting sebagai perempuan dalam gim,
siapa yang peduli asalkan dia manis? Akan kunikmati kemanisannya itu hanya
dalam gim. Bahkan jika itu berasal dari seorang hode.
Ya, aku tidak akan
terpedaya. Diriku telah tercerahkan oleh kebenaran ini di dalam gim!
—yah, karena alasan
itulah aku pun berkompromi dalam hati. Gim dan duta itu berbeda. Sepenuhnya
tidak terkait. Itulah prinsipku sekarang.
Tidak adil jika aku
memakai logika, Hode, ya? Jelas aku tidak
mau menikahimu, iya, 'kan? Ako adalah Ako, jadi meski dia lelaki di duta,
kenapa aku harus melihatnya sebagai lelaki?
Pada akhirnya aku
mampu mengatasi rintangan ini.
Di samping itu,
◆
Ako: Rusian, kamu marah, ya? Apa seharusnya aku tidak menceritakan hal ini?
*pikon♪*
Obrolan modus bisikan dari Ako pun muncul.
◆
Rusian: Ah, jangan khawatir. Sebenarnya aku sudah siap untuk diolok-olok.
◆
Ako: Terima kasih, Rusian.
Sambil menunggu
sebentar setelah pesan obrolan itu terpampang,
◆
Rusian: Aku mencintaimu.
Tepat ketika
kata-kata itu ditampilkan, beberapa ikon hati melayang dari Ako.
Maksudku, lihatlah,
kemanisannya saja sudah cukup. Iya, 'kan?!
"...
te-tenang, tenanglah, diriku. Kamu sudah pernah mengalami ini. Kamu akan
menyesalinya jika terlalu terbawa perasaan ....!"
Tarik napas,
hembuskan, tarik lagi, hembuskan.
Tarik napas
dalam-dalam lalu tenangkan diri.
Gadis berambut
hitam dengan jubah putih itu sedang duduk di samping karakterku. Ini hanya avatar, tidak lebih dari sebuah bentuk
representasi dalam gim. Tidak sehat jika jantungmu saat di duta berdetak lebih
cepat karena hal tersebut.
◆
Apricot: Begitu. Rupanya itu yang membuatmu sempat ragu, ya?
Dengan sikap yang
tenang karena mungkin sudah puas tertawa, Master mengatakan itu sambil
mengangguk.
Aku tidak begitu
ambil pusing. Siapa yang peduli dengan duta? Jujur saja, aku memang tidak
terlalu peduli tentang itu.
Maksudku, tentu
kurasa akan lebih baik jika orang yang memainkannya adalah perempuan sungguhan.
Kalau memang dia bukanlah lelaki, akan kuanggap Ako adalah seorang gadis yang
baik. Kalau memang dia bukanlah lelaki, ini akan menjadi perasaan menyenangkan
karena ada gadis yang menyukaiku, bahkan jika itu hanya di dalam gim. Kalau
memang dia bukanlah lelaki— tapi pasti bukan itu. Pikir realistisnya saja. Apa
memang ada gadis yang menggunakan, "Fuhihihihi," sebagai tawanya?
Bahkan jika ada
kemungkinan satu banding sejuta bahwa dia adalah perempuan, apa mungkin kami
berdua seumuran?
Lalu kubayangkan
gadis-gadis di kelasku bermain gim daring .... Ya, itu mustahil.
Ah, dilihat dari
sisi mana pun, itu mustahil.
◆
Ako: Tapi aku dianggap sebagai perempuan, 'kan?
Sanggah Ako yang
mungkin membaca suasana di sini.
Hei, apa maksudnya
dengan dianggap tadi?
◆
Ako: Aku memang seorang Cleric di LA,
tapi dalam kehidupan nyata, aku semacam gadis kutu buku.
◆
Schwein: Oi, tunggu. Memberitahukan hal itu di percakapan terbuka bisa
melanggar hal paling tabu dalam gim daring.
Tegur Shiu.
Informasi mengenai
duta, apalagi mengingat dia seorang perempuan, jelas akan menjadi salah satu
tindakannya yang paling tidak bisa diterima.
◆
Ako: Begitukah?
◆
Rusian: Benar. Sebaiknya jangan kamu ulangi lagi.
Aku ikut menasihati
Ako yang kini menatap kosong.
Syukurlah kafe
tempat kami berada sekarang bertempat di wilayah sepi meski letaknya ada di
kota.
◆
Apricot: Siapa peduli jika itu tabu? Aku baru saja akan mengungkap jika diriku
ini seorang gadis SMA di duta.
Ujar Master sambil
tertawa mendengus.
Gadis SMA di
kehidupan nyata— Master ternyata seorang murid SMA.
Pengguna barang
berbayar kelas berat yang konyol ini, yang sepenuhnya memakai perlengkapan
berbayar, yang melakukan power up
dengan berbagai item berbayar selama
pertempuran dan si pemboros item
pemulih berbayar sewaktu nyaris mati itu adalah seorang gadis SMA?
◆
Rusian: Master, itu tidak mungkin.
Karena sulit
memercayai betapa mengerikannya hal itu, aku melontarkan jawaban jujur.
◆
Apricot: Tidak kusangka akan ditanggapi seperti ini, padahal aku telah mengumpulkan keberanian hingga
melanggar hal yang tabu. Namun entah kenapa ini terasa bagus.
◆
Schwein: Master, itu mustahil.
◆
Apricot: Kamu juga, Schwein?
◆
Ako: Master, itu sungguh tidak mungkin.
◆
Schwein: Semuanya tidak memercayaimu,
tahu?
Pemakaian barang
berbayar seekstrim itu tidak mungkin berasal seseorang yang biasa. Gadis SMA
macam apa yang dia maksud tadi? Jangan konyol.
Pikirnya seorang
perempuan yang bisa seenaknya menghabiskan lebih banyak uang ketimbang lelaki,
yang biasanya mampu merogoh uang sebesar itu akan membuat diriku yang murid SMA
ini iri?
◆
Apricot: Biarpun begitu, aku mengerti. Aku paham kekhawatiranmu, Rusian.
◆
Rusian: Tidak, aku tidak mengatakan apa-apa?
◆
Apricot: Ya, ya, aku sadar semua orang akan berpikiran begitu.
Dari tadi tidak ada
yang membahas itu.
Sambil dengan
santainya mengabaikan pendapatku, Master lalu melanjutkan,
◆
Apricot: Baiklah! Mari kita adakan!
Kemudian kata-kata
berukuran besar muncul di atas kepala Master.
[Kopi darat ke-1 Guild Alley Cats ... Telah Diputuskan
...?]
Dengan ekspresi
hampa, kubaca kata-kata tersebut.
Omong-omong, ada
kembang api yang meletus berbarengan kemunculannya. Padahal kami sedang di
dalam ruangan.
◆
Apricot: Mari tepuk tangan!
◆
Rusian: Master, pesan obrolan yang besar dan kembang api tadi itu item berbayar, 'kan?
◆
Apricot: Mari tepuk tangan!
*prok prok prok* Semua orang mulai melakukannya tanpa sadar.
Eh, tunggu, kopi
darat?
Kopi darat itu ...
maksudnya bertemu kenalan daring secara luring, atau dengan kata lain, bertemu
di duta?
Kenapa bisa
mengarah ke situ? Apa itu serius?
◆
Apricot: Menurutku kita harus mengadakan acara untuk memperingati satu tahun
berdirinya guild kita. Bagaimana jika kita memanfaatkan kesempatan ini dengan
mengadakan kopi darat pertama?
◆ Schwein: Yah, walau
dimintai tanggapan— tetap saja ini sudah diputuskan.
Iya, 'kan?
Master lalu
berbicara setelah Shiu menyela pesan obrolannya.
◆ Apricot: Begitulah!
◆ Schwein: Wah, apa ini
sebuah kediktatoran?!
Master adalah
Master, memang seperti itu adanya.
Tetap saja,
memutuskan secara sepihak masih bisa dibenarkan, tapi ....
◆ Schwein: Hmm ....
Omong-omong, apa semuanya ikut?
Shiu mengatakannya
dengan sedikit gusar.
Suasana hatinya
tergambar jelas lewat kata-katanya dalam obrolan tadi.
◆ Ako: Kopi darat,
maksudmu, bertemu dengan semuanya?
Entah kenapa Ako
tampak ragu. Kecurigaanku selama ini terwakili lewat kata-kata barusan. Sosok
asli di balik sebuah karakter akan terungkap jika saling berkomunikasi
langsung. Iya, 'kan?
Meski begitu, aku
sendiri belum cukup siap untuk ini.
Soalnya, yah, aku
tidak peduli apa Ako sebenarnya lelaki atau perempuan. Gim dan duta itu
berbeda. Bagiku itu sebuah prinsip mutlak. Karena alasan itulah aku
menikahinya.
Namun itu
tergantung hasrat diriku yang ingin mengetahui kebenarannya atau tidak. Iya,
'kan?
Andai aku harus
memastikan bahwa istriku memang seorang hode dan kebenaran di balik itu adalah hal terpenting ...,
maka tingkat kesulitannya mungkin terlalu tinggi untuk diriku yang masih remaja
ini.
◆ Rusian: Bukankah kita
semua tinggal di daerah yang berbeda?
Akan sulit jika mau mengumpulkan orang-orang, 'kan?
Ragu-ragu aku
menentangnya dengan kesan pesimis.
Guild ini
jarang membahas tentang duta. Sebisa mungkin kami menghindari persoalan duta —
terutama yang berkaitan dengan jenis kelamin. Aku sendiri hampir tidak pernah
menyinggungnya, dan aku juga tidak ingat kalau Ako, Shiu maupun Master berusaha
untuk mendekati topik itu.
Akan tetapi, Master
berkata,
◆ Apricot: Fufufu, jangan
remehkan diriku. Aku sudah memperkirakannya berdasarkan reaksi kalian terkait dengan perubahan cuaca atau topik di televisi
lokal. Pertama, kalian semua jelas berada di wilayah Kantou.
Ucapnya dengan
tegas.
Ya, benar, aku
memang tinggal di wilayah Kantou.
Benar, obrolan kami
semua mungkin saling terhubung setiap kali cuaca sedang hujan ataupun ketika
terjadi gempa bumi dan semacamnya.
◆ Schwein: Hei, aku tidak
akan mau ke tempat semacam Akihabara meski kamu paksa.
◆ Rusian: Betul. Sulit
kalau kamu mengadakan kopi darat di Tokyo.
◆ Apricot: Aku tahu. Ini
sesuai perkiraanku kalau kalian semua
masih murid sekolah.
Hmm, jadi itu sudah
diperkirakan juga, ya? Yah, mungkin aku telah menyebutkan hal-hal seperti waktu
login-ku yang tidak teratur karena
minggu depannya ada ujian dadakan.
◆ Rusian: Tidak kusangka
kamu begitu memperhatikannya, Master .... Rasanya agak menakutkan.
◆ Apricot: Itu wajar bagi
seorang master guild. Jangan khawatir, dengan wewenangku sebagai
master, kuperintahkan untuk mengadakan pertemuan di stasiun yang paling dekat dengan tempatku.
◆ Ako: Kamu otoriter,
Master!
◆ Apricot: Terserah mau
bilang apa. Kita akan mengadakannya minggu ini! Datanglah ke Stasiun Maegasaki
pada hari itu jika kalian mau.
"Dekat
sekali!"
Tanpa sadar aku
mengucapkan itu di depan monitor.
Mengejutkan. Itu
juga stasiun yang paling dekat dari rumahku. Aku bisa sampai ke sana dengan
bersepeda.
Tapi aku ragu akan
ada orang selain Master dan aku yang mau berkumpul di stasiun sesepi itu — yang
mungkin terasa lebih tenang. Setidaknya dia bisa saja akan mentraktirku makan.
Kuketik kiborku
dengan suasana hati yang entah kenapa mulai terangkat.
Segera setelah
menekan tombol Enter, muncul
gelembung di atas karakter Ako, Shiu dan diriku secara bersamaan.
◆ Rusian: Pasti itu dekat
rumahmu, Master. Aku bisa ke sana.
◆ Schwein: Aku tidak
keberatan. Tapi tetap saja itu tidak pernah berjalan lancar.
◆ Ako : Aku setuju saja.
Tapi apa kamu yakin jika diadakan di tempat itu?
... eh?
◆ Rusian: Eh?
◆ Schwein: Eh?
◆ Ako: Menyeramkan.
Sekali lagi, tiga
pesan obrolan kami muncul di waktu bersamaan.
◆ Apricot: Baiklah,
semuanya setuju. Senang mendengarnya.
◆ Schwein: Eh, tunggu ....
Berarti semuanya di sini tinggal berdekatan?
◆ Schwein: Tidak kusangka
....
Ini bukan lelucon,
'kan?
Aku langsung
terbengong, tampak keheranan.
Serius? Bisa saja
kita pernah saling berpapasan di stasiun atau semacamnya?
Internet itu
ternyata sempit, ya?
◆ Apricot: Baiklah, karena
sudah setuju, pastikan kalian datang, ya?!
◆ Ako: Ba-baik. Aku adalah
seorang pria yang memegang kata-katanya.
Aku akan bertanggung jawab atas apa yang diriku ucapkan!
Kata-kata itu
muncul pada gelembung yang terpampang di atas Ako.
◆ Rusian: Eh, yang barusan
itu ....
◆ Ako: Tidak, itu hanya
kiasan saja!
Aku mendengar
sesuatu yang berbahaya. Sesuatu yang benar-benar berbahaya.
Ah, aku jadi tidak
mau pergi.
◆ Apricot: Istrimu akan
datang, jadi sang suami juga akan ikut, bukan?
◆ Rusian : A-ah ...,
baiklah.
Tidak mau. Aku
benar-benar tidak mau. Aku amat sangat tidak mau. Tapi itu sudah tidak bisa
ditarik lagi. Aku hanya perlu meneguhkan tekadku.
◆ Apricot: Tentu saja aku
juga akan datang, jadi jumlahnya sudah tiga orang. Lalu bagaimana denganmu,
Schwein?
◆ Schwein: Tidak, aku ...,
argh ..., apa itu harus? Apa kita memang
harus melakukannya?
◆ Apricot: Kamu tidak usah
terlalu merepotkannya, Schwein. Kalau mau, datanglah. Kalaupun tidak mau, kami
tidak akan menjelekkanmu. Tapi tidak ada ruginya pula jika kamu ikut, bukan?
◆ Schwein: Eng ..., sial.
Baiklah.
Bahu Shiu langsung
terturun sewaktu dirinya mengangguk.
Yah, seharusnya dia
baik-baik saja jika masih punya ketenangan untuk menggerakkan karakternya.
Barangkali begitu
◆ Apricot: Dan
mempertimbangkan kesibukan kalian sebagai murid sekolah, kita akan berkumpul pukul 12 siang hari Minggu ini. Biar aku
yang menentukan tempat mengobrol setelahnya. Fufufu, aku sangat menantikan ini.
◆ Rusian: Oke ....
Kami membalas
kata-kata ceria Master tersebut dibarengi perasaan sedih.
Kami akan bertemu?
Kami akan
benar-benar bertemu?
Apa aku benar-benar
harus bertemu — dengan istriku?
††† ††† †††
Akhir pekan pun
tiba.
Hari kopi darat
pertama untuk guild Alley Cats.
Aku tidak tahu cara
menata rambutku dengan benar layaknya murid SMA yang pandai bergaul saat
berdiri di depan cermin sebelum menuju ke tempat pertemuan.
Entah apa ini
karena peduli terhadap kesan mereka atau karena rasa gugup hingga membuatku
tiba lebih awal dari jadwal setelah beberapa menit bersepeda.
"Baiklah,
terserah apa yang akan terjadi nanti. Yang penting ..., aku sudah sampai ke sini."
Lalu kukirim pesan
ke semua orang dengan ponsel-ku.
[Aku sudah sampai.
Hubungi aku kalau kalian sudah di tempat.]
Setelahnya,
kupandangi lingkungan sekelilingku. Ini adalah stasiun kecil, tapi tetap saja,
ada beberapa orang yang tampak sedang menunggu layaknya hari Minggu pada
umumnya.
Apa pria mencolok
di sana? Atau pria dengan jas? Atau mungkin lelaki dengan seorang gadis itu?
Atau bisa saja gadis berambut twintail
di sana.
Dan jawaban datang
disertai bunyi *pikon♪*.
Sepertinya yang
lain sudah dekat. Rupanya mereka juga sudah sampai.
Be-begitu. Jadi
mereka sudah di sini. Di dekat sini.
Apa pada akhirnya
kami memang harus bertemu? Rekan-rekan yang bertarung di sisiku selama setahun
ini?
Begitu pula
istriku.
Bukan, istriku —
yang mungkin seorang lelaki.
Tapi, bukankah
situasi ini terlalu aneh? Kenapa aku malah takut bertemu istriku — yang mungkin
seorang lelaki — untuk pertama kalinya?
Aku ingin
menelepon, tapi malah jadi gugup. Ah, yang penting kabari saja yang lainnya.
[Aku memakai kemeja
putih dengan celana jin, sepatuku cokelat muda. Aku ada di depan stasiun dekat
patung .... Selesai]
Aku mengirim pesan
itu diiringi detak jantung yang kencang.
Balasan datang
tidak lama setelahnya. Dari ketiga orang pada saat bersamaan.
Aku bingung
menentukan pesan siapa yang harus kulihat terlebih dulu. Akhirnya kuputuskan
lebih baik memilih istriku saja, Ako.
Pesan Ako berbunyi,
[Aku mengenakan mantel hitam dengan kemeja putih, rok—]
Terasa sensasi
seseorang menepuk punggungku sewaktu aku hendak menggulir layar ponsel untuk
membaca kelanjutannya.
Dengan diiringi
suara lembut,
"Eng ...,
Rusian?"
"Eh ...,
wuaaah ...."
Suaranya bening
bagaikan dering lonceng.
Seorang gadis. Itu
suara seorang gadis.
E-eeeh, ada gadis
di guild -ku?! Siapa?!
Dan yang barusan
itu, sial, rasanya benar-benar memalukan dipanggil dengan nama karakter gimku!
Bisa mati aku jika
ada teman sekelas yang melihat dan mendengarku dipanggil dengan nama
kebarat-baratan tadi!
"I-iya, aku
Rusian ...."
Dengan kaku aku berbalik
diiringi rasa gelisah.
"Se-selamat
siang."
Berdiri di sana,
seorang gadis yang memandangku dengan agak ketakutan.
Rambutnya hitam
sepanjang bahu, dan meski wajahnya tersembunyi karena poninya yang panjang, aku
bisa melihat cerminan diriku melalui matanya yang besar dan gemetar karena
kegelisahan. Dia terlihat lebih cocok membaca buku di suatu perpustakaan
daripada bermain gim ataupun pergi keluar di hari libur begini.
Dirinya mengenakan
mantel hitam dengan blus putih dipadu rok berwarna putih.
"Eng ...,
a-aku Ako"
Ucap gadis itu
dengan terbata.
Ako, ah, jadi dia
Ako. Aku selalu bertanya apa memang guild
kami punya anggota perempuan, namun tidak disangka itu Ako. Sungguh
mengejutkan, rupanya ini istriku.
—tunggu, bukan itu!
Ako memang istriku,
'kan?
"Ako? Ako?!
Eeeh?!"
Ako? Dia? Perempuan
ini?!
Tanpa sadar aku
memeriksa pesan yang tadi.
[Aku mengenakan
mantel hitam dengan kemeja putih, rok putih, dan sudah sampai juga.]
O-oh.
Jika tidak ada
om-om yang datang kemari dengan berpakaian seperti waria, maka gadis ini memang
Ako.
"... ka-kamu
benar-benar Ako?"
"I-iya."
Se-serius? Dia
benar-benar seorang gadis di kehidupan nyata?!
Dan, wuaaah, kalau
dilihat lebih dekat sekarang, dia punya wajah manis yang tersembunyi dari balik
poninya itu. Bagian-bagian pada wajahnya tampak menarik terlepas dari tubuhnya
yang ramping. Caranya menatapku dengan sedikit ketakutan, membuatnya terlihat
begitu imut seperti binatang kecil yang perlu dilindungi.
Gadis ini, istriku?
Orang yang tertawa
bersamaku saat membahas hal-hal bodoh dan saling bertukar lelucon konyol di
tiap harinya?
Orang yang pergi
berburu monster denganku dan terkadang, malah diburu oleh mereka?
Orang yang pernah
kumarahi, orang yang juga pernah marah padaku, orang yang kumanjakan, orang
yang menangis saat kuabaikan?
Dan orang yang
selalu memberi tahu bahwa dirinya mencintaiku — itu adalah Ako?
Gadis ini?
"Ti-tidak-tidak-tidak,
tenang, tenanglah, diriku"
Gumamku diam-diam
sembari mengalihkan pandangan menjauhi Ako yang sedang menengadah ke arahku.
Jangan, tetaplah
tenang, diriku.
Dia memang istrimu,
tapi itu hanya dalam gim, ini hanyalah pertemuan pertama kalian. Benar, dia
gadis yang pertama kali kamu temui. Sekarang bersikaplah sopan dan berusahalan
menanggapinya seperti seorang pria.
"eng, senang
bertemu denganmu, Ako-san, aku—"
"Jadi ini
Rusian .... Rusian-nya hidup!"
Kata-kata gadis itu
membenamkan ucapanku.
Hi-hidup?!
"Apa maksudmu hidup?! Terdengarnya seperti aku ini
biasanya mati!"
"!"
Gadis itu gemetar
karena balasan spontanku.
Ah, aku
mengacaukannya — atau begitulah pikirku sejenak sebelum gadis itu menenang.
"Itu, yah,
biasanya itu lewat monitor, jadi ... rasanya seperti Rusian setengah
beku."
"Kenapa aku
malah terdengar seperti sherbet
setengah beku?!"
"Aku juga suka
es krim yang agak meleleh"
"Kenapa jadi
mengarah ke sana? Ah, pusing!"
Kenapa aku malah
berdebat dengan gadis yang baru saja kutemui?!
Ah, ini Ako! Tidak
ada lagi yang bisa mengabaikan kata-kataku dengan sebegitu luar biasanya!
Mungkin orang lain
pun akan percaya. Tubuh Ako mulai lepas dari ketegangan dan mulai tersenyum
kecil.
"Wah, ini
Rusian! Ini benar-benar Rusian!"
"Tolong jangan
sebut nama itu berkali-kali, sungguh, aku mohon padamu."
Bunuh saja diriku,
aku tidak tahan dengan rasa malu karena nama karakter gim daring-ku berulang
kali disebut di depan stasiun ini.
Aku baru saja
memikirkannya, namun jika ada teman sekelasku melihat ini—
"Ru-Rusian
...?"
"Iiih?!"
Sebuah suara
terdengar dari sebelahku. Suara yang cukup akrab di telinga.
Aku menoleh dan
melihat seorang gadis berambut twintail
dengan ekspresi yang benar-benar tercengang.
"Se-Segawa?"
"Nishimura
..., 'kan?"
Ini teman
sekelasku, Segawa.
Segawa yang tanpa
ragu mengataiku menjijikkan atau menjengkelkan.
Tamat sudah. Kenapa
harus dia yang menyaksikan hal ini?
"A-ah ...,
aaaah ...."
Suara aneh tergagap
keluar dari tenggorokanku sewaktu mencoba mencari kata-kata yang tepat.
Wuaaah, aku
tertangkap basah dipanggil dengan nama karakterku di tempat ramai iniii!
Siaaaaaaal!
Te-tenaaang,
tenanglah, diriku!
Carilah alasan.
Supaya esok hari tetap bisa menjalani kehidupanmu di kelas!
"...?"
"Ah ...,
eh?"
Ako yang berdiri di
sampingku tiba-tiba melihat ke arah Segawa.
"Kamu kenal
dia?"
Tidak seperti
sebelumnya, tatapannya kini menyerupai pelototan yang menyeramkan.
"E-eng, aku
kenal, tapi ...."
Segawa kehilangan
ketenangan sewaktu pandangannya beralih ke Ako.
Yah, aku paham
perasaannya. Dia akan terganggu jika diajak bicara oleh seorang gadis dalam
situasi ini.
Eh, tunggu. Biarpun
begitu, ini adalah waktu yang tepat, 'kan?!
"Ti-tidak,
tidak, dia hanya teman sekelas. Se-sepertinya kamu menemukanku di tempat yang
memalukan, Segawa. Jangan beri tahu siapa-siapa di kelas, ya? Ha-hahaha"
Aku berbicara
seolah membuat dalih terhadap Ako di sisiku.
Beralasan seperti
itu, sejujurnya, ini sangat mirip seperti gambaran seorang lelaki yang bersama
pacar manjanya.
Benarkah? Sungguh?
Apa aku terlihat seperti itu?
"O-o-o-oh,
begitu. Baiklah."
Segawa gelagapan
tanpa memperhatikan kegelisahanku dan entah kenapa, dia mengangguk dengan
canggung.
"Jadi kamu
juga punya yang seperti itu, ya? As-astaga, jangan sampai gadis ini tertular
minat anehmu, ya, a-ahahahaha."
"Be-benar
juga, hahahahaha."
Dia tertawa, tegang
layaknya sebuah papan. Aku pun demikian.
Entah kenapa, kami
jadi saling tertawa kaku.
"Ya, sudah,
aku pergi dulu ...."
"I-iya. Sampai
jumpa."
Segawa mundur
dengan tersendat-sendat. Hore, kembali juga. Dan tolong lupakan semuanya.
Kupandangi
kepergian Segawa yang penuh niat itu hingga seseorang menepuk bahunya dari
belakang.
"Eh?"
Segawa berhenti dan
menoleh. Jelas dalam penglihatanku, seorang murid SMA yang tidak asing bagiku
mengenakan seragam sekolah kami.
"Ah, anu
...."
Kupikir gadis
tersebut adalah kenalan Segawa, tapi sepertinya dia juga tampak kebingungan.
Siapa dia? Aku
yakin pernah melihatnya di suatu tempat.
Awalnya aku mengira
kalau dia teman sekelasku, tapi ternyata bukan. Pitanya tidak berwarna merah
yang dikhususkan untuk murid kelas satu seperti kami, melainkan berwaena biru
untuk murid kelas dua.
"... Ketua
OSIS."
Ucap Ako dengan
tatapan gelisahnya.
Ah, benar, itu dia.
Tentu saja aku pernah melihatnya, dia adalah ketua OSIS. Kami melihatnya saat
apel tempo hari.
"Ya-ya, Ketua.
Apa ada masalah?"
Jelas dengan
kakunya Segawa bertanya pada senior kami. Ketua OSIS sendiri entah kenapa
menampakkan seringai yang aneh.
"Salah, bukan
itu."
Dia gelengkan
kepalanya dengan pelan.
Sambil mencengkeram
bahu Segawa kemudian mendorongnya ke arah kami, dengan tegas dia berbicara.
"Kini aku
bukan ketua OSIS. Aku seorang master guild.
Hmm, tampaknya semua sudah berkumpul."
"Hah?"
"A-apa?"
"Eh ...."
Sambil memandang
kami bertiga yang memiringkan kepala, sang ketua OSIS pun tersenyum.
"Kurasa ini
kali pertama kita bertemu langsung, bukan? Aku adalah master guild Alley cats, Apricot."
Ti-tidak mungkin.
Rasanya seolah
suara hati setiap orang di sini selaras dengan kata-kata tersebut.
"Jadi yang di
sana itu Rusian dan yang menempel padanya itu Ako, ya?"
"Ah,
iya."
"Master,
selamat siang."
Aku hanya bisa
mengangguk hampa sementara Ako menyapanya dengan nada yang lebih hangat.
Kurasakan adanya
nuansa perselisihan saat melihat kedua orang ini.
"Eh, tunggu,
Ketua, katamu tadi semua orang sudah berkumpul ...?"
Itu menurut dari
apa yang kulihat.
Dengan bahu
dicengkeram ketua OSIS — Master, Segawa terdiam dan tampak memucat sewaktu aku
menatapnya.
"Eh, kamu ...
Shiu?"
Tanyaku sembari
tercengang.
"Ah, rupanya
kamu Shiu-chan?"
Ujar Ako lega.
"Apa, jadi
kamu belum memberi tahu mereka, Schwein?"
Ucap Master sambil
terkekeh.
"Ja-jangan
panggil aku dengan nama itu!"
Dan Segawa —
Schwein — menutupi kepalanya sambil meringkuk.
"Tidak mungkin
...."
"Harusnya aku
yang bilang begitu!"
Mengabaikan Segawa
yang memelototiku dalam keputusasaan, Master berbicara dengan nada biasa yang
dipenuhi keyakinan.
"Sekarang,
mari kita mulai kopi darat bersejarah guild
Alley Cats yang pertama."
††† ††† †††
Restoran ini tampak
mewah dari luar. Jelas menunjukkan bahwa tempat ini tidaklah murah, dan bagian
dalamnya juga ikut mewakili hal tersebut selaras dengan desain yang
mencerminkan kenyamanan dan selera tinggi pemiliknya. Entah kenapa aku menjadi
gugup, semoga saja uangku cukup.
Tapi itu masalah
lain. Ada sesuatu yang lebih penting.
Mula-mula, ini
seharusnya menjadi kopi darat yang menjijikkan antara empat orang lelaki — dan
kenyataan yang ada di hadapanku kini adalah tiga orang gadis. Masing-masing
dari mereka tampak manis, bahkan bisa dibilang cantik. Jika orang luar melihat
hal ini, mereka mungkin saja akan merasa iri.
Jika diminta
pendapat, jujur saja, ini canggung. Amat sangat canggung.
Pertama, ada Segawa
yang duduk menyilang di hadapanku pada sisi seberang meja. Dan dia benar-benar
memelototiku. Segawa yang biasanya menyebutku otaku ataupun menjijikkan. Aku yakin suasana hatinya sedang tidak
baik sama halnya denganku.
Selanjutnya, ada
ketua OSIS yang baru saja memesan dengan tata kramanya yang khas. Kami terbiasa
menengadah saat melihat dia sedang berdiri di atas podium termasuk dari sudut
yang sekarang. Kesan tenang dan teratur itu tercermin dari gaya bicaranya,
seseorang berkepala dingin, si cantik yang keren. Aku sulit untuk tenang saat
dia berada di dekatku.
Dan yang
terpenting, ada seorang gadis yang duduk di sampingku, berpegangan erat seperti
halnya dalam game — Ako.
"...."
"...?"
Perlahan kulepaskan
sedikit gandengannya itu dari tubuhku lalu memisahkan diri, dan dia
memperpendek jarakku dengannya seolah itu sudah biasa.
Dia membalas dengan
senyum ceria ke arahku saat aku meliriknya.
Ah, ini Ako.
Kumpulan kasih sayang yang tidak terkendali ini adalah Ako.
Ini aneh. Maksudku,
ini memang aneh, 'kan?
Soalnya, Ako ini
manis. Dia memang Ako, tapi manis.
Rambutnya yang
halus dan posturnya yang mungil. Sosok rampingnya itu membuat dia tampak cocok
sebagai pengunjung tetap suatu perpustakaan, tapi ketika melihat senyum yang
dia tujukan padaku itu, rasanya tampak menggemaskan.
Aku merasa pernah
melihatnya di suatu tempat, tapi tidak ingat di mana persisnya. Aku ragu bisa
semudah itu melupakan gadis semanis ini.
"Hei, hei,
Rusian"
Aku terus
memandanginya, dan entah kenapa Ako menoleh padaku dengan gembira lalu
mendekatkan tangannya ke arahku.
"A-ada
apa?"
"Eng
...."
Tangan itu
memegangku, menyentuh bahuku, dadaku, pipiku ..., tung-tunggu, sedang apa dia?
"Wah, Rusian,
kamu benar-benar hidup, ya?"
"Maksudnya
apa?!"
Dan itulah
kata-kata yang akhirnya dia ucapkan.
Memangnya seperti
apa aku ini di pikirannya?
"Jangan
berkata seolah hal aneh jika aku ini hidup."
Sambil menahan
kepala Ako yang mulai mendekat, aku pun mendorongnya ke belakang.
"Kyaaa—"
Ako terdorong
berbarengan rengekan itu.
Ah, gawat, sikapku
tadi terlalu akrab. Aku memperlakukannya demikian karena Ako menjadi Ako yang
biasa kukenal, padahal ini pertama kalinya kami bertemu. Dia jelas akan menolak
untuk disentuh.
"Ma-maaf, kamu
tidak apa-apa?"
Apalagi sikapnya
yang terlihat seperti tipe anak pendiam, tindakan tadi pasti sudah di luar
batas. Bukankah itu bisa membuat dia membenciku sekarang?
Ako mengabaikan
kecemasanku tersebut.
"Hehehe .... Kamu
memang Rusian."
Dan entah kenapa
dia tersenyum senang.
Ini adalah
kebiasaanku yang sama seperti dalam gim. Tidak peduli berapa kali aku
memperlakukannya dengan buruk, dia akan terkekeh dan mendekat untuk dimanjakan
layaknya kucing yang terlampau jinak. Namun kini dia ada di sini dalam tubuh
aslinya, bukan sebagai avatar sebuah
gim.
Meski Ako
bertingkah seperti di dalam gim, reaksiku sama sekali berbeda dari biasanya.
Jantungku mulai berdetak lebih cepat dan— tunggu, tidak, tidak, tidak.
Bermesraan dengan seorang gadis yang baru saja ditemui seolah itu hal wajar,
aku ini sedang apa?
Aku sungguh merasa
bersalah, seolah telah memanfaatkan hubungan kami di dalam gim.
"Kenapa kamu
menolaknya dengan rasa senang begitu? Seharusnya kamu itu diasingkan di sini."
Ucap Segawa dengan
suara jengkel selagi mendesah.
Apa dia harus
berkata seperti itu? Aku sadar kalau diriku ini aneh.
"Hei."
"A-apa?"
Meski Segawa
meringkuk sesaat, seperti takut dengan tatapanku, dia tetap melihatku tanpa
mengalihkan pandangannya.
Dia memang
menyebalkan. Mengatai orang sebagai otaku
dan semacamnya, tapi dia sendiri seorang penggila gim daring — meski sementara
ini aku tidak akan mengungkapnya. Apa susahnya bersikap sedikit lebih lembut?
"... ada
apa?"
Tanya Segawa tanpa
menghiraukan pandangan Ako yang tertuju pada obrolan kami.
"Tidak apa-apa
...."
Dengan suara pelan.
"Minumannya
sudah datang. Pertama-tama .... Ya, mari kita mulai dengan perkenalan
diri."
Setelah sebelumnya
terlibat percakapan dengan pegawai restoran, ketua OSIS membagikan gelas kepada
kami selagi dia berbicara.
Dengan pandangan
tertuju ke segelas jus di depanku ini, aku menghela napas.
Perkenalan diri,
ya?
Terdengar konyol
mengingat hubungan kami selama setahun berjalan, tapi tetap saja ini adalah
pertemuan pertama kami.
Master meletakkan
gelasnya disertai dentingan kecil, lalu berdiri dari kursinya dalam gerakan
lembut dan bertata krama.
"Aku adalah
master guild Alley Cats, Apricot. Profesiku adalah adalah Law Wizard dan aku yakin kalian sudah
tahu betapa percaya dirinya aku terhadap kekuatan seranganku. Namaku Goshouin
Kyou, murid kelas dua SMA Maegasaki sekaligus merangkap sebagai ketua OSIS.
Hari ini aku datang langsung dari sekolah, jadi maaf soal seragamku."
Sebuah nada penuh
kepercayaan diri. Kepribadian orang ini tidak berubah, ya?
"Hari ini akan
menjadi pertama kalinya kita bertemu langsung. Namun di sisi lain, kita adalah
rekan dekat. Kenapa tidak kita nikmati saja hubungan menyenangkan sekaligus
rumit ini dengan sebaik-baiknya?"
Dengan pidato yang
akan cocok jika dipaparkan di atas panggung itu, ketua sedikit membungkuk
sebelum duduk di kursinya.
Tepuk tangan yang
ringan berbunyi.
"Baik,
selanjutnya."
Shiu mengalihkan
pandangan saat melihat tatapan Master mengarah padanya. Mata itu lalu berpaling
padaku— waduh, seram, dia benar-benar melotot. Ini bukan berarti aku punya
salah atau semacam itu.
"Silakan,
Schwein, kini giliranmu."
"Huh
...."
Segawa
terhuyung-huyung. Kesan bahwa dirinya malu karena dipanggil Schwein telah melampaui
batas yang bisa ditahannya.
"Aku .... Aku
Segawa Akane, SMA Maegasaki, kelas satu."
Ucapnya dengan
suara pelan yang tidak seperti biasanya. Apa ... dia gugup?
"Dan, eng
...."
Gumaman itu tidak
seperti dirinya.
Ekspresi yang
muncul menunjukkan betapa merah wajahnya.
Saat melihat ke
arahnya, aku sadar bahwa dia adalah tipe gadis yang dikagumi oleh para otaku. Rambut cokelatnya sepanjang bahu,
posturnya mungil, baik dari tinggi badan ataupun yang lain, ditambah,
penampilannya yang manis.
Tentu akan sulit
untuk mengatakan gim daring sebagai hobi selagi berpenampilan demikian, namun
tetap saja, keluhan brutalnya tentang para otaku
yang menjijikkan adalah masalah lain.
Entah seperti apa
caranya meredam ketegangan Segawa, tapi,
"Ya, aku mengerti
perasaanmu, Schwein, wajar jika merasa malu dipanggil Schwein di hadapan orang
lain."
"Eng ..., eng,
Master?"
Master mendadak
bicara sambil mengangguk seolah berempati dengannya.
Dia lalu
melanjutkan dengan emosi yang dalam.
"Lagi pula,
Schwein adalah bahasa Jerman untuk babi. Halo,
namaku Babi, salam kenal, pasti memalukan bagi seorang gadis untuk
mengatakan hal semacam itu."
"Be— eh,
apa?"
Segawa — Schwein —
si babi tercengang dengan mulut ternganga.
Setelah jeda
beberapa detik, wajahnya memerah sembari dia bertanya kepada Master.
"Apa, eh,
tidak mungkin. Itu serius? Babi? Schwein?"
"Begitulah
.... Apa jangan-jangan kamu menggunakan nama itu tanpa tahu artinya?"
"Tentu saja
aku tidak tahu! Siapa pula yang mau menamai dirinya seperti itu?! Bukankah
sudah jelas aku menggunakannya karena terdengar keren?!"
"Shiu-chan
.... Aku turut berduka cita ...."
Dia mungkin sudah
tahu, tapi Ako menundukkan pandangannya dengan ekspresi sedih.
"Tunggu,
Master, kenapa kamu tidak memberitahuku?!"
Tampaknya ini
benar-benar di luar dugaannya hingga Segawa akhirnya memanggil Master dengan
cara yang biasanya.
Ah, kelihatannya
energi gadis itu telah kembali.
"Aku sempat
memikirkannya, namun kucoba menahan diri mengingat jika mengungkapnya akan
sangat memalukan karena kamu memilih nama itu mungkin tanpa mencari artinya
terlebih dahulu. Yah, bahkan di luar ekspektasiku kalau itu akan terungkap di
tempat seperti ini ...."
"Waah, sudah,
hentikan!"
Segawa mengayunkan
tangannya dengan gelagapan.
Master pun tersenyum
senang sembari mengabaikannya.
"Ayo, Schwein,
haha, segera lanjutkan perkenalanmu."
"Jangan
selantang itu ucapkan, Haha, yang
seharusnya berada dalam tanda kurung! Apa kamu selalu seperti itu membacanya
jika di depan monitor?!"
"Shiu-chan,
kamu tidak perlu merendah begitu. Tidak ada yang keberatan dengan sikap
normalmu. Jadi kenapa tidak kamu katakan, Akulah
Schwein yang hebat!, seperti biasanya?"
"Jangan bilang
keras-keraaaaas!"
Segawa hancur,
dihabisi oleh komentar Ako.
A-apa dia baik-baik
saja? Yang barusan itu terlalu berlebihan.
"Ku ku ku ....
Jangan langsung berkecil hati, Schwein. Inilah saat-saat di mana biasanya semua
wkwkwk mulai berterbangan."
"Kalau dipikir
lagi, bagaimana orang-orang biasanya mengeja wkwkwk?"
Apa dia sungguh
membahas soal wkwkwk itu?
Betul. Tidak ada
yang benar-benar membacanya ataupun tahu seperti apa mengeja tulisan itu meski
sudah sering digunakan.
"Itu singkatan
dari wedang jahe kalengan."
Jawab Master seolah
dirinya tahu segala hal. Tidak, itu sudah jelas salah.
"Bukan itu
artinya, 'kan? Bukankah itu menunjukkan kesan sedang tertawa terbahak?"
"Wah, Rusian
memang hebat."
Ako bertepuk
tangan.
Harus seperti apa
sikapku terhadap pujian itu? Lagi pula, apa ada jawaban yang benar?
"Duh, ya
ampun, kenapa kalian semua mengabaikanku?!"
Dibarengi
menggebrak meja, Schwein lalu menarik napas dalam-dalam.
"Fiuh ..., hah
..., aah, aku Schwein. Aku bermain sebagai Sword
Dancer di LA. Jika mulai ada yang memanggilku babi, akan kutebas menjadi
dua. Terlebih, kalian menambahkan wk
lagi pada wkwkwk hingga jadi lebih
panjang, tapi justru tidak bisa diartikan secara harfiah. Aku tidak akan
membenarkan hal lain. Itu saja!"
Segawa mengatakan
semua yang perlu dia katakan, kemudian duduk.
Entah kenapa tepuk
tangan yang lebih ceria tertuju kepada dirinya. Mungkin karena sudah ikhlas
merelakan kejadian ini, ekspresinya menjadi lebih tenang meski masih terlihat
masam.
"Satu hal
lagi, aku sendiri membacanya wuakaka."
"Tidak ada
yang bertanya soal itu"
"Oh, maaf
kalau begitu."
Senyuman yang
sempat sekilas ditujukan pada Segawa tadi terasa lembut.
Apa dia sengaja
melakukannya agar gadis itu kembali bersikap seperti biasanya? Jika memang seperti
itu, hebat, master guild kami memang
bisa diandalkan.
"Baik,
berikutnya, Rusian."
"Siap."
Setelah
dipersilakan, aku langsung berdiri.
Dan Ako yang
menempel di lenganku, mengikutinya.
"Eng ...,
Ako."
"Iya?"
Ako menatapku
seolah tidak ada yang aneh.
Dia menggemaskan
bagaikan kucing yang terlampau jinak, tapi kami tidak boleh begini.
"Aku sedang
memperkenalkan diri, jadi duduklah"
"Baiiik."
Seperti biasanya,
dia masih bisa dibujuk dengan alasan. Ako dengan patuh duduk.
"Kenapa kalian
malah bermesraan?"
"Tidak, itu
bukan keinginanku."
Tunggu, bukan
waktunya mencari-cari alasan.
Aku menarik napas
dalam-dalam dan menatap masing-masing dari mereka.
"Aku Rusi ...,
Rusian. Di LA, aku, eng ..., eng ..., aku bermain sebagai Armor Knight .... Fiuh, memperkenalkan diri dengan nama karakter
gim itu terasa memalukan."
Bukannya aku
mengatakan sesuatu yang penting, tapi rasa malu membuat kata-kataku tersedak.
"Kamu ini
bicara apa? Keberadaanmu itu sendiri memang sudah memalukan, tahu?"
"Berisik."
Segawa menyela.
Seperti biasanya— tidak, baru beberapa saat tadi, kata-kata itu bisa membuatku
kesal.
Aku heran kenapa
diriku tidak sedikitpun merasa ingin membalasnya sekarang. Hanya ada rasa
nyaman yang biasanya datang saat aku berdebat dengan Shiu di dalam gim.
"Pertama-tama,
hal tentang babi tadi lebih memalukan— maaf, aku tidak akan mengungkitnya lagi.
Eng ..., aku bersekolah di SMA yang sama dengan ketua— eh, maaf, Master.
Haruskah aku bersikap formal sesuai posisi kita ...? Baiklah. Eng ..., aku masih
kelas satu. Namaku Nishimura Hideki. Ikut bergabung dalam Klub Pulang ke Rumah
dan tidak punya bakat khusus untuk dipertunjukkan. Hobiku, yah ..., gim daring.
Salam kenal, semuanya."
Terdengar tepuk
tangan yang ringan.
Bagaimana
menjelaskannya, ya ..., ini seperti itu, paham, tidak? Setahun kami bersama
bukan sekadar isapan jempol. Entah kenapa aku bisa tahu yang Master dan Segawa
ingin katakan hanya lewat tatapan mereka sewaktu perkenalanku tadi.
"Lalu, yang
terakhir, Ako."
"Iyaaa"
Ako berdiri berbarengan
ucapan, "Yak," yang pelan.
Karena dia berdiri
tepat di sampingku, kaki rampingnya yang tertutupi rok itu terpampang di depan
wajahku.
Entah kenapa
jantungku mulai berdetak lebih cepat, berbeda sewaktu perkenalan diri tadi.
Selanjutnya, aroma harum
nan manis yang menyerbak mengguncang pikiranku.
Ini bukan waktunya
mempersoalkan itu, tapi nyatanya dia adalah seorang gadis. Iya, 'kan?
"Eng ..., aku
Ako. Seorang Cleric di LA. Aku tidak
pandai memainkan gim dan selalu menimbulkan masalah bagi orang lain .... Aku
sangat menyesal."
"Tidak
apa-apa, tidak masalah," kata Shiu.
Yah, tentu saja
mudah mengatakannya, karena hidupnya jarang mendapat bahaya gara-gara kemampuan
gadis itu!
"Aku
bersekolah di SMA Maegasaki seperti yang lainnya, aku anak kelas satu."
"Eh, jadi kita
satu angkatan?"
"Ya, kita satu
angkatan."
Dan ternyata kita
semua satu sekolah? Internet itu memang terlalu sempit, ya?
"Maaf, aku
tidak tahu. Walau seangkatan, tapi aku tidak kenal gadis dari kelas lain."
"Hehehe, aku
juga."
Baiklah. Baru
beberapa bulan sejak penerimaan murid baru, aku tidak memiliki kenalan dari
kelas lain karena tidak bergabung pada klub mana pun. Ako terlihat seperti tipe
penyendiri, jadi dia mungkin bukan jenis orang yang bisa gampang akrab.
Ako melanjutkan
tanpa terlalu memerhatikan hal tersebut.
"Nama
lengkapku Tamaki Ako. Panggil saja aku Ako seperti biasanya."
"Eh, jadi itu
nama aslimu?"
"Iya .... Apa
ada yang aneh?"
Jelas aneh, lah.
"Bukan begitu,
ini semua soal penulisan di media digital, jadi yang seperti itu .... Yah,
terserahlah, bukan masalah."
"Hahaha, itu
memang terasa seperti Ako."
Segawa menunjukkan
wajah cemberut seakan merasa bahwa metode penamaan Ako jelas merupakan ide
buruk selagi Master tertawa dengan nada santai.
Hal tersebut terjadi
dalam suasana hangat dan lembut.
"Aku tidak
bergabung dalam klub mana pun. Aku juga tidak punya teman di sekolah."
"?!"
Semuanya menegang
seakan dunia membeku.
E-eng ..., Ako? Apa
kamu bilang tadi?
"Aku jarang
keluar rumah, jadi setiap kali berangkat sekolah, semua orang jadi khawatir
terhadapku."
"O-oh
...."
Bahkan Segawa pun
tampak tidak bisa membalas ucapan gadis itu.
Aku memandang ke
arah Segawa dan Master dengan harapan agar bisa mendapat saran mengenai yang
harus kulakukan, tapi wajah mereka benar-benar terkejut setelah Ako
mengungkapkan hal semenyedihkan itu sambil tersenyum. Apa sebenarnya motivasi
dia menceritakan hal itu barusan?
"Ja-jangan
khawatir! Meski aku ketua OSIS, tapi aku juga tidak punya teman!"
Itukah cara dia
berempati atas hal tersebut?
Entah angin apa
yang membuat dia memilih kata-kata itu, tapi Master mengucapkannya sambil
mengangguk tegas.
Tidak, tidak, kami
tidak menginginkan pembahasan yang semenyedihkan ini sekarang!
"A-Ako,
bukankah kami ini temanmu?"
Segawa lalu ikut
mengiyakan dengan ekspresi datar setelah perkembangan situasi yang kacau.
"Betul! Kini
kamu punya lebih banyak teman!"
"Semangat,
Ako-chan!"
"Sudahlah,
hentikan!"
Ako terkikik
melihat kelakuan dan ucapan konyol kami.
"Ya, itu
sebabnya ... aku sungguh senang memiliki teman mengobrol seperti ini"
Kata-kata itu
terdengar sedikit bergetar.
Aku juga bisa
merasakan kaki dan bahu Ako agak gemetaran sewaktu di sebelahnya.
Kopi darat ini
membuatnya gugup .... Dia sempat mengatakannya sewatu di LA, 'kan?
"Semuanya,
mohon bantuannya dari sekarang."
Ako kembali duduk
dengan diiringi tepuk tangan.
Pemandangan para
anggota serikat yang saling bersahutan berbicara terwakili oleh Ako, Segawa dan
ketua OSIS ini tampak jelas di hadapanku.
Dan akhirnya, kopi
darat kami pun dimulai.
††† ††† †††
"Yang kumaksud
adalah menghabiskan uang untuk memperkuat zirahku itu sama saja dengan ikut
melemahkan diriku."
Ujar Shiu dengan
bangga sambil mengaduk cangkir kopinya dengan sendok.
"Maksudku,
bukankah sudah jelas lebih efektif memakai dana tersebut untuk memperkuat
senjataku? Efisiensi dalam perburuan itu terfokus pada daya tempur, segalanya
hanya ada pada daya tempur. Lalu menggelontorkan dana yang berharga tersebut
untuk penguatan zirah? Itu tidak lain hanya kepuasan diri semata. Hanya orang
bodoh yang mau melakukannya."
"Tidak, sudut
pandang itu terlalu subyektif."
Bantahku pada gadis
yang meyuarakan opininya dengan menggebu-gebu di seberang mejaku ini.
"Aku paham
maksudmu kalau daya tempur itu penting. Tapi ada tempat yang pasti tidak akan
bisa kamu jadikan lahan berburu tanpa mempersiapkan pertahanan hingga di
tingkat tertentu, dan kamu harus melakukannya jika sungguh menginginkan
efisiensi. Lihatlah faktanya. Kamu tidak bisa berburu di Laboratorium Scion
menggunakan perlengkapanmu, 'kan? Padahal ada banyak Sword Dancer selevelmu yang bisa dengan mudah berburu di
sana."
Terus kukejar
pengakuan Shiu dengan menatap matanya.
Tapi gadis itu
justru dengan santai mengangkat bahu dan berdesah.
"Itu artinya
kamu membutuhkannya sebagai persyaratan saja, 'kan? Yah, bisa dibilang seperti
tidak ada gunanya memperkuat zirah melebihi kebutuhan."
"Intinya tidak
hanya sampai di situ jika bicara soal zirah. Terlebih, tidaklah mudah dalam
prosesnya. Mula-mula, jika kamu bicara tentang persyaratan, bukankah itu
berlaku juga untuk senjata? Efisiensimu nyaris tidak akan berubah meski kamu
mengganti senjata yang lebih hebat padahal seharusnya itu sudah cukup. Harga
untuk efisiensi tersebut sudah tidak wajar."
"Jangan
meremehkan pentingnya senjata. Orang sepertimu yang hanya memilih tempat
berburu berisikan monster yang mati dalam sekali atau dua kali serang saja akan
terus mendiami tempat membosankan itu."
"Apa katamu,
Si Hebat?"
"Kubilang
jangan memanggilku begitu!"
"Sudah, sudah,
tahan dirilah, kalian berdua."
Dari sisi
berlawanan, Master menyela ke dalam percekcokan kami yang tidak kunjung henti.
"Dengar, ada
cara yang lebih sederhana dan mudah dipahami untuk mengatasi masalah itu dengan
sempurna. Biar kujelaskan. Bayangkan bila kalian bisa mengisi kekurangan kalian
itu dengan menggunakan uang tunai. Kalian akan tahu bagaimana serangan dan
pertahanan kalian akan sangat kuat dengan cara ini."
"Bisa tidak,
pemikiran itu kamu simpan untuk dirimu sendiri, wahai pengguna barang berbayar
kelas berat? Kami sedang melakukan obrolan pemain biasa di sini."
"Topik.
Seputar menindas Master."
Master pun seakan
terbelah menjadi dua.
"Tunggu, aku
juga punya pendapat!"
Yang berikutnya
menyela adalah Ako.
"Aku percaya
kalau uang itu penting untuk penampilan. Tidak masalah sekuat apa perlengkapan
kita, yang perlu dilakukan adalah membiarkan orang lain mengalahkan semua
musuh. Jadi kurasa itu bukan hal besar."
"Sudah, jangan
asal bicara."
"Cari
gara-gara, ya?"
"Hiiik?!"
Ako mundur
ketakutan, dipelototi oleh Shiu dan diriku.
Penampilan apanya?
Dasar bodoh. Jika punya waktu untuk memikirkan pakaian, lalu kenapa tidak
digunakan supaya bisa lebih lama bertahan atau lebih banyak melakukan
penyembuhan?
"Ako-san, apa
kamu paham kalau profesi penyembuh itu harus tetap hidup sampai akhir?"
"Eh, tapi
Rusian mati sebelum aku berbuat apa-apa ...."
"Biar kuberi
tahu, perlengkapanku sudah sangat tepat sebagai penahan serangan utama, kamu
paham?!"
Seperti itukah cara
dia memandang diriku selama ini?!
Aku menenggak semua
jusku.
Dia sama sekali
tidak mengerti, kalaupun harus membelanjakan uang, pastinya itu untuk zirah,
astaga.
"Dengar, ya,
yang pasti kamu akan mati tanpa zirah yang bagus. Ternyata healer kita sangat payah."
"Ya, aku tidak
bisa membantahnya."
"Itu sudah
jelas. Tidak ada celah untukmu membantah."
"Waduh, waduh,
aku tidak bisa mendengar apa-apa!"
Dimulai dengan
diskusi mengenai gim beserta permasalahannya tadi, percakapan kami pun
bergonta-ganti topik sesukanya.
Misalnya, sampai ke
cerita lama.
"Heal milik Ako saat itu benar-benar
membunuh, ya? Tidak kusangka dia mengabaikan Rusian yang hampir mati dan justru
merapal beberapa heal ke pihak
musuh."
"Terlebih,
yang dia rapal adalah musuh yang sudah hampir kuhabisi."
Itu terjadi
beberapa hari lalu. Rasanya saat itu aku sudah tidak sanggup lagi
meneruskannya.
"So-soalnya
saat itu kukira harus merapal pada yang garis ukurannya mengikis."
Master menepukkan
tangan sewaktu Ako menggumamkan alasan tersebut.
"Ah, aku
mengerti. Roh cahaya-lah yang patut dipersalahkan."
"Roh
cahaya?"
Ah, aku ingat, yang
itu!
"Oh, semua
berawal dari saat itu, ya? Ako tidak tahu bagaimana cara menggunakan skill dan salah satu NPC memberitahunya
untuk meminjam kekuatan dari roh cahaya, jadi dia terus berdoa kepada para Roh di setiap obrolan!"
"?!"
Ako mengibaskan
tangannya seolah ingin mengusir sesuatu ketika kami membahas bagian dari
kenangan lama.
"Bu-bukan
begitu! Maksudku, orang gereja itu bicara mengenai cara mereka menyembuhkan
luka dengan meminjam kekuatan Roh Cahaya!"
"Lebih baik
itu tidak usah dipercaya ...."
Atau misalnya lagi,
untuk topik duta yang sama sekali tidak kami singgung sebelumnya.
"Sebenarnya
aku tidak sedewasa itu, dana daring-ku pun awalnya diberikan oleh orang tuaku.
Mereka terlalu protektif meski cenderung mengabaikanku, kalian tahu, mereka
mengatakan hal-hal konyol yang sudah tidak cocok untuk zaman sekarang, seperti
harus bijak dalam memilih teman. Itu tidak akan terjadi andai aku tidak
diperbolehkan menggunakan uang dalam gim yang bisa kumainkan di rumah."
"Oh, rupanya
kamu seorang gadis terhormat dari keluarga baik-baik, ya, Master?"
"Kesan yang
terasa darimu memang begitu, ditambah, kamu juga sangat cantik."
Sambil menyipitkan
matanya, Master menyeringai pada Ako yang mengatakan hal tadi.
"Tidak
juga."
"Sungguh
rendah hati ...."
Ren-rendah hati?
Rasanya itu patut dipertanyakan.
"Diriku tidak
cukup layak dikatakan demikian. Meskipun kaya, aku bisa berkembang melalui
pinjaman awal yang kusebutkan tadi, dan keluargaku hanya memiliki beberapa
perusahaan dan sekolah saja."
Eh, dia tidak
menyangkal di bagian cantik
sebelumnya.
Aku memang tidak
menemukan celah untuk membantah ucapannya tadi, tapi jelas tidak ada kerendahan
hati di dalamnya.
"Hmm, beberapa
sekolah .... Jangan-jangan itu ...."
"Itu termasuk
SMA Maegasaki. Itulah salah satu alasan aku bersekolah di sana."
"Tidak
mungkin. Itu luar biasa! Berarti bisa jadi kamu putri pemilik sekolah!"
"Aku memang
putri pemilik sekolah."
"Wah,
mengagumkan. Kedengarannya seolah kamu punya kuasa untuk meningkatkan nilai
pelajaran atau semacamnya. Aku jadi iri."
"Meningkatkan?
Ini bukan statistik. Otakmu itu sudah terlalu tenggelam ke dalam gim daring,
ya?"
Ujar Shiu dengan
nada jengkel. Berisik, aku yakin kalau dia berpikir seperti itu.
Kualihkan
pandanganku sambil mendesah dan disana terdapat Ako yang tersenyum diiringi
kegelapan pada matanya.
"Waah ....
Orang kaya dengan masa depan cerah dan terjamin harusnya mati saja ...."
Eng .... A-Ako-san?
"Ako,
Ako?!"
"Tenanglah,
Ako, itu adalah Master! Jangan-jangan gejala itu terjadi juga di sini?!"
Sadar, sadarlah.
Kugoncang bahu Ako.
Sambil
terombang-ambing, kesadaran Ako pun kembali setelah sekitar sepuluh goncangan.
"Maaf, aku
terlalu banyak bicara."
"Kata-katamu
tadi sudah berlebihan .... Lagi pula, bukankah kamu harus menjaga setiap ucapan
dan perilaku layaknya putri pemilik sekolah yang merangkap ketua OSIS?"
"Yah, aku
tidak bisa menyangkalnya"
Ucap Master
dibarengi senyum masam.
"Aku tidak
begitu pandai menerangkan tentang kepribadianku di awal percakapan hingga yang
lain merasa nyaman, terlebih mengenai beberapa persyaratan untuk bisa menjadi
temanku. Namun jangan khawatir, mataku terbuka setelah bermain gim daring dan
berhubungan langsung ke dunia maya. Aku pun akhirnya mendapat persetujuan dari
orang tuaku agar bisa berteman dengan siapa saja setelah berdebat panjang"
"Ooh."
Semuanya saling
bersahutan kagum.
Ada yang menemukan
kebenaran dalam internet — contoh sukses dari hal tersebut?
Ya, betul,
syukurlah, sungguh.
"Sayangnya itu
sudah terlambat."
Tiba-tiba semua
menjadi senyap.
"Mas-Master?"
"... huh.
Meski tanpa teman di sisiku sekalipun, aku tetap akan berjuang seorang
diri."
"Master, mari
berjuang bersama menghadapi pergaulan!"
"Bagus, Ako,
kita adalah rekan seperjuangan."
Tangan Ako dan
Master saling menggenggam erat, melintasi batasan tahun angkatan.
"Hanya melihat
ini perutku jadi sakit."
"Aku jauh-jauh
kemari bukan untuk melihat acara jabat tangan ...."
Baik Shiu dan aku
sama-sama menyeka air mata.
Dan membahas
tentang topik duta itu ternyata jauh lebih menyenangkan meskipun kami tidak
pernah melakukan ini sebelumnya. Begitu menyenangkan hingga membuatku heran
kenapa tidak sejak dulu saja.
Biarpun begitu,
kesempatan seperti ini tidak akan datang andai kami tidak mengadakan kopi
darat. Yah, kalau niat awalnya baik, segalanya pasti akan baik.
Sesuatu terlintas
di benak kami sewaktu membahas tentang duta.
"Kalau tidak
salah, tempo hari aku mendengar gosip tentangmu, Segawa ... eh, Shiu."
"Hah?
Apa?"
"Sebuah gosip
yang harus kamu klarifikasi. Bukan begitu, Si Hebat?
Aku mendengar
cerita tentang Maeda atau siapalah itu saat apel tempo hari. Aku ingat kalau
Shiu sendiri sempat membahasnya.
"Ha-haah?
Kenapa itu malah jadi gosip? Makanya bagiku semua anak lelaki itu—"
"Padahal kamu
sempat menyombongkannya sewaktu dalam gim, 'kan? Aku masih ingat, tahu?"
"Itu ... ya
itu."
Dan ini ya ini,
begitu?
Aku tidak begitu
peduli — meski aku tidak yakin yang lain juga berpikir begitu.
"Begitu
rupanya. Jadi Schwein adalah salah satu dari orang sukses yang berbeda dari
kita, begitu? Aku sangat paham sekarang. Baiklah, aku perlu seseorang untuk
meninju sebuah tembok rata!"
Jari-jari master
berderak.
Seolah menanggapi,
Ako berpose dengan kedua tangannya diangkat ke atas.
"Agen peninju
tembok rata siap melayani Anda! Kami akan meninju tembok rata apa pun di
sekitar Anda! "
"Dia kutolak!
Sudah kubilang kalau aku menolaknya, 'kan?"
Shiu bergegas
mengakhiri panasnya situasi sewaktu Ako mengepalkan tangannya.
"Kamu
menolaknya begitu saja apa karena tidak tertarik pada hal-hal semacam itu,
Shiu? Atau mungkin kamu sudah punya orang yang disukai?"
Entah kenapa
kuajukan pertanyaan seputar privasi tersebut yang membuatku bimbang apa aku
sudah melampaui batas. Biasanya aku tidak pernah bisa mengajukan pertanyaan
itu, tapi entah kenapa hal ini bisa terlontar begitu saja.
"Tidak, itu
..., hmm ...."
Dan pihak yang
ditanyai — Shiu — tampak mulai memikirkan jawaban dengan memperlihatkan
kegelisahannya.
Segawa tidak begitu
modis. Posturnya pendek, atau tepatnya, seluruh tubuhnya mungil. Dia mungkin
tidak feminin. Twintail-nya bisa
dianggap kekanakan ataupun menggemaskan tergantung sudut pandang yang
melihatnya, dan mungkin saja ada yang berpikir sebaliknya.
Meski begitu,
paling tidak paras yang dimiliknya lebih menonjolkan dirinya. Secara obyektif,
aku lebih menganggapnya manis.
Dan ini bukan
berarti sisi dirinya yang lain tidaklah penting — atau begitulah menurutku.
"Soalnya jika
niatku memang ingin berpacaran, maka aku harus selalu meluangkan waktu untuk
hal itu, 'kan?"
Ujar Shiu dengan
tenang setelah sedikit merenung.
"Yah, benar
juga. Kamu butuh waktu untuk berduaan dengan pacarmu."
"Benar, 'kan?
Dan itu berarti, aku hanya punya sedikit waktu untuk gim daring. Iya,
'kan?"
"Yang
benar?!"
Gadis itu justru
menambahkan sesuatu yang tidak perlu!
"Itu sungguh
akan mengurangi waktu untuk bermain gim daring, ya?"
Dan entah kenapa,
Ako dengan jelas menampakkan sikap setujunya.
"Benar!"
Segawa pun
melanjutkan setelah mendapat seorang simpatisan.
"Soalnya
kalian akan benar-benar menentangnya, 'kan?"
"Aku pasti
akan menentangnya!"
"Menolak
merupakan pilihan yang sangat tepat."
Ako dan Master
langsung ikut setuju tanpa sempat mempertimbangkannya.
"Kalian ini
serius, tidak, sih ...."
Padahal aku sendiri
ingin punya pacar. Sekumpulan orang ini sudah berlebihan dalam menyikapi hal
tersebut.
Shiu memelototiku
setelah aku terang-terangan mengutarakan keherananku.
"Apa? Masalah
buatmu?"
"... tidak.
Aku merasa lebih senang dirimu yang ini ketimbang sewaktu di sekolah."
"Itu jelas
bukan pujian, 'kan?"
Berbeda dengan
kata-kata kasarnya tadi, Shiu kini tertawa pelan.
Aku tidak pernah
bisa mengobrol seperti ini ataupun membicarakan hal-hal barusan dengan seorang
Segawa, tapi ini menjadi mudah ketika lawan bicaranya adalah Shiu.
Kata-kata yang
biasanya menyebalkan sekarang jadi tidak terasa menusuk.
Entah kenapa aku
justru merasa senang.
Dan andai
pemikiranku ini benar, Shiu juga terlihat menikmatinya.
"Kalau begitu,
coba ubah pemikiran tadi! Bagaimana kalau kamu juga mencari pasangan seperti
yang kulakukan dalam gim, Shiu-chan? Kalian bisa bersama tanpa kehilangan waktu
bermain gim. Benar, 'kan?"
Ucap Ako sambil mengandeng
tanganku.
Tidak. Aku dan Ako
menikah hanya di dalam gim, dan itu sungguh tidak ada kaitannya dengan
pernyataan cinta di duta. Sedikit pun tidak ada.
"Eng ...,
seorang pacar yang bisa bermain gim daring bersama, ya .... Tidak. Itu
mustahil. Yang ada malah terdengar menjijikkan."
"Hei."
Jangan mengatakan
itu sambil melihatku! Seharusnya dia berkaca dulu, 'kan?
Dan begitulah, kami
membicarakan segala hal. Kami pun tetap bertahan di ruangan pribadi itu dari
siang sampai malam tanpa berpindah ke tempat lain. Kopi darat ini sendiri
ternyata menyenangkan tanpa ada hal yang membosankan.
††† ††† †††
Saat mentari sudah
terbenam, kami meninggalkan restoran dan kembali ke stasiun meski rasanya
enggan untuk berpisah.
"Seandainya
ada lebih banyak waktu, aku ingin kita bisa makan malam bersama. Maaf, izin
yang kudapatkan dari keluargaku tidak bisa lebih dari ini."
"Tidak
apa-apa, aku juga bisa dimarahi jika tidak kembali saat makan malam."
Shiu langsung
mengangguk pada Master yang sedang menundukkan kepala. Bukankah posisi mereka
sekarang terbalik?
"Yang tadi
seru sekali. Lain kali ..., lain kali, ayo lakukan ini lagi."
Sebagai orang yang
terakhir meninggalkan restoran, Ako dengan murung menyampaikan, tampak seperti
masih enggan pergi.
"Tidak perlu.
Meski kamu bilang begitu, kita sendiri satu sekolah, jadi kita bisa
melakukannya kapan saja, 'kan?"
"Oh ...,
begitu! Betul!"
Aku sama sekali tidak kepikiran! adalah ekspresi dari mata Ako yang berkilauan.
Begitulah,
Master mengangguk seolah menyampaikan hal tersebut.
"Baik,
bagaimana kalau kita menetapkan ini sebagai acara mingguan?"
"Aku tidak
sanggup kalau kita melakukannya setiap minggu. Rasanya seperti sisi gelap yang
kupunya akan terbawa dalam kehidupan sehari-hari jika terus mengikuti sikap
kalian."
"Kata-katamu
itu terlalu berlebihan. Apalagi hingga menyebut sisi gelap."
"Ups, gawat,
itu berbahaya. Otaku itu menjijikkan,
menjijikkan, menjijikkan, menjijikkan."
Apa itu? Semacam
mantra?
Terasa menyenangkan
hingga akhir, bahkan sesampainya kami di stasiun.
Seakan ingin
meredakan ketegangan ketika semuanya saling memandang wajah masing-masing,
udara hangat yang lembut berembus seolah akan menyelimuti kami selamanya.
Kami menunggu saat
yang tepat untuk berpisah sewaktu berada di kerumunan orang-orang yang
berdempetan melewati gerbang tiket— tanpa sadar mulutku terbuka.
"Entah
bagaimana mengatakannya, tapi aku minta maaf."
Kata-kata yang
kulontarkan adalah permintaan maaf.
"Kenapa kamu
meminta maaf, Rusian?"
Ako menatapku
penasaran.
Istriku
mendekat hingga ke jangkauan tanganku, lebih dekat ketimbang jarak yang bisa
dianggap teman tanpa khawatir sama sekali.
Benar, dia juga
bagian dari alasannya.
"Begini,
sejujurnya, aku sempat mengira kalau kalian semua anak lelaki."
"Oh,
begitu?"
Master lalu
memperlihatkan senyuman lembut yang jarang diperlihatkannya, kemudian perlahan
mengangguk.
"Padahal aku
sudah pernah berkata bahwa aku adalah gadis SMA sungguhan di duta, tapi rupanya
kalian sedikit pun tidak memercayainya."
"Ya, jelas,
lah!"
Siapa juga yang
bisa langsung percaya hal itu?!
"Saat awal
tadi penampilanmu sudah meyakinkan."
"Sebagian
besar itu gara-gara kamu."
Shiu juga
mengejutkan.
Tidak kusangka dia
selalu memakai sifat angkuh dan kelelakiannya.
"Ditambah,
kupikir rasanya akan jadi canggung setelah kita berkumpul begini."
"Apa aku bisa ikut mengobrol mengingat hanya
aku saja lelaki di sini? Apa aku pergi saja, ya? seperti itukah yang kamu
pikirkan?"
Master tersenyum.
"Ya. Awalnya
aku benar-benar gugup. Tapi ... ternyata menyenangkan."
Sembari mengingat
betapa menyenangkannya separuh hari ini, aku sedikit melirik ke langit senja
yang mulai menggelap.
"Yah, kupikir
apa pun yang terjadi dalam gim seharusnya tetap dipendam di sana, begitu pula
dengan yang ada terjadi duta, itu dua hal yang sungguh berbeda. Sebaiknya
jangan menggabungkan keduanya, dan sebisa mungkin memisahkan hal tersebut.
Maksudku, orang yang bagus di dalam gim bisa menjadi jelek saat di duta, atau
yang bagus di duta bisa menjadi saat dalam gim. Cerita seperti itu seringkali
kudengar."
Itu memang sering
terjadi.
Beberapa dari
mereka berpikir secara rasional sewaktu di duta namun apa pun bisa terjadi saat
di dalam gim, atau mereka yang gampang memuji sesamanya ketika dalam gim justru
berubah menjadi bajingan setelah bertemu muka secara langsung. Ada terlalu
banyak macamnya untuk dihitung.
"Tapi setelah
bertemu sungguhan seperti ini, aku merasa sangat menikmatinya. Dalam pikiranku,
Wah, rekan-rekanku memang yang terbaik,
baik di gim maupun di duta."
Setelah perlahan
berbalik, aku lalu membungkuk ke hadapan rekan-rekan di sekitarku.
"Itu sebabnya—
maaf karena sempat tidak memercayai kalian. Dan juga, terima kasih."
Shiu tiba-tiba
tertawa mendengar kata-kata seriusku.
"Menjijikkan!
Hina pula!"
"Bukankah itu
sudah kelewatan?!"
Yang dia lontarkan
barusan merusak suasanya yang sudah kubangun.
"Tidak.
Reaksiku padamu akan tetap sama entah itu saat di duta ataupun dalam gim."
"Maksudku,
tentu, bisa jadi memang begitu, tapi tetap saja!"
Sial, seharusnya
aku tidak perlu meminta maaf tadi.
"Bhh ...
fufufu, wuahahahaha."
"Master,
tawamu terlalu berlebihan!"
Dia juga tidak ada
bedanya.
"Ti-tidak,
tidak. Aku tidak akan menyalahkanmu. Saat pertama kali melihatmu, Rusian, aku
juga sempat meragukanmu, bertanya-tanya apa kamu tipe lelaki yang menatap mesum
ke sembarang gadis. Kita impas."
Ucap Master tampak
seolah sedang menahan tawa.
Memangnya aku ini
dianggap apa? Astaga.
"...
tapi."
Shiu lalu menarik
kerahku ke hadapannya kemudian berbicara dengan pandangan apatis yang membuatku
merinding.
"Kalau sampai
kamu mencoba bersikap akrab padaku di sekolah, aku tidak akan segan-segan
padamu. Ingat itu. Paham?"
"Jadi kamu
tetap bersikap seperti itu di sekolah .... Ba-baik."
"Bagus."
Sambil berpaling
dariku, Shiu mengubah ekspresinya menjadi senyuman.
Nya-nyaris sekali.
Wajahnya tadi terlalu dekat. Dia sungguh manis ketika dilihat dari jarak
sedekat tadi. Maksudku wajahnya.
Pikiranku yang
dilanda kebingungan karena berada sangat dekat dengan senyum seorang gadis,
ditarik mundur oleh sebuah sentakan.
"Wuah."
Lalu, sesuatu yang
lembut mendekap belakang punggungku.
Hangat, lembut, dan
sangat harum.
"Huh!"
Suara cemberut itu
terdengar tepat di atasku.
E-eng ..., Ako-san?
Dia sedang apa?
Atau tepatnya, kenapa melotot ke arah Shiu?
"Ah,
Ako?"
"...
huh!"
"Tidak, aku
tidak akan merebut suamimu, jadi tidak perlu mengancam seperti itu."
Aku tidak butuh dia, Shiu mengalihkan pandangannya ke arah Master setelah mengisyaratkan
hal itu.
"Sungguh?"
"Tentu."
Setelah saling
tersenyum masam, keduanya berjalan menuju gerbang tiket bersama.
"Sampai jumpa
lain waktu. Kalian boleh memanggilku Master jika bertemu di sekolah!"
"Tidak, aku
tetap akan memanggilmu ketua OSIS! Baiklah, dah!"
Mereka mengucapkan
selamat tinggal lalu berlanjut ke stasiun.
Keduanya lenyap
dari pandangan kami sebelum akhirnya Ako melepaskanku. Selagi diriku merasa
lega karena terlepas dari ketidaknyamanan tubuhku yang setengah membungkuk,
rasanya sedikit disayangkan berpisah dari sensasi yang dihadirkan Ako.
—jadi, eng ...,
Ako-san. Kenapa dia memandangiku?
Aku balas
memandanginya lalu Ako berbicara dengan suara pelan,
"Rusian, apa
kamu sungguh mengira aku adalah lelaki?"
"... maaf,
jujur saja, aku bahkan mengira kalau kamu adalah om-om."
"Kok
bisa?!"
Ako berteriak
disertai amarah terkejam dari yang pernah ditunjukkannya sepanjang hari ini
setelah kuutarakan pendapat jujurku. Teriakannya itu tidaklah begitu keras
seperti halnya penampilan tenang yang dikesankannya, namun kekuatan dari
teriakan tersebut tetap membuatku termundur.
"Sudah
kubilang kalau aku seorang gadis, 'kan?! Kenapa kamu tidak percaya?!"
"Itu, yah ...,
itu terlintas begitu saja dan aku tidak terlalu memedulikannya."
"Sekarang pun
kamu tidak memedulikannya, 'kan?!"
"Ma-maaf."
Ta-tapi, asal tahu
saja, kupikir ada beberapa hal di mana aku tidak bisa disalahkan karena
berpikir demikian.
Tidak ada seorang
pun yang akan begitu saja menganggap istri mereka adalah seorang gadis manis,
terlebih, aku juga memiliki trauma lama. Ini lebih cocok bagi kesehatan
mentalku dengan menganggapnya lelaki. Iya, 'kan?
Meski begitu, Ako
tidak menunjukkan tanda-tanda akan tenang dan justru mengajak berdebat.
"Pertama,
Rusian, kenapa kamu setuju menikah jika kamu menganggapku lelaki?"
"Itu, yah ...,
kupikir begitu juga tidak apa-apa."
"E-eeeh?!"
"Tidak, tidak,
tidak dalam pengertian semacam itu!"
Jelasku pada Ako
yang kebingungan dengan mata terbelalak.
"Aku sungguh
berpikir kalau duta dan gim itu terpisah. Itu sebabnya, meksi kamu adalah
lelaki di luar gim, kupikir bukan masalah bagiku karena kamu tetaplah Ako di dalam gim."
Hanya inilah yang
kupikirkan saat mengatakannya, tapi tampaknya itu tidak begitu memberi dampak.
Ako mungkin akan
menganggapku aneh— atau begitulah pikirku.
"Apa itu ...
karena kamu mencintai diriku"?
"... yah,
begitulah."
Apa dia perlu
menanyakan hal itu?
Sadar karena
wajahku memerah, aku mengalihkan pandangan dari Ako dan mengangguk.
Wah, ini sangat
memalukan. Kenapa aku dipermalukan di tempat seperti ini?
"Kalau begitu,
Rusian, apa maksudmu itu adalah jatuh cinta pada diriku tanpa memandang asalku, usiaku, wajahku, ataupun jenis
kelaminku? Hanya diriku?"
"I-iya,
benar."
Itinya memang
begitu.
Ako menatapku tajam
setelah mendengar jawabanku yang malu-malu — kemudian memperlihatkan senyum
lega yang mengembang.
"Rusian, aku
juga!"
"O-oh?!"
Ako lalu
menggenggam erat kedua tanganku dan berulang kali mengayunkannya dari atas ke
bawah.
Tangan Ako
benar-benar hangat ... dan lembut.
Kehangatan itu
menyebar melalui tanganku seakan ingin mencairkan kebekuannya, menyelimuti
keduanya.
"Aku ingin
bersamamu, Rusian, karena kamu adalah dirimu. Meski dirimu bukan lelaki
sebayaku yang tinggal di sekitarku, meski kamu benar-benar berbeda dari
bayanganku, aku pasti akan tetap mencintaimu! Sungguh, percayalah padaku."
"Te-terima
kasih, Ako."
Ako mengatakan hal
itu sambil berlinang air mata, tampaknya dia benar-benar senang.
Eh, harus seperti
apa aku menanggapinya?
Ako akan
mencintaiku meski aku berbeda dari Rusian
yang ada dalam pikirannya .... Apa itu berarti aku tidak jauh berbeda dengan
diriku yang ada di bayangannya?
Bahkan jika aku
berbeda, dia akan tetap mencintaiku—
"Bukan, bukan
seperti itu. Tenanglah dulu. Gim dan duta itu berbeda, gim dan duta itu
berbeda, gim dan duta itu berbeda ...."
"...?
Rusian?"
Pelan-pelan
kulepaskan genggaman Ako dan berkata, "Tidak apa-apa," padanya.
Rasanya memalukan,
apalagi kini orang-orang memandangi kami karena kehebohan sebelumnya.
"Sudah malam.
Ayo pulang."
"Tapi aku
masih ...."
"Aku harus
segera pulang. Ayo."
Ako mengeluh tidak
puas, namun akhirnya mengangguk patuh.
"Rusian,
sampai ketemu besok ..., eh, bukan, nanti! Hari ini aku akan berusaha agar
tidak menjadi beban!"
"I-iya.
Berhati-hatilah dalam perjalanan pulang."
"Iya. Kalau
begitu, :melambai:!"
"Melambai yang
itu tidak usah diucapkan keras-keras jika di duta!"
Ako lalu pergi ke
stasiun, tangannya melambai tanpa henti.
Lagi-lagi melambai,
aku penasaran apa dari sisi lain kami terlihat seperti sepasang kekasih.
Kurasakan beberapa tatapan tertuju pada kami disertai cekikikan.
Diriku dan Ako
tidaklah seperti itu. Ini pertama kami kalinya kami bertemu.
Dan terlepas dari
itu, rasanya seolah kami memang sudah dekat—
Dalam hatiku
bertanya, ada apa dengan kegelisahan yang menggelitik ini?
Jika digambarkan,
ya, ini seperti aku menginjak sebuah ranjau darat yang sangat besar.
"A-aku harus
cepat pulang. Betul, waktunya pergi"
Aku segera bergegas
seakan mengalihkan mataku dari suatu hal.
††† ††† †††
◆ Schwein: Hahaha,
permainan Ako malah lebih buruk dari biasanya, wkwkwk.
◆ Ako: Padahal aku sudah
berusaha keras ....
◆ Apricot: Ada kalanya
usaha kita tidak membuahkan hasil. Jangan terlalu dipikirkan, Ako.
◆ Schwein: Aku juga tidak
begitu peduli, wkwkwk. Tidak masalah
bagiku, wkwkwk.
◆ Rusian : Ya, begitulah,
jangan khawatir. Paling-paling dampaknya adalah EXP-ku yang terus merosot
karena penalti kematian.
◆ Ako : Maafkan aku,
Rusian.
◆ Rusian : ... hanya
bercanda, jangan dimasukkan ke hati.
Malam selepas acara
kopi darat, kami berkumpul dan berburu seperti biasa, tapi permainan Ako jelas
lebih buruk dari biasanya. Aku merasa iba pada karakterku yang harus menderita
karenanya.
Meski begitu, ini
masih berada dalam batas tingkat kesalahan Ako yang biasanya, walau itu tidak
lagi menghibur. Lagi pula, saat aku memikirkan Ako Tamaki-san yang menangis
dari balik monitor, rasanya aku bisa memaafkannya.
Terlepas dari
diriku yang sering membenarkan diri lewat ucapan kalau gim dan duta itu
berbeda, aku malah cenderung ingin menyenangkan diri sendiri.
Setelah
menyelesaikan perburuan, kami pun kembali ke kota, duduk di kursi yang biasa,
ditemani Ako yang selalu di sebelahku.
◆ Ako: Kerja bagus,
Rusian.
◆ Rusian: Eng ...,
sama-sama.
Itu memang
rutinitas kami yang biasanya, tapi jantungku jadi berdegup lebih kencang ketika
mengingat gadis yang duduk di sebelahku hari ini.
Tenang, tenanglah,
yang itu Ako versi duta dan yang ini istriku, Ako.
Tapi sedikit
mengejutkan karena kami bisa bermain seperti tidak ada yang berubah.
Setelah benar-benar
bertemu dan saling mengenal secara pribadi, mengetahui kalau usia dan angkatan
kami ternyata sama, kusadari kalau kami mungkin tidak dapat terus menganggap
satu sama lain sebagai rekan, istri ataupun suami.
Kami menjaga ruang
yang nyaman ini karena tidak saling mengenal di duta. Dengan bertemu dan tahu
bahwa tempat tinggal kami tidak berjauhan, emosi seseorang bisa cukup untuk
mengubah segalanya— itulah yang kucemaskan.
Lalu sebuah
gelembung muncul di atas karakter Master.
◆ Apricot: Baik, sudah
waktunya aku pergi. Ada urusan yang harus kukerjakan besok pagi.
◆ Schwein: Maksudmu urusan
sekolah? Eh ..., ups.
◆ Apricot: Tepat sekali.
Master mengangguk
tanpa terlihat keberatan terhadap topik duta yang tidak sengaja disinggung
Shiu.
◆ Apricot: Walau
orang-orang menganggap kalau aku tidak terlalu sibuk sebagai ketua OSIS, tapi
ada kalanya aku memang sibuk. Kalian boleh memanggilku Master kapan pun kalian
bertemu denganku di sekolah.
◆ Schwein: Memangnya aku tidak punya malu apa?!
◆ Rusian: Hei, Shiu, sifat
aslimu akhirnya keluar!
◆ Schwein: O-orang sehebat
diriku ini tidak mungkin berbuat konyol! Ha-hal yang bodoh!
◆ Rusian: Tenang! Ucapanmu
mulai meracau!
◆ Apricot: Hahaha, terima
kasih atas komedi pengantar tidurnya. Baiklah, lain waktu kita bertemu lagi.
Menyampaikan yang
harus dia katakan, Master pun memutuskan sambungannya tanpa basa-basi.
Orang itu
benar-benar tidak berubah. Ketenangannya sungguh luar biasa.
◆ Ako: Aku mau mandi dulu
lalu tidur.
Kata-kata dari Ako
tersebut membuatku mengkhayalkan sosok Tamaki-san yang sedang mandi — pikiran
itu muncul sesaat sebelum aku mengembalikan kesadaranku.
Duta dan gim itu
berbeda, duta dan gim itu berbeda.
◆ Rusian: Terima kasih
untuk hari ini.
◆ Schwein: Pastikan kamu
membilas semua lumpur dari tubuhmu.
◆ Rusian: Dia bukan babi
sepertimu, Schwein-san.
◆ Schwein: Jangan sebut si
Hebat ini sebagai babi! Argh, menyebalkan!
◆ Rusian: Sikapmu jadi
kacau.
◆ Schwein: Se-semuanya jadi sulit setelah kamu tahu
wajahku!
Yah, terserahlah.
Aku jadi tidak bisa
berhenti menyeringai setiap kali membayangkan wajahnya ketika berbicara dengan
angkuh.
◆ Ako: Baiklah, selamat
malam.
◆ Rusian: Oke.
Seusai melihat
kepergian Ako yang menghilang sambil melambaikan tangan, Shiu tiba-tiba angkat
bicara.
◆ Schwein: Ah, dengar ini.
Seperti yang kubilang, jika kamu mencoba akrab denganku hanya karena sekarang
kita lebih saling mengenal, aku akan benar-benar membunuhmu, paham?
◆ Rusian: Aku sangat
paham. Aku tidak akan memberi tahu siapa-siapa, dan sikapku terhadapmu juga
tidak akan kuubah.
◆ Schwein: Sungguh? Aku
pegang janjimu, ya?
Ucap Segawa dengan
rasa cemas, atau mungkin tidak puas.
Cara bicaranya
benar-benar kacau sekarang.
Apa-apaan itu? Apa
dia punya sedikit kepercayaan terhadapku?
◆ Rusian: Gim dan duta itu
berbeda. Hanya karena aku dekat dengan Shiu di dalam gim, bukan berarti aku
akan akrab dengan Segawa di duta.
◆ Schwein: Oh? Baguslah
kalau begitu.
◆ Rusian: Ya, jangan
khawatir.
Setelah membuat
Rusian membungkuk berlebihan, Segawa membuat Shiu mengangkat bahu dan sebuah
pesan obrolan muncul,
◆ Schwein: Kenapa kamu
berkata sok kalem begitu, seperti paham segalanya saja? Menjijikkan!
◆ Rusian : Terserah!
Bagaimana
menjelaskannya, ya? Kata-kata kasar tadi memang ciri khas dari Segawa.
Tapi tetap saja,
itu, yah, tidak menggangguku. Sama sekali tidak. Aku akan kesal jika Segawa
yang mengatakannya, tapi bukan masalah kalau kuanggap itu Shiu yang berbicara.
Ternyata itu tidak tergantung hanya dari kata-kata saja, melainkan dari
orangnya juga.
Tidak, maksudku,
mereka berdua itu orang yang sama.
◆ Schwein: Lalu ...,
sebaiknya kamu jangan terlalu dekat dengan Ako. Kasihan dia kalau sampai ada gosip aneh yang menyebar.
◆ Rusian: Jangan bilang
kalau kamu kasihan jika dia punya gosip yang berkaitan denganku .... Yah,
memang benar kasihan, sih.
◆ Schwein: Benar, 'kan?
Itu sungguh tidak
baik untuk Ako. Ini memang kenyataan yang kejam bagi seorang otaku terbuka.
Dan setelah jeda
sejenak, Shiu kembali bersikap seperti Segawa yang biasa.
◆ Schwein: ... sebenarnya
aku mendukung saja kalau kamu benar-benar ingin menjalin hubungan nyata dengan
Ako.
◆ Rusian: Tidak!
Tegasku
menyatakannya dalam kesimpangsiuran tadi.
◆ Rusian: Hal semacam mengajak seorang gadis yang dikenal melalui
internet supaya mau menjadi pacar itu tidak akan kulakukan.
◆ Schwein: Padahal dari
sudut pandang yang melihat, hari ini kamu mirip seperti raja gombal di medsos,
tahu?
◆ Rusian: Jangan bilang
begituuuuu!
◆ Schwein: Wkwkwk.
Shiu tertawa,
seolah yang dikatakannya tadi tidaklah serius, tapi keadaan mentalku kini sudah
nyaris membuatku muntah.
Raja gombal.
Julukan paling
hina.
Julukan bagi
sampah.
Julukan yang
kubenci.
Mereka yang dijuluki
raja gombal itu punya satu misi. Mereka akan mencari perempuan yang ada di
dalam gim, merayu mereka, menyanjung mereka, dan memaksa mereka agar mau
bertemu di duta.
Mereka akan
seefisien mungkin dalam merayu, sesegera mungkin merayu targetnya.
Mereka adalah
eksistensi paling dibenci dalam dunia gim daring.
Aku bukanlah
mereka, aku bukan seorang perayu!
◆ Schwein: Terserahlah. Pastikan kamu sepakat dengan Ako dalam menentukan
seperti apa jarak yang harus kalian jaga saat bersama.
◆ Rusian: Oke.
◆ Schwein: Kalau begitu,
aku keluar dulu, kawan.
◆ Rusian: ... jadi kamu
juga tetap bersikap begitu?
◆ Schwein: Cerewet.
Setelah
memelototiku, Shiu pun menghilang.
Tetap saja, memang
perlu adanya jarak antara diriku dan Ako, 'kan?
Saat berpisah tadi
itu jelas bukanlah suasana yang dihadirkan antara sesama teman.
"Tapi
...."
Keinginan untuk
tidak mengungkapkan apa pun dan tetap menjaga status ini tersebut pasti akan
terasa.
Sejauh ini aku
tidak ada masalah dengan Ako. Kami pun seperti kenalan lama saat bertemu tadi.
Bukankah sebaiknya
jarak tersebut tidak perlu ditegaskan lewat ucapan, mengingat itu bukanlah
kewajibanku?
Soalnya, tahu
sendiri, Ako yang kutemui ini begitu manis.
Wajah Tamaki-san
lalu muncul dalam pikiranku, menampakkan ekspresi malu di hadapanku.
"—tidak!"
Yang seperti itulah
yang dipikirkan oleh mereka!
Yang mendorong kaum
lelaki untuk merayu!
Dan membuatku
menyatakan cinta pada seorang hode!
Sambil tergesa
keluar dari gim, kumatikan komputer lalu merebahkan diri ke kasur.
Gim dan duta itu
berbeda, gim dan duta itu berbeda— aku berusaha tidur dengan membawa pemikiran
itu, tapi yang terlintas hanyalah wajah Tamaki-san yang mengintipku layaknya
seekor kucing manja.
Meski sudah
menggelengkan kepala supaya pikiran itu lenyap, yang ada justru dia semakin
menempel layaknya Ako sendiri.
0 tanggapan:
Posting Komentar