Sakurasou Jilid 1 Bab 2

=========================================================
Bab kedua pun dimulai... Sekadar mengingatkan kembali alasan ane mengambil seri ini adalah karena detail yang gak diceritakan pada anime-nya memang menarik untuk diikuti...
Kamaboko adalah sejenis pasta ikan dengan tekstur lembut yang sering dianalogikan seperti payudara...
Hiyashi Chuuka merupakan ramen dengan versi dingin... Di Jepang makanan ini populer saat musim panas...
Kayaknya beberapa dialog di sini itu gak ada di anime-nya... FEEL-nya benar-benar kerasa... Ane saja sampai terkesima bacanya...

Dan ane pun jadi sedikit paham soal kenapa Mashiro jadi seperti itu...
Terima kasih pada pembaca setia dari blog ini yang masih setia juga mengikuti seri ini...
Selamat menikmati...
=========================================================


Bab 2 - Apa yang Harus Kulakukan?

Bagian 1


Pagi seorang Sorata Kanda dimulai lebih dini.

Bahkan sebelum jam setengah tujuh pagi.

Dan sebelum ponsel yang digunakannya menggantikan jam alarm akan berbunyi, dia akan dipaksa bangun kembali ke dunia nyata oleh salah satu kucingnya, entah itu si kucing putih Hikari yang menempelkan bokong pada wajahnya, atau mungkin si kucing hitam Nozomi yang meninju wajahnya dengan kaki, atau malah si kucing belang Kodama yang melompat ke atas perutnya.

Alarm ponsel yang akan berbunyi beberapa saat kemudian adalah lagu tema pertempuran pada gim RPG yang digemari Sorata sewaktu masih SMP. Dia menyetelnya sebagai alarm sejak April lalu supaya bisa bersemangat di pagi hari. Hanya sekali mendengar refreinnya saja, membuatnya merasa mampu menghadapi apa pun di hari itu.

Hal pertama yang dilakukannya setelah bangun adalah mencuci muka. Setelah itu, dia berpindah ke ruang makan bersama dengan tujuh kucing di kakinya yang menempel merengek meminta makan.

Setelah menyiapkan makanan untuk kucing-kucingnya, mereka akan menyerbu Sorata dengan kecepatan penuh, dan Sorata akan memakai waktu tersebut untuk menyantap roti panggang sambil meminum susu.

Itu adalah rutinitas pagi yang biasa dan normal.

Satu-satunya hal yang tidak begitu normal adalah setiap kali Sorata membuka kulkas, dia pasti akan merasa sedikit murung.

Pembagian tugas Asrama Sakura ditempelkan pada pintu kulkas. Dan di antara tugas-tugas tersebut tertempel sebuah memo merah, yang dilekatkan dengan sejumlah magnet berwarna-warni, yang mustahil terabaikan.

Tugas Mashiro – Sorata Kanda

Merah itu melambangkan merah abadi. Yang berarti bahwa tugas ini berlaku selamanya.

Selagi menahan luka psikologis yang disebabkan semua ini, Sorata berdiri di dapur dengan laptop mini yang dipinjamnya dari Misaki. Dia memakai laptop itu untuk mencari resep bekal yang mudah dibuat, dan mulai memasak.

Dia sudah merencanakan menu hari ini semalam. Ikan tuna goreng, daging ham dingin dan salad bayam, serta tumis wortel yang dipotong halus. Menunya sudah disetujui oleh Mashiro. Dia tidak tahu kenapa, tapi kelihatannya dia tidak masalah dengan beberapa gorengan, tapi bermasalah dengan yang lainnya.

Sambil menyantap sepotong roti panggang berikutnya, Sorata dengan rajin memasak bekal makan siang.

Dia kadang melirik ke arah layar komputer untuk memeriksa resepnya. Kalau ada sedikit waktu senggang, dia akan melihat-lihat beberapa blog pengembang gim untuk menghabiskan waktu.

Dan tentu saja, dia tidak lupa untuk menanggapi Ryuunosuke ketika jendela obrolannya mendadak muncul.

「Apa pendapat seorang Kanda tentang death flag?」

「Oh, maksudmu yang itu? Itu seperti ketika seseorang berkata di tengah peperangan, "Saat perang ini berakhir, aku akan melamarnya ...."」

「Ya, itu. Sebenarnya ada cukup banyak contoh, tapi itu adalah sebuah konsep yang menyimpan kekuatan yang cukup menakjubkan dalam dunia penceritaan. Tokoh yang mengucapkan hal gegabah akan segera ditandai oleh kematian, dan entah itu secara mengenaskan ataupun dengan gagah berani, mereka akhirnya akan meninggal. Dan itulah ketika aku berpikir, Apa orang-orang ini sadar kalau death flag itu ada?

「Tidak, aku rasa mereka tidak sadar ....」

Ryuunosuke memang sedikit aneh, tapi dia bukanlah orang yang tidak nyaman diajak bicara. Itulah kesan yang Sorata dapatkan dari dirinya sebagai lawan bicara daring-nya.

「Kalau kita menciptakan tokoh realistis yang mencerminkan semangat kekinian, tidak terelakkan lagi kita akan memahami eksistensi manusia dan hal-hal yang mengendalikan eksistensi tersebut. Namun tetap saja, pengarang dan penulis skenario terus memakai death flag. Apa kamu tidak merasa kalau di sini mereka sedang membuat pernyataan tentang kesedihan yang ada di dalam sifat manusia?」

「Hei, hei, lama-lama ini bisa terasa menjengkelkan ....」

「Kalau begitu, diskusi yang ingin kubuat sekarang ini adalah apakah death flag benar-benar ada di dunia nyata.」

「Jadi, apa ini akan memakan waktu yang lama? Ikan tunaku kelihatannya sudah mau gosong.」

「Yah, tidak ada gunanya kalau begitu. Kita bicarakan itu nanti di lain kesempatan, partner.」

「Ah, oke, oke. Tahun ini kita satu kelas, 'kan?」

「Aku tidak tertarik dengan kesenjangan sewenang-wenang seperti kelas yang sudah ditetapkan oleh orang lain.」

Ryuunosuke meninggalkan obrolan.

Dan pada saat yang sama, semuanya sudah matang.

Sorata segera menyusun lauk pauknya ke dalam kotak bekal yang sudah terisi nasi. Baik untuk dirinya maupun untuk Mashiro.

"Ohh, ini ternyata tampak cukup bagus."

Sorata mencicipi sedikit masakannya. Semuanya terasa cukup enak.

"Kurasa aku bisa melakukannya dengan cukup baik kalau mencobanya. Waduh, aku jadi mulai terbawa suasana."

Sorata mulai merasa senang dengan dirinya, namun dia mendadak ingat apa persisnya yang sedang dia lakukan dan merasa kosong di dalam dirinya.

"Tunggu, aku ini sedang apa? Memangnya aku ini perempuan lugu yang bersemangat memasak bekal untuk pacarnya, hah?!"

Padahal dulu Sorata membeli sendiri bekal untuk makan siangnya atau makan di kantin. Setiap paginya dia juga bisa tidur tiga puluh menit lebih lama. Dan penyebab dirinya mengubah jadwal tidur serta harus mempersiapkan bekal setiap pagi ialah Mashiro.

Ini terjadi dua minggu yang lalu.

Hari kedua setelah dimulainya semester baru, dan Sorata telah mengikuti pelajaran sampai tengah hari. Selama jam istirahat makan siang, untuk beberapa alasan Sorata pergi melihat keadaan Mashiro, dan dia melihat bahwa perempuan itu duduk sendirian di dalam kelas yang kosong.

Melihat tidak ada pilihan lain, dia mengajaknya ke kantin, tapi mereka jadi tampak mencolok di sana, Mashiro benar-benar pemilih dalam hal makanan, semua makanan yang tidak disukainya ditumpukkan ke atas piring Sorata, dan alhasil, kabar angin aneh mengenai mereka mulai menyebar, dan Sorata tidak bisa makan dengan tenang.

Kemudian, dimulailah diskriminasi itu.

"Oh, mereka itu dari Asrama Sakura, 'kan?”

"Bodoh, jangan pandangi mereka!"

"Ini pertama kalinya kulihat mereka. Wah, menakjubkan. Dia bisa bergerak! Bahkan dia sedang makan siang!"

"Wah, hati-hati! Kalau kita tidak keluar dari sini, kita akan terserang kuman Asrama Sakura!"

Dan seperti itulah, mereka diperlakukan seperti hewan aneh dalam kebun binatang, semangat Sorata pun hancur lebur.

Dia juga mempertimbangkan untuk membelikannya makan siang ..., tapi pengalamannya terakhir kali melihat perempuan itu berseliweran dan langsung memakan makanan yang diambil dari rak, dia mencoret ide tersebut bahkan sebelum mencobanya.

Lalu, mengenai masalah makan siang, Akhirnya Sorata yang berada dalam kondisi sulit, harus menyusun menu yang disetujui Mashiro, kemudian bangun setiap pagi untuk memasakkan bekal makan siang.

Sorata tidak begitu suka memasak, dan dia juga tidak begitu pandai memasak. Di Asrama Sakura, Jin yang paling suka memasak, diikuti oleh Misaki, yang bisa membuat apa pun. Bahkan Chihiro memiliki daftar menu masakan yang lebih banyak dibanding Sorata. Tentunya, kalau penghuni Asrama Sakura diberi peringkat dalam hal kemampuan memasak, Sorata lebih mendekati peringkat bawah.

Dia telah meminta saran dari Misaki, itu sebabnya dia menyiapkan dua kotak bekal setiap pagi untuk Misaki dan Jin, tapi ....

"Baiklah kalau begitu, termasuk punya Junior, ayo kita buat bekal ala Russian Roulette! Salah satunya akan berisi nasi dengan wasabi yang bisa mengirim salah satu dari kita langsung ke neraka! Ayo kita isi jam makan siang kita dengan sedikit tekanan dan ketegangan!”

Sorata sungguh tidak merasa kalau Misaki sedang bercanda saat dengan riangnya dia menyarankan ide mengerikan itu, oleh karenanya Sorata memutuskan untuk berhenti mendiskusikannya.

Hidup benar-benar bukan hanya diisi sinar mentari dan cahaya pelangi.

"Kamu tahu? Rasanya memuakkan berdiri di sini dan melihatmu memasak, kemudian melihat dirimu yang semula senang lalu menjadi sedih."

Entah kapan, Chihiro muncul di ruang makan, dan meraih beberapa lauk sisa dari meja dapur.

"Bagaimana bisa Ibu bertemu dengan muridnya lalu berkata kalau dia memuakkan?! Memangnya semua ini gara-gara siapa?! Ibu itu yang melalaikan kewajibannya sebagai seorang pengasuh lalu mendesakannya semua padaku!!"

"Yah, kamu tahu kata orang, Kerja keras membentuk karakter seseorang ketika dia masih muda."

Chihiro mencomot sepotong ikan tuna goreng dengan jarinya lalu memasukkannya ke dalam mulut.

"Hei, tunggu sebentar!"

"Wah, wah, ternyata ini lumayan enak. Kanda, bekal makan siangku kuserahkan padamu juga , ya?"

"Sungguh tidak tahu malu ...."

Pada saat itu, satu orang lagi menyusulnya.

"Ada apa~? Ada apa~? Ikutan juga, dong ~!”

Melantunkan sebuah lagu misterius, Misaki terlihat hampir terguling dari lantai dua.

"Tuna! Aku mencium bau ikan tuna!"

Dengan semangat yang super tinggi mulai dari detik keluarnya dia dari tempat tidur, Misaki melompat ke arah meja dapur layaknya seekor kucing. Sambil mencondongkan tubuh ke depan, dia dengan cekatan merebut tiga potong makanan dari meja dan memasukkannya ke dalam mulut.

"Kenapa pagi-pagi begini semua orang jadi gila?!"

"Enak! Baiklah, sudah diputuskan! Jin dan aku juga akan menjadikan ini sebagai bekal kami hari ini!"

"Tidak ada yang bilang kalau kamu juga akan diberi!"

"Jangan pelit, dooong!"

Chihiro menyodorkan beberapa kotak bekal yang diambilnya dari lemari kepada Sorata. Dikarenakan refleks, Sorata pun mengambilnya.

Di sebelahnya, Misaki memasukkan makanan ke dalam kotak bekalnya dengan semangat yang sudah sering dilihat Sorata.

Sorata memasak lebih hanya untuk berjaga-jaga kalau dia gagal di kali pertamanya, tapi terasa jadi menjengkelkan bahwa ternyata dia telah memasak makanan yang cukup untuk lima orang. Dia benar-benar membuat terlalu banyak.

"Kalian sedang apa pagi-pagi begini?"

Secara mengejutkan, meski biasanya dia tidak ada di tempat pagi begini, Jin sudah bangun dan masuk ke ruang makan. Dia melihat sekeliling dan mengamati keadaan dalam hening.

"Yah, sekali-sekali, kurasa ini hal yang bagus."

Katanya dengan riang.

"Junior bisa jadi istri yang baik, bukan?"

"Ya, benar ...."

Sorata membuat jawaban setengah hati selagi dia mengisi bekal Chihiro.

Dia melihat jam dan menyadari kalau masih belum jam tujuh.

April sudah mendekati penghujungnya. Mereka sudah memasuki minggu keempat bulan ini, dan mungkin dia baru saja telah terbiasa memasak, meski begitu, Sorata telah selesai menyiapkan makanannya lebih cepat dari yang dia kira. Hingga kemarin, saat dia selesai memasak, jam sudah menunjukkan angka tujuh lewat sedikit dan Sorata harus pergi membangunkan Mashiro segera setelahnya.

Hari ini, masih ada sedikit waktu yang tersisa.

Sorata mendadak memikirkan sesuatu, dan meraih keyboard laptop-mininya.

Dia mencari data terkait "Mashiro Shiina" di internet.

"Kenapa kenapa? Mencari gambar erotis atau semacamnya, ya?"

Misaki mendekat dan melihat ke arah layar.

"Aku tidak punya tenaga untuk bergairah pagi begini ...."

Hasil pencariannya segera tampil di layar.

Ada beberapa ratus ribu hasil pencarian.

Sebagian besar dalam bahasa Inggris.

"Oh, mencari tahu soal Mashiron~? Setelah kuingat-ingat, aku juga belum pernah coba mencarinya."

Sorata memilih hasil pencarian pertama.

Itu adalah beranda situs museum seni luar negeri.

Rasa ingin tahunya terpicu, Jin juga mendekat. Hanya Chihiro yang tersisa pada meja bundar ruang makan, dan duduk di sana sendiri sambil meminum kopi.

"Semuanya dalam bahasa Inggris, jadi aku benar-benar tidak tahu apa maksudnya .... Oh, apa ini?"

Sorata memilih nama Mashiro, dan layarnya mendadak begitu terang.

Desain halaman tersebut teramat sederhana.

Di balik latar berwarna biru laut, sepotong karya seni ditampilkan.

Karya itu tampak tergantung di dinding, terpajang dalam museum seni tersebut.

Pada saat dia melihatnya, semua pori-pori di dalam tubuh Sorata terbuka. Dia hampir merasa seakan seluruh syarafnya terbang dari tubuhnya.

Misaki kehilangan kata-kata karena kekagumannya, dan Jin meneguk liurnya hingga terdengar keras.

Sorata dapat merasa alam sadarnya dihisap ke dalam layar kecil tersebut.

"Ada apa ... dengan lukisan ini ...?"

Kata-kata tanpa sadar terselip dari mulut kering Sorata.

Sorata tidak tahu persisnya apakah reaksinya terhadap lukisan ini baik atau buruk. Namun demikian, ada sesuatu mengenai lukisan abstrak ini, lukisan simbolis yang menarik dengan kuat dirinya ke dalam.

Dia tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskannya.

Dia dapat melihat cahaya. Dia dapat melihat suara. Dia dapat melihat angin. Semacam itulah lukisannya.

Ketika dia gulir ke bawah halamannya, Sorata menemukan komentar yang dikirim oleh juri perlombaan tersebut. Untungnya, ada juga terjemahan ke dalam bahasa Jepang.


Terang dan gelap. Udara. Saya benar-benar kagum dengan lukisan ini, menampilkan kemampuan dan sensitivitas yang begitu tinggi untuk melukiskan dan mengungkapkan hal-hal yang tidak bisa kita lihat dengan mata kita. Lukisan ini menghadirkan sebuah pandangan unik terhadap dunia. Pandangan tanpa logika dan alasan. Dengan satu lukisan ini, Mashiro Shiina menapakkan langkah pertamanya ke ranah genius. Bahkan kita tidak mampu untuk mulai memahami dunia seperti apa yang harus dijalani perempuan ini hingga membuatnya mampu melukis seperti itu.

Pujian yang teramat tinggi.

Ini adalah pertama kalinya Sorata melihat seseorang memberi pujian setinggi langit terhadap orang lain.

Entah kenapa, Sorata merasa gelisah, dan menutup laptopnya dengan agak kasar.

"Kanda, bukankah ini sudah hampir waktunya?"

Suara Chihiro membawa Sorata kembali pada kenyataan.

"Ah, sial!"

Sorata menghangatkan handuk yang lembab, dan setelah mendorong Misaki yang menghalangi jalan (yang baru saja menari sambil menyenandungkan sebuah lagu yang aneh), dia menuju ke lantai dua.


********

"Hei, Shiina! Sudah pagi! Bangun! Walau aku ragu ini ada gunanya ...."

Sorata menunggu beberapa detik, tapi tidak ada sahutan.

Dia membuka pintunya dengan berani, dan dengan nekat melangkah ke dalam kamar tersebut.

Seperti sebelumnya, Mashiro tidak ada di tempat tidur. Dia tertidur di bawah meja belajar, ditutupi setumpuk baju dan pakaian dalamnya. Kepalanya yang disertai  rambut acak-acakan itu muncul dari balik tumpukan tersebut.

Selagi Sorata membangunkannya, dia menekankan handuk lembab yang dibawanya pada rambut Mashiro yang melawan gravitasi.

Mashiro masih belum bangun.

Dari pengalamannya, Sorata tahu masih perlu sekitar lima menit lagi.

Keadaan kamar itu begitu mengerikan. Padahal kemarin Sorata telah merapikannya sebelum Mashiro tertidur.

Komputernya dibiarkan menyala.

Nyaris tidak ada ruang pada lantai tersebut untuk dilangkahi Sorata.

Tepat saat itu, Sorata berhenti setelah melihat secarik kertas berukuran B4.

Itu adalah cetakan dari sebuah manuskrip manga.

Tentu saja, halaman-halaman manuskrip tersebut berserakan di lantai.

Sorata telah berjanji pada dirinya bahwa dia tidak akan ikut campur dengan urusan Mashiro, tapi rasa ingin tahunya kini mengalahkan hasratnya untuk menjaga diri.

Mungkin itu karena dia baru saja melihat salah satu lukisan Mashiro pada beranda situs museum seni.

Dia memungut halaman pertama. Kemudian tanpa sadar dia memungut sisanya.

Dia menyusunnya sesuai urutan halaman yang benar.

Manga itu terdiri dari 32 halaman.

Dia membaca satu halaman, kemudian halaman selanjutnya, lalu selanjutnya lagi.

Karyanya menabjubkan. Sungguh menabjubkan. Tidak peduli dilihat dari sudut mana pun, karakternya digambar dengan akurat, dan komposisi seni tersebut benar-benar menarik. Karyanya sungguh memberi dampak besar.

Susunan panel manga tersebut juga sangat menarik. Sorata tidak pernah melihat sesuatu yang mirip seperti ini, di mana tokoh-tokoh dan pemandangannya digambar dengan begitu bebas.

Selagi pandangannya mengikuti gambar yang dilukis dengan teliti itu, dia tersadar bahwa dirinya sampai di akhir manga tersebut dan selesai membacanya.

Dia merapikan kertas-kertas tersebut ke atas meja, kemudian dengan perlahan meletakkannya di pojokan.

"... membosankan."

Malah, tidak disangka ternyata itu membosankan.

Hampir terasa lucu betapa sedikitnya isi di dalam manga tersebut.

Genrenya shoujo.

Di dalamnya, seorang gadis yang amat tidak menarik bertemu dengan seorang lelaki yang juga amat tidak menarik, kemudian jatuh cinta, dan sama sekali tanpa sedikit pun ada drama yang terjadi, mereka akhirnya berpacaran.

"Yah, kurasa itu juga terjadi di dunia nyata .... Tapi siapa yang peduli?!"

Manga itu terasa begitu hambar sampai hampir membuat Sorata bersuara keras.

"... selamat pagi."

Pada saat itu, Mashiro merangkak keluar dari bawah meja.

Perempuan itu mengenakan piyama tunik bermotif kotak-kotak. Lalu, hampir seakan dia meninggalkannya dalam mimpi, perempuan itu tidak mengenakan apa pun di bagian bawah tubuhnya. Kaki jenjang berkulit seputih salju dan ramping tersebut mengacaukan pikiran Sorata.

"Shiina! Ka-kamu ...! Tutupi dulu bagian bawahmu! Apa kamu sedang menggodaku, hah?!"

Tunik itu nyaris mencapai pahanya. Setiap kali Mashiro yang masih setengah sadar menggerakkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, tepi bawah tuniknya akan melambai, dan kulit polos di baliknya akan muncul dalam pandangan Sorata. Akan tetapi, Sorata bersumpah kalau dia bisa melihat lebih jauh yang ada di baliknya. Degupan dada Sorata bersumber dari pandangannya terhadap titik tersebut.

Dengan langkah yang goyah, Mashiro duduk di depan meja riasnya, dengan mata yang masih setengah tertutup.

Sorata mencoba menahan kegugupannya.

"Aku benar-benar akan pindah ke gunung dan menjadi seorang pertapa kalau terus menahan diri seperti ini ...."

Memangnya mau apa? bantah Sorata dalam benaknya sembari menyisir rambut Mashiro. Rambut sehabis tidurnya yang membandel harus dipaksa lurus dan dirawat dengan pengembun dan pengering rambut.

"Kak Misaki pernah bilang ...."

"Jangan bicara mendadak begitu! Aku jadi takut!"

"... kalau Sorata akan suka jika aku tidak memakai celana."

"... oi, jadi orang itu jangan langsung percaya. Kak Misaki itu memang tidak waras."

"Kak Misaki itu memang hebat ...."

Mashiro masih terlihat agak linglung.

"Asal kamu tahu, andai aku itu serigala, sudah pasti aku akan menerkammu."

Sembari mengatakannya, aku melihat tatapan dirinya melalui cermin.

"Tapi sampai saat ini kamu masih cukup aman."

"Tidak ada serigala."

"Tidak, maksudku, serigala itu hanya kiasan. Maksudku itu anak lelaki .... Kamu tahu lelaki, 'kan?"

"Mereka juga tidak ada."

"Bukankah sebelumnya kamu belajar di sekolah khusus perempuan? Apa ini pertama kalinya kamu bersekolah bareng anak lelaki?"

"Sorata yang pertama."

"Huh?"

"Lelaki pertamaku."

"Oi, oi, hati-hati sama bicaramu! Jaga kata-katamu! Kamu membuatnya terdengar seolah aku sudah berbuat sesuatu padamu jika kamu berkata begitu! Tapi aku belum melakukan apa-apa, jadi jangan berkata begitu!"

"Syukurlah aku punya Sorata."

"Ka-kamu ini bicara apa?"

"Sorata sudah berbuat banyak padaku."

"Ce-cepat bangun dan ganti bajumu!"

"Aku sudah bangun."

Mashiro lalu berdiri, dan Sorata menyodorkan sepasang pakaian dalam yang baru saja dicuci beserta seragam sekolah padanya.

Sorata sungguh tidak mampu melihat ke arah wajah perempuan itu.

Sewaktu Sorata berpaling untuk meninggalkan kamar, Mashiro mulai menanggalkan piyamanya.

"Tunggu sampai aku keluar kamar dulu! Yang benar saja, aku benar-benar akan menerkammu nanti!"

Sorata menutup pintunya dengan kasar.

Mashiro mengatakan sesuatu, tapi Sorata mengabaikannya.

Dia bersandar pada salah satu dinding.

Dia benar-benar letih.

"... apa yang akan terjadi padaku mulai sekarang ...?"

Tidak ada yang menjawab.

Tidak ada orang yang tahu jawabannya.

Bahkan para dewa mungkin tidak mengetahuinya.

Seluar biasa itulah Mashiro Shiina.

Itu persis seperti yang digambarkan oleh komentar lukisannya tadi.

Bahkan kita tidak mampu untuk mulai memahami dunia seperti apa yang harus dijalani perempuan ini ....

Juri ahli memang jeli dalam menilai.

Dia telah melihat sifat asli Mashiro. Dia telah melihatnya dengan begitu jelas.

"Ini tidak menyenangkan ...."

Selagi Sorata berdesah panjang, dia melihat sosok Mashiro dalam keadaan berseragam yang masih tampak asing baginya itu keluar dari kamar.

Sorata mulai berjalan tanpa berkata apa-apa, hingga ....

"Hei."

Mashiro memanggilnya, hampir seperti sebuah bisikan.

"Hmm?"

"Membosankan.”

"Eh?"

"Manga-ku."

Tidak menemukan kata yang tepat untuk diucapkan pada situasi ini, Sorata tersenyum getir. Sekarang semuanya sudah terlalu jelas. Mashiro adalah orang yang membuat manga tersebut.

"Kamu sudah benar-benar bangun?"

"Terasa membosankan sekali, ya?"

Tidak sedikitpun emosi terasa dalam suara Mashiro, dan wajahnya pun juga tidak menunjukkan emosi.

Sorata tidak memiliki cara untuk mengetahui apa persisnya yang sedang dipikirkan perempuan itu.

"Junior~! Apa Mashiro sudah bangun?!"

Sorata sungguh merasa lega atas selaan tiba-tiba dari Misaki. Misaki juga sudah mengenakan seragamnya.

"Kalian bisa telat ke sekolah, lo."

"Iya."

Sorata turun ke lantai satu sembari merasakan keberadaan yang lemah dari orang di belakangnya. Semua orang masih menunggu di sana.

Sorata menyuapi Mashiro sepotong roti panggang, dan meski itu tidak biasa, hari itu semua penghuni Asrama Sakura pergi ke sekolah bersama.

"Akasaka~. Titip tempat ini saat kita pergi, ya~?"

Satu-satunya orang yang tersisa dalam asrama tersebut adalah sang pengurung diri, Ryuunosuke Akasaka.

"Hei, bisa-bisanya Ibu menitipkan tempat ini padanya?! Dia itu salah satu murid Ibu!"


Bagian 2


Jam pelajaran ketiga adalah bahasa Jepang, dan bagi Sorata, itu berlalu dalam sekejap mata. 

Saat dia beranjak keluar kelas, sang guru, Shiroyama Koharu, memukul pelan kepala Sorata menggunakan sebuah binder, dan membangunkannya dari meja. 

"Hei, jangan terang-terangan tidur di baris depaaan~~."

Rekan kerja Chihiro, Koharu, baik dari segi tampang maupun cara bicaranya cenderung manja. Itu sebabnya, dia sering membuat jengkel beberapa murid perempuan di sekolah, meski dia sendiri sangat populer di kalangan murid lelaki. 

Dia sering terlihat bersama dengan Chihiro di sekolah, dan banyak yang tahu soal kedekatan mereka. Mungkin karena Chihiro sering terlihat menyeret Koharu yang kurang bertanggung jawab itu ke sana kemari, tapi Chihiro sendiri telah dicap sebagai guru berkepala dingin. Sorata tidak setuju soal itu. 

"Rasanya seperti mendengarkan ninabobo, sih ...."

"Ooo, beraninya bicara begitu, padahal kamu satu-satunya siswa yang belum menyerahkan angket karir .... Akan Ibu laporkan pada Mbak Chihiro."

Sambil menggembungkan pipinya karena tidak puas, Koharu keluar meninggalkan kelas. 

Bahkan tanpa melihat kepergiannya, Sorata tertidur lagi atas meja. 

"Uuuuuughhhhhhhh ...."

"Hei, Kanda. Bisa tidak jangan bersikap menjengkelkan dan mengerang seperti itu di hadapanku? Aku bisa tertular nanti."

Orang yang tampak mengajak bertengkar barusan adalah Nanami Aoyama, seorang gadis yang juga sekelas dengan Sorata tahun lalu. Sesuai nada bicaranya, dia memiliki tampang yang tegas. Dari sisi mana pun dia terlihat layaknya seorang murid teladan, dan jika harus dibandingkan dengan seekor kucing, dia mirip seperti kucing ras abyssinian. Dia memiliki tinggi rata-rata, sekitar 158 cm. Berat badannya tidak diketahui. Menurut Jin, tiga ukuran tubuhnya itu 81-58-83. 

Kursinya ada di urutan pertama. Dan setelah Akasaka, Asano, Ikuta, Ogikubo, dan Kawasaki, Sorata Kanda ada di kursi urutan ketujuh. Jadi di dalam kelas yang berisi enam kursi di tiap kolomnya, Sorata duduk persis sebelah Nanami di barisan depan. Posisi mereka juga sama seperti ini saat pengaturan tempat duduk tahun lalu.

Nanami tampak masih belum selesai dan mengamati Sorata. 

Hiuuuh ....

"Jangan tambah mendesah!"

"Kelas ini adalah salah satu tempat di mana aku bisa merasa tenang. Tidak usah sekasar itu."

"Ini sudah yang ke-36 kalinya."

"Hmm?"

"Ke-36 kalinya kamu mendesah."

"Aoyama, kamu menguntitku?"

"Akan kutendang wajahmu."

"Orang-orang sekitar sini tidak ada yang bilang, Kutendang wajahmu, tahu?!"

"A-aku sudah tahu ...."

Bukan hanya Nanami saja yang berasal dari Osaka, tapi banyak murid yang tinggal di asrama Suikou itu berasal dari berbagai daerah di Jepang. Sekitar separuh penghuni kelas Sorata datang dari luar prefektur untuk mengikuti ujian masuk.

Jika Nanami mengobrol biasa, dialek Kansai-nya akan terdengar jelas sekali. Seperti itulah dia setahun yang lalu. Tapi sekarang, untuk menguasai bahasa Jepang standar, dia harus memaksakan diri untuk menahan dialeknya. Ini masuk akal mengingat Nanami bercita-cita menjadi seorang pengisi suara, dan dalam pekerjaan semacam itu, intonasi merupakan hal yang paling mendasar. Selama setahun ke belakang, kemampuan berbahasa Jepang standarnya sudah meningkat cukup jauh, tapi bukan berarti hal mustahil untuk menemukan dialek Kansai-nya saat dia berbicara. Kelihatannya selama akhir pekan, dia menjalani pelatihan khusus di tempat kerjanya, baik untuk dialek maupun hal lainnya.

"Baiklah, kalau begitu akan kutinju wajahmu."

"Kamu tidak perlu repot-repot mengubah kalimatnya!"

"Yah, kurasa itu lebih baik."

"Yang manapun itu, dua-duanya tidak terdengar feminin, tahu?"

"Kamu ini memang menjengkelkan. Padahal kamu itu satu-satunya murid yang belum mengumpulkan angket karier."

"Wah, aku iri sekali pada Aoyama, yang bisa menuliskan jurusan seni Drama di Institut seni pada angket kariernya layaknya menulis nama sendiri."

"... jangan meledekku."

Dia melotot ke arah Sorata lewat lirikannya. Namun Sorata sedang bersikap serius: dia benar-benar terkesan dengan angket karier gadis itu. 

"Jadi, sampai kapan Kanda berencana tinggal di Asrama Sakura?"

"Aku juga masih belum tahu."

"Kalau kamu tidak segera keluar dari sana, terlambat sudah."

Sorata merasa kalau itu mungkin saja sudah terlambat. Ingatan dirinya yang dipandangi orang-orang sewaktu di kantin layaknya seekor panda dalam kandang, masih jelas dalam pikirannya. Bisa dibilang kalau dia mendapatkan perhatian sebanyak itu karena dia bersama dengan Mashiro, atau mungkin saja karena citra dirinya dengan Asrama Sakura telah melekat dalam pikiran murid-murid tersebut. Itu membuatnya merasa ingin mendesah saja. 

"Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu."

Dan satu-satunya alasan Sorata bisa mempertahankan citra baiknya di kelas sendiri, mungkin karena dia bisa mengobrol dengan teman sekelasnya seperti Nanami, yang satu kelas dengannya tahun lalu. Seharusnya dia merasa sangat bersyukur. 

Untuk sekarang, dia menepukkan kedua tangannya di depan dan memandang Nanami dengan penuh hormat. 

"Apa-apaan .... Apa kamu sedang meledekku?"

Dia menatap dingin ke arah Sorata.

"Tidak, aku hanya berusaha memberitahumu betapa bersyukurnya diriku."

"Kalau kamu terus berperilaku aneh begini, orang-orang akan melihatmu dan berkata, Ah, pantas saja dia di Asrama Sakura, atau semacamnya, kamu tahu?"

Tentu saja Sorata tidak menginginkannya. Karena itu dia menarik kembali tangannya. 

Nanami menatap ke arah Sorata, dengan tatapan yang lebih dingin dari sebelumnya.

"Apa lagi yang kamu mau dariku?"

"Hmm .... Aku masih ragu apa perlu aku meminta tolong pada Aoyama ...."

"Memangnya kamu mengharapkan aku berkata apa?"

"Aku hanya bercanda. Aku memang ingin minta tolong padamu. Setidaknya, aku bisa mengingat itu."

"Bisamu hanya mengeluarkan banyak celotehan tidak berguna seperti itu, 'kan?!"



"Yah, terkadang aku memang harus bersikap bodoh. Kalau hanya aku seorang yang mengatai orang lain bodoh, maka keseimbangan mentalku bisa kacau."

"Aku tidak peduli sedikit pun dengan keseimbangan mentalmu, Kanda. Jadi ... kamu ingin minta tolong apa?"

"Kak Misaki ingin agar kamu membantunya lagi."

"Jadi, dia sudah menyelesaikan karya baru?"

"Semua animasinya sudah digambar."

"Lalu?"

"Seperti yang sudah kubilang, gadis itu gila. Animasinya memang menakjubkan. Sampai membuatku merinding."

"... begitu ya. Hmm, aku sih mau saja .... Aku mau saja, tapiii ...."

Entah kenapa, dia jadi sulit berkata-kata.

"Kalau merasa tidak mau, kamu tinggal menolaknya saja, kok."

"Bukan begitu. Aku mau saja. Walau sama seperti sebelumnya, tapi ini adalah hal yang tidak bisa kulakukan andai aku tidak di sini."

Tahun lalu, Nanami juga ikut andil dalam anime Misaki yang memecahkan 100.000 penjualan DVD. Peran lainnya diisi oleh mahasiswa jurusan seni drama yang meluangkan waktu dari kegiatan belajar demi membantu Misaki. 

"Hanya saja, yah ...."

"Hanya saja, apa?"

"... aku hanya penasaran apa benar tidak masalah bagiku untuk melakukan ini. Karya itu mendapat banyak perhatian, 'kan?"

"Kalau Kak Misaki sampai menyuruhku untuk meminta bantuanmu, maka tidak ada masalah, 'kan?"

"Dan jujur saja, aku tidak tahu bagaimana berurusan dengan Kak Kamiigusa. Arahan aktingnya juga sama sekali tidak bisa kupahami. Apa Kanda mau membantuku menerjemahkannya?"

"Sejak kapan aku jadi penerjemah?"

"Memangnya kamu tidak ikut?"

"Yah, aku ikut, sih ...."

"Kalau begitu, tidak masalah buatmu untuk membantu menerjemahkannya untukku."

"Kurasa tidak. Jadi, dia mendapat persetujuanmu, 'kan?"

"Ya. Asal dia tidak keberatan denganku."

"Baiklah, aku akan segera mengabarinya."

Sorata mengeluarkan ponsel-nya dan mengirimkan pesan, hingga ....

「Aku cinta kamu!」

Balasannya langsung muncul, diiringi nada dari sebuah gim RPG sewaku karakternya naik level.

「Maaf, tapi kita sebaiknya putus saja.」

Sorata membalas pesannya. Kemudian dia letakkan ponselnya begitu saja. Nada naik level itu didengarnya lagi, tapi dia tidak ingin menghabiskan kuota maupun baterainya, karena itu dia tidak menghiraukannya.

Nanami masih tampak seolah ingin mengatakan sesuatu sambil terus melihat ke arah Sorata.

"Kamu masih merasa jengkel, ya?"

"Bagaimana kabar Hikari?"

"Ya, cukup baik. Bokongnya tumbuh dengan cukup baik."

Sorata memperlihatkan foto di ponsel-nya pada Nanami.

"Kelihatannya dia tambah besar."

Hikari si kucing putih sudah bersama Sorata selama setahun.

Mereka bertemu bulan Mei silam. Itu setelah Sorata telah kurang lebih terbiasa dengan sekolah dan asramanya.

Dalam usia masih anak-anak, Hikari ditelantarkan dalam sebuah kardus dan diletakkan di luar gerbang sekolah. Belasan murid berkerumun mengelilingi kotak itu, membicarakan tentang betapa menggemaskannya atau sungguh menyedihkannya kucing tersebut, namun tidak ada yang mengulurkan tangan untuk membantu.

Sorata cuma kebetulan lewat. Nanami juga kebetulan bersamanya. 

Sorata tidak bisa berdiam diri begitu saja melihat anak kucing yang terlantar itu menjadi tontonan. Untuk menenangkan hatinya, Sorata membawa kucing itu ke asrama.

Dia tidak menyangka kalau ini akan membuatnya diusir dari asrama biasa.

"Fotonya kuambil."

Tanpa meminta izin Sorata, Nanami mengirimkan fotonya ke ponsel-nya sendiri via infra red.

Dia memasangnya sebagai screensaver dan menunjukkannya ke Sorata dengan ekspresi bangga.

"Padahal yang memotretnya itu aku ...."

"Anu, lalu ...."

Nanami berpaling. Tampak seolah masih ada yang ingin dikatakannya. Semua obrolan mengenai kucing ini mungkin hanya basa-basi sebelum hal utama yang sebenarnya ingin dia bahas. 

"Hmm?"

"Gadis baru itu."

"Ahh."

"Kita kedatangan murid perempuan baru, 'kan?"

"Ya."

"Jadi?"

"...."

"Kenapa malah diam?"

"Aku tidak yakin mau berkata apa ...."

"Dia manis, 'kan?"

"Yah, kurasa."

"Manis sekali, 'kan? Aku sempat melihatnya beberapa hari lalu."

"Kurasa rata-rata orang akan berkata seperti itu."

"Lalu bagaimana pendapatmu, Kanda?"

"Rasanya seperti bertemu makhluk asing."

"Hmm ..., itu ...."

Nanami segera berpaling ke arah lain, tampak seperti bosan.

"Maksudku itu dalam artian yang buruk."

"Lalu apa tujuanmu menambahkan hal semacam tadi?"

Nanami melihat ke luar pintu kelas. Ke lorong. Sesaat, matanya penuh dengan keterkejutan.

Sorata, yang masih tumbang di atas mejanya, menengadahkan pandangannya.

Seorang anak lelaki dalam kelas itu, yang Sorata masih belum tahu namanya, melihat ke arah Sorata.

"Hei, Kanda, ada yang mencarimu."

Tapi dia ternyata tahu nama Sorata. Tinggal di Asrama Sakura memang bisa membuat seseorang terkenal.

Dan dari balik anak lelaki itu, Mashiro muncul.

Sorata berseru, "Eh—" tanpa sadar. Dia menguatkan diri dan mengangkat badannya.

Saat Mashiro melangkah ke dalam kelas tersebut, suasana di sekeliling gadis itu pun berubah. Fokus semua penghuni kelas yang ramai itu lalu berpaling pada Sorata dan Mashiro.

Tanpa informasi tambahan apa pun, Mashiro jelas terlihat seperti seorang murid pindahan yang berparas manis. April ini, keberadaan Mashiro telah beredar dalam pusaran gosip. Bahkan terlepas dari fakta bahwa dia adalah seorang pelukis muda nan brilian, aura hebat dan tidak biasa yang mengelilinginya itu cukup untuk memancing perhatian siapa saja. Terlebih lagi, dia tinggal di Asrama Sakura. Meski begitu, tidak ada yang mau mendekatinya dan menanyakan hal tersebut di depannya, mungkin itu karena dia memancarkan aura anehnya pada kekuatan penuh, aura yang begitu dipahami Sorata.

Tentunya, percakapan Nanami dengannya tadi adalah pertama kalinya Sorata membahas soal Mashiro dengan seseorang di kelas ini.

Mashiro melihat ke arah Sorata.

"Sorata, aku lapar."

"Eh? Apa maksudmu?"

"Aku ingin makan baumkuchen."

"Kenapa bicaranya ke aku?"

"Kamu tidak punya baumkuchen?"

"Tentu saja tidak!"

"Rita saja memberiku baumkuchen ...."

"Siapa pula itu?!"

"Kalau tidak ada baumkuchen, berarti ...."

Perut Mashiro lalu mengeluarkan bunyi, dan dia mulai meninggalkan ruangan itu.

Dia sejenak berdiri di pintu masuk, tampak masih tidak puas, lalu berbalik.

"Aku juga percaya padamu."

Tatapan teman sekelas Sorata bagaikan jarum yang menusuk syarafnya.

Mashiro pergi sambil sempoyongan, meninggalkan kesan sedih di raut wajahnya.

Dalam situasi ini, Sorata akan dicap oleh para gadis sebagai orang yang dingin, dan sisa dua tahun masa SMA-nya akan menjadi suram. Bisa dibilang, kehidupan SMA-nya sudah cukup suram semenjak tinggal di Asrama Sakura.

"Baik! Baik! Itu salahku!"

Sorata melesat keluar kelas dan berhasil mengejar Mashiro.

"Hei, Kanda! Jam pelajaran keempat sudah dimulai!"

Bel berbunyi persis ketika Nanami berteriak memperingatkan Sorata. Perut Mashiro kembali mengeluarkan bunyi.

"Aku akan segera kembali, jadi buatlah alasan selama aku pergi!"

"Jangan minta aku berbuat begitu!"

Dengan niat penuh untuk bolos pada jam pelajaran keempat, Sorata ikut membawa Mashiro pergi membeli makanan.


********

Awan besar mengambang di sehamparan birunya langit.

Karena sekarang sedang berlangsung jam pelajaran keempat, orang yang berada di atap hanyalah Mashiro dan Sorata saja.

Sorata menyandarkan dirinya di sebuah bangku, dan Mashiro duduk di sampingnya, mengupas dan memakan baumkuchen-nya satu per satu.

Ini tidak terduga. Ini tidak terbayangkan. Bahkan bisa dibilang ini sangat tidak wajar.

Sorata mengira kalau ini hanya akan sulit pada awalnya saja. Dengan naifnya, dia pikir jika akhirnya nanti akan terbiasa menghadapi Mashiro, sama seperti terbiasanya dia dengan kehidupan baru serta peraturan baru yang harus diikutinya.

Dia mengingat kembali dua minggu yang lalu.

Dia telah membiarkan gadis itu memakai mesin cuci, dan ketika dia memalingkan perhatiannya sejenak, gadis itu telah menuangkan sekotak penuh deterjen ke dalamnya, mengubah seluruh ruangan menjadi lautan busa. Sangat sulit membersihkannya. Hingga membuat Sorata berharap seseorang telah menciptakan deterjen yang bisa membersihkan deterjen.

Ketika Sorata memintanya untuk membersihkan bak mandi, dia keluar dengan basah kuyup. Mustahil untuk mengatakan apa dia memang telah membersihkan bak itu, atau apa malah dia yang dibersihkan oleh bak.

Ketika dia membiarkannya berbelanja seorang diri, gadis itu langsung tersesat dan tidak kembali. Sorata bersyukur karena Chihiro telah memaksa Mashiro membawa ponsel yang memiliki fungsi GPS. Mashiro juga tidak mau menjawab ponsel-nya meski Sorata menghubunginya, jadi akhirnya Sorata sendiri yang menjemputnya.

Masih ada situasi lainnya yang membuat sakit kepala, tapi itu terlalu banyak untuk dihitung.

Dan masalah terbesarnya adalah Mashiro sedikit pun tidak menyadarinya.

Gadis itu mengira kalau dirinya teramat normal.

Karena itulah, hal yang terlewat bodoh untuk berpikir kalau dia akan mengerti atau terbiasa melakukan sesuatu.

Setiap hari, masalah baru terus menumpuk, dan jumlah hal yang harus ditangani Sorata kian bertambah.

"Hei, Shiina, jam keempat nanti ada pelajaran apa?"

"Olahraga."

"Memangnya tidak masalah kalau kamu tidak masuk?"

"Bola voli. Aku hanya menonton saja."

"Kenapa? Apa ada masalah kesehatan? Apa kamu ada cedera?"

"Aku tidak boleh melukai jariku."

Itu adalah jawaban yang belum pernah Sorata dengar sebelumnya. Tapi anehnya, dia bisa mengerti maksudnya.

Sesuatu yang menciptakan karya-karya seni itu tidak lain adalah jari ramping nan panjang milik Mashiro.

"Aku ingin main."

"Eh?"

"Tapi guru melarangnya."

"Luar biasa."

"Ya, benar. Dia luar biasa menentang keinginanku."

Sorata hampir menyahut, Bukan itu maksudku, tapi dia menahan dirinya.

"Jadi, Rita yang kamu maksud tadi siapa?"

"Teman."

"Temanmu sewaktu di Inggris dulu?"

Mashiro mengangguk pelan.

"Dia teman sekamarku."

"Ya ampun, yang namanya Rita ini pasti sudah melalui banyak hal ...."

"Aku suka Rita."

"Kenapa sepertinya sekarang kita berdua sedang membahas sesuatu yang sama sekali berbeda?"

Sorata mengangkat badannya lalu duduk di atas bangku.

"Shiina memang bisa melukis karya yang mengagumkan."

"Tidak juga."

"Tidak. Sungguh. Aku sudah melihatnya. Lukisan yang memenangkan sebuah penghargaan. Aku tidak tahu banyak soal seni, tapi itu begitu meninggalkan kesan bagiku."

"...."

"Kalau memang ingin serius mendalami seni, bukankah lebih baik kalau kamu tetap di luar negeri?"

"Mungkin."

"Lalu, kenapa kamu kembali ke Jepang?"

Meski dia memutuskan kembali ke Jepang, bukankah lebih masuk akal baginya jika melakukan itu sewaktu di perguruan tinggi saja?

Tidak, ujung-ujungnya, kalau dia sungguh ingin mengasah kemampuannya, dia sebaiknya tetap tinggal di luar negeri.

Potongan baumkuchen terakhir telah lenyap ke dalam mulut kecil Mashiro. Dia menyeruput sedikit teh susu dalam kemasan itu dengan sedotan.

Sorata hampir merasa bahwa dia sudah tidak begitu lagi memedulikan pertanyaannya tadi, sampai ketika ....

"Aku akan menjadi seniman manga."

Ujar Mashiro dengan suara yang sangat jelas dan tegas.

Dia tidak berkata ingin menjadi seniman manga, atau bertekad untuk menjadi seniman manga.

Dia akan menjadi seniman manga.

"Kenapa?!"

Sorata meneriakkannya dengan intensitas yang mampu mengejutkan dirinya sendiri.

Dia akan menjadi seniman manga. Ketika Sorata melihat manuskrip manganya pagi tadi, sejenak dia berpikir bahwa mungkin saja hal tersebut yang gadis itu ingin kejar. Tapi untuk sejenak, itu seperti hal yang mustahil. Itu tidak akan mungkin.

Itu adalah gagasan yang sangat sulit untuk diterima Sorata dalam hal keyakinannya.

Mashiro punya cukup talenta hingga menarik banyak perhatian dalam dunia seni. Fakta bahwa Sorata sampai mengakui kemampuannya merupakan bukti atas hal tersebut.

Seorang juri kompetisi seni bahkan menyebutnya genius.

Bukankah itu sesuatu yang patut dibanggakan? Mashiro memiliki sesuatu yang hanya bisa diidamkan oleh kebanyakan orang. Suatu cara untuk memisahkan dirinya dengan yang lain. Suatu talenta yang unik. Jadi, kenapa pula dia ingin menjadi seorang seniman manga?

"Kamu akan melakukannya sambil tetap melukis seperti biasa, 'kan?"

Mashiro menggelengkan kepalanya.

"Hanya menjadi seniman manga saja maksudmu?"

Mashiro mengangguk.

"Astaga. Konyol sekali."

Sorata mengangkat tangannya ke atas kepala karena frustasi, lalu kembali menyandarkan punggungnya.

"Hei, kalian berdua sedang apa?! Berani sekali kalian terang-terangan bolos di sini!"

Orang yang bicara sambil menggebrak pintu di atap tadi adalah Chihiro.

Dia berdiri di atas Sorata yang sedang bersandar di bangku, lalu melihat Sorata yang ada di bawahnya sambil melipat tangan.

"Argh, Bu Chihiro, jangan terlalu dekat! Nanti aku bisa melihat yang ada di balik rok Ibu!"

Sayangnya, dia mengenakan rok ketat, jadi tidaklah semudah itu untuk mengintipnya.

"Harus kuakui kalau aku iri padamu, yang bisa begitu bergairah hanya karena melihat celana dalam seseorang."

"Tapi kalau melihat celana dalam Ibu, aku yakin diriku akan berubah jadi batu!"

Sorata bergegas berdiri.

"Jangan main-main. Kembalilah ke kelas."

Setelah menghabiskan sisa teh susunya, Mashiro berdiri dari bangku.

Dia pergi duluan, dan kembali ke gedung sekolah seorang diri.

"Termasuk kamu, Kanda."

"Bu Chihiro, boleh bicara sebentar?"

"Kamu mau apa?"

"Shiina itu gadis yang seperti apa?"

Sorata menatap ke arah pintu yang baru saja dilalui Shiina.

Ketika Sorata kembali menoleh ke belakang, dia melihat picingan waspada pada mata Chihiro.

"Aku sudah tidak bisa lagi memahami pikiran gadis itu."

"Kamu tidak bisa berbuat apa-apa. Lagi pula, sebelum kamu tahu caranya tertawa, menangis, atau marah, Mashiro sudah lebih dulu mengenggam kuas dan melukis." 

"Apa keluarganya juga seperti itu?"

"Ayahnya cukup berbakat hingga bisa mengajar di institut seni di Inggris. Walau dia tidak begitu dikenal sebagai seorang pelukis. Ibunya juga alumnus dari institut seni. Bisa dibilang mereka adalah keluarga pelukis. Walau mereka semua masih tinggal di Inggris."

"Tapi aku tidak paham bagaimana hal itu bisa membuatnya dirinya jadi seaneh ini."

"Hmm, entahlah. Kalau kamu menganggap bahwa dia lebih dulu belajar bagaimana mengekspresikan dirinya lewat seni sebelum dia belajar bagaimana mengekspresikannya lewat emosi atau kata-kata, maka itu bukan hal yang aneh, 'kan?"

Kata-kata yang dengan wajarnya terucap dari Chihiro barusan itu membuat Sorata terhenyak di tempat.

Dari Awal, Mashiro Shiina memang telah berbeda.

Dia hidup di dunia seni. Dan itulah yang membuat dia seperti dirinya yang sekarang.

"Jadi itu alasannya dia tidak tertawa?"

"Itu juga salah satu talentanya."

"Kalau begitu, apa sungguh tidak masalah? Bagi dirinya untuk menjadi seniman manga."

"Itu urusan Mashiro. Aku tidak peduli."

"Tapi ...."

"Aku tahu apa yang mau kamu sampaikan. Tapi bukankah itu tidak masalah? Kalaupun dia bisa menjadi seniman manga yang hebat. Itu juga bukan sesuatu yang buruk."

"... itu memang mudah untuk dibayangkan, tapi orang tuanya pasti menentang, 'kan?"

"Sementara ini, tidak. Dia tidak pernah memberitahu kedua orang tuanya alasan dia kembali ke Jepang. Mereka pikir kalau dia kemari untuk mempelajari hal-hal berbau Jepang sebagai bahan untuk karya barunya."

"Wah, sungguh tidak bertanggung jawab. Bagaimana kalau dia ketahuan?"

"Itu bukan urusan yang perlu kucampuri. Itu antara Mashiro dengan keluarganya. Tidak, bahkan bukan itu. Ini masalah Mashiro sendiri. Aku memang akan membantunya dengan memberinya tempat untuk tinggal di Jepang ini, tapi yang terjadi selepas itu bukanlah urusanku. Meskipun dia tidak berhasil menjadi seniman manga."

"Plinplan sekali ...."

"Dan kamu. Berhenti merisaukan orang lain dan lekas kumpulkan angket kariermu."

"Diingatkan lagi?"

"Kalau kamu tidak mengumpulkannya, nanti aku mendapat keluhan dari orang yang bertugas sebagai wali kelasmu."

Sorata benar-benar berharap agar Chihiro lupa soal itu.

Mencoba untuk tidak berkontak mata dengan Chihiro, Sorata menatap ke atas langit. Dia memandang ke atas saat sebuah awan besar menyebar lalu menghilang.

"Kurasa kita semua memang perlu mencari sesuatu yang ingin kita lakukan ...."

Chihiro tertawa singkat.

"Setidaknya Saat melihatmu, aku mendapat firasat kalau survei karir itu akan ada gunanya."

"Eh? Jadi itu biasanya tidak berguna, ya?"

"Aku hampir yakin kalau itu sekadar sarana untuk melihat siswa mana yang tidak menulis semacam, Untuk sementara, saya ingin masuk ke perguruan tinggi, yang seperti itu bisa membuat para guru merasa kalau semua yang dilakukannya sepadan."

"Eh ...."

"Kamu akan paham kalau sudah dewasa nanti. Bahwa jika kamu perlu sebuah kata untuk diletakkan setelah, Untuk sementara, maka kata, Sake, sudah lebih dari cukup."

"Astaga. Kalau Ibu perlu orang gila, di sini ada banyak ...."

Pada saat itu, bel berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran keempat.

Chihiro tampak seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi sepertinya dia urungkan lalu meninggalkan atap.

"Masa depan, ya ...?"

Untuk sementara, masa depan masih belum ditetapkan.

Dan Sorata masih belum memecahkan apa pun hari ini.

Dia hanya terus berusaha mencari jawabannya.

"Untuk sementara, ayo makan dulu."


Bagian 3


Sorata sudah resah menanti datangnya Golden Week, namun bukan berarti dia mau pergi bersenang-senang. Dan dia pun tidak pergi mengunjungi keluarganya di Fukuoka. Yang ada dia justru membantu Misaki di bagian perekaman suara, membantu mengurus Mashiro, hingga tanpa dia sadari, hari terakhir liburan pun tiba.

Lima Mei. Hari Anak.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Sorata berbenam di dalam bak air panas, merenungkan betapa sia-sianya keberadaan manusia ini. Dan ketika keluar dari bak mandi, dia melihat ladang kubis di hadapannya. 

Seperti lampu rambu pada landasan terbang, di kedua sisi lorong, berjejer bulatan hijau yang terlihat segar. 

"Aku pasti sudah lelah."

Sorata memejamkan mata sambil menggelengkan kepalanya.

Masih terlalu pagi untuk berhalusinasi.

Namun doanya tidak terjawab, dan ketika Sorata kembali membuka matanya, kubis-kubis itu masih ada di sana.

"Apa kita sedang diserbu alien? Tamat sudah Bumi ini."

Ya, dan rupanya alien itu memilih untuk melancarkan penyerbuan mereka dengan cara yang ternyata membosankan, dengan mengusik Bumi seperti ini.

Mungkin aliennya adalah manusia kubis dari planet kubis.

Tapi setelah memikirkannya lagi, Sorata tahu bahwa tidak peduli seluas apa pun alam semesta ini, hanya ada satu orang yang mampu melakukan hal sekonyol ini.

Jelas pelakunya adalah penghuni aneh Asrama Sakura, Kamiigusa Misaki.

Dia pernah melakukan hal yang sama tahun lalu.

Halloween. Sorata tidak tahu dari mana Misaki mendapatkannya, tapi dia sudah mendekorasi seluruh Asrama Sakura dengan labu oranye, dan memakai kostum lengkap sampai berhari-hari. Bahkan dia pergi sekolah pun dengan kostum seorang penyihir, yang kemudian kembali berdebat dengan guru BK seperti biasanya.

Natal. Misaki meletakkan sebatang pohon cemara besar di depan pekarangan dan menghiasinya dengan lampu dekorasi. Meski warga di sekitar sini mengeluh, tapi itu sangat populer di mata anak-anak. Pada hari Natal, dia memakai kostum Sinterklas (versi rok mini) dan pergi mengelilingi kota dengan antusias sambil membagikan hadiah baik untuk orang yang dikenal maupun tidak dikenalnya.

Banyak kenangan tidak mengenakkan mulai muncul di benak Sorata.

Entah itu Tahun Baru ataupun Festival Boneka, Festival Budaya ataupun Festival Olahraga, dia tidak peduli soal masalah yang dan ditimbulkannya dan membuat kekacauan seenaknya, membiarkan Sorata agar membereskan semuanya.

"Tapi ... kenapa kubis?"

Sepengetahuan Sorata, Hari Anak itu tidak dirayakan dengan kubis.

Lintasan kubis tersebut mengarah ke kamar Jin.

Sorata mengetuk, tapi tidak ada yang menyahut.

"Aku masuk ya~."

Pintunya tidak dikunci.

Sorata membuka pintunya.

Dia merasa seolah memasuki kerajaan kubis. Ada jauh lebih banyak kubis tersusun di dalam kamar ini ketimbang di lorong, dan aroma sayur-sayuran segar menyerbak ke penciuman Sorata.

Di atas tempat tidur, di atas meja, di atas rak buku .... Bahkan Sorata sedikit pun tidak bisa melihat di nuansa hitam elegan yang biasanya terasa di dalam kamar Jin. Seluruh tempat itu telah dikuasai oleh serbuan kubis, dan Kerajaan Jin telah runtuh.

"Sulit dipercaya."

Dan si pelaku yang membangun surga hijau ini tidak terlihat sama sekali.

Yang ada di sana cuma sebuah kotak kayu besar di atas tempat tidur.

Saat Sorata mendekati kotak itu, dia mendengar suara napas seseorang.

Dia bahkan tidak perlu mengecek siapa itu.

"Kak Misaki .... Kamu sedang apa di kamar orang lain?"

"Seharusnya aku yang menanyakan itu. Sedang apa kamu di kamarku?"

Sambil menahan teriakannya dan bergegas menoleh ke belakang, Sorata melihat Jin berdiri di pintu masuk dengan ekspresi kebingungan pada wajahnya.

"Bukan aku."

"Aku tahu .... Misaki, 'kan?"

Jin menepukkan tangannya ke wajah, lalu berdesah panjang.

"Aku khawatir kalau ini akan terjadi. Aku pun penasaran apa dia akan melakukannya lagi tahun ini ..., dan ternyata aku benar."

"Apa dalam Hari Anak ada yang merayakannya dengan kubis ...?"

"Alam semesta itu luas. Mungkin di planet lain itu ada."

Sembari menanggapi Sorata, Jin memasuki kamarnya.

"Katamu tadi dia juga melakukan ini tahun lalu?"

"Dulu ..., sesampainya aku ke kamar, Misaki sudah menungguku di dalam sambil berlumuran krim segar."

Wajahnya tampak menderita hanya karena mengingat kenangan tersebut.

"... aku turut berduka."

Jin mendekat ke samping Sorata, dan menundukkan pandangannya ke kotak di atas tempat tidur. 

"Apa hari ini ulang tahun Kak Jin?"

"Sayangnya, iya."

"Yah, mohon bersabar. Tapi kenapa kubis?"

"Mungkin dia hanya berpikir kalau yang serba hijau begini itu cantik. Memangnya aku bisa tahu yang dipikirkan gadis itu, hah?"

"Tapi kamu sudah mengenalnya sedari kecil."

Jin terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi dia menahan dirinya dengan senyum getir.

Baik tatapan Sorata maupun Jin tanpa sadar tertuju ke kotak tersebut.

"Hmm .... Sebaiknya aku pergi dulu."

Sorata mulai meninggalkan kamar, tapi Jin meletakkan tangannya ke bahu Sorata.

"Bukankah sebaiknya kamu membantu senior yang selalu membantumu ini?"

"Dia tidak begitu membantuku!"

"Tidak, tidak, dia banyak membantu. Dia membelikanmu makan siang, 'kan?"

"Itu cuma sekali! Lepaskan aku!"

Cengkraman Jin semakin kuat hingga hampir membuat sakit bahu Sorata.

"Lelaki macam apa kamu?! Tega-teganya meninggalkan seseorang yang sedang dalam bahaya!" 

"Kamu sendiri juga sama! Lelaki macam apa yang tega menyeret orang lain di situasi seperti ini?! Bukan berarti kotak itu mungkin akan meledak! Jadi itu tidak masalah!"

"Barusan kamu bilang, mungkin!"

"Oke, baiklah. Kamu pasti baik-baik saja! Setidaknya secara fisik, kamu pasti baik-baik saja!"

"Apa-apaan maksudmu itu?! Maksudmu aku tidak akan baik-baik saja secara mental, begitu?!"

Mereka berdua kurang lebih bisa membayangkan isi dari kotak itu. Baik Sorata maupun Jin. Dan karena itulah tidak ada di antara mereka berdua yang mau membukanya.

"Itu hadiah ulang tahun, jadi seharusnya kamu menerima dengan senang hati. Lebih tepatnya, terimalah dengan jantan!"

"Ternyata seperti ini sifatmu, Sorata. Kamu mau menolong kucing-kucing dan mengurus Mashiro, tapi kalau itu berhubungan denganku, kamu tidak peduli. Aku jadi sedih. Padahal aku percaya padamu."

"Alarm tanda bahaya sedang berbunyi di dalam otakku! Instingku berteriak kalau ada sesuatu di dalam kotak itu yang sama sekali tidak boleh kulihat! Hati kecilku sedang menjerit padaku!"

"Aku paham. Kalau begitu, tidak ada pilihan lain. Lebih baik begini saja."

"Kamu mau apa?"

Jin melepaskan cengkramannya pada bahu Sorata, dan Sorata pun berhenti mencoba melarikan diri. Persis setelah itu, dengan penuh tenaga, Jin membuka kotak itu lebar-lebar.

"Wuaah! Apa yang kamu lakukan?!"

"Haha, salah sendiri mau jatuh ke dalam perangkap."

"Memangnya kamu ini penjahat, apa?!"

Meski dia tidak ingin melihatnya, Sorata tanpa sadar memalingkan pandangannya ke isi kotak tersebut. Hal yang wajar bagi seorang manusia untuk melakukannya.

Misaki berada di dalam kotak itu. Untuk sesaat, fokus Sorata sepenuhnya terpusat padanya, dan seketika dia mulai panik, Jin langsung menyelimuti Misaki dengan handuk, dan membuatnya hilang dari pandangan.

"Sorata, jangan lihat."

Meski itu hanya sesaat, pemandangan yang Sorata lihat sudah terekam melalui matanya.

Misaki berdiam di dalam sana, tertidur nyaman dengan sebuah kubis pada lengannya, tanpa ditutupi apa pun selain pita-pita merah yang mengelilingi tubuhnya. Dadanya yang hampir meluap itu bisa terlihat .... Bokongnya yang hampir menyeruak .... Proposi tidak biasa, yang hampir seperti mukjizat. Terlebih, bibirnya dibaluri lipstik mengilap, membuatnya tampak semakin seksi.

"Hmm~ ... ah, apa kita memenangkan perang galaksi ...?"

Sambil menggumamkan sesuatu yang aneh, Misaki akhirnya membuka matanya.

Sorata mengintip untuk melihat ada apa di ujung handuk tersebut, dan dia melihat kalau Misaki telah menyadari keberadaan Jin dengan lirikan curiga pada matanya.

"Jin, selamat ulang tahun~!"

Seperti predator yang baru saja menemukan mangsanya, Misaki melompat keluar dari kotaknya. Jin pun mampu menghindari terjangan tersebut dengan tepat waktu.

Kekuatan lompatannya membuat Misaki menghantam tumpukan besar kubis dengan kepala di depan.

Tapi layaknya burung phoenix, dia segera hidup kembali.

"Jin, selamat ulang tahun~!"

Jin menarik seprai dari tempat tidur lalu menutupinya ke tubuh Misaki sewaktu gadis itu menerjang dirinya lagi.

"Itu sungguh tidak pantas! Hentikan !"

"Wah, Jin malu-malu. Padahal aku sudah berusaha keras melakukan semua ini untuk mengucapkan selamat ulang tahun padamu, tapi kenapa kamu tidak terlihat senang?!"

"Tolonglah, ucapkan saja selamat ulang tahun layaknya manusia normal!"

"Hmm ..., baiklah, aku akan bersikap apa adanya."

Sorata melihat kesempatan dalam percakapan itu untuk menyela.

Dia benar-benar harus kembali ke Bumi.

Kalau dia tinggal lebih lama lagi di dunia kubis, dia mungkin bisa gila.

"Hei, tunggu dulu! Jangan lari, Sorata!"

"Kamu sudah bisa mengatasinya!"

"Kita masih punya banyak kubis di sini, makanya tidak ada pilihan lagi selain membuat para penghuni di sini agar memakan sayur-sayuran yang segar ini. Jadi jangan lari dan bantu aku!"

"Aku tidak termasuk di dalamnya. Sampai jumpa!"

Tepat di saat itu, Mashiro datang.

"Sorata."

"Oh, ada apa?"

Mashiro yang baru selesai mandi berdiri di depan Sorata, dengan rambutnya yang masih basah, menyebarkan aroma manis. Dia masih mengenakan piyamanya, namun kali ini dia kenakan celana dalamnya dengan benar, tanda bahwa latihan harian Sorata akhirnya membuahkan hasil.

"Bisa membantuku?"

"Tentu. Baiklah, ayo kita pergi!"

Melepaskan diri Jin, Sorata segera meninggalkan kamar tersebut.

"Ah, tunggu! Itu sama sekali tidak keren!"

"Kuharap kalian yang berteman lama ini bisa akur. Kudoakan yang terbaik buat kalian!"

"Wuah, Misaki, jangan tarik itu! Pakai bajumu dulu, kampret! Bagaimana kalau misalnya itu jatuh?!"

"Ini hadiah untuk Jin, jadi aku akan sedih kalau kamu tidak menerimanya~!"

Jin tampak hendak mengatakan sesuatu, namun Sorata sudah berada di luar dan menutup pintunya.

Dia sedikit berdoa untuk mereka.

Senang karena telah keluar dari situasi berbahaya tersebut, Sorata dengan riang mengikuti Mashiro menaiki tangga.


********

Berpikir kalau dia sudah selamat, Sorata memasuki kamar Mashiro, hingga ....

"Lepaskan bajumu."

Ucap Mashiro dengan wajah datar pada Sorata, dan sesaat Sorata terdiam tanpa kata.

Kali ini, dia hanya bisa berkedip.

"Lepaskan bajumu."

Sayangnya, Sorata tidak salah dengar.

Mencoba menenangkan dirinya, pandangan Sorata menelusuri seluruh kamar itu. Seperti biasa, pakaian, celana dalam, dan naskah Mashiro berhamburan di lantai.

Entah di lantai satu ataupun di lantai dua, tampaknya hanya ada neraka yang menantinya.

"Oke, boleh kutanya alasannya?"

"Aku ingin melihatmu telanjang."

"Dan aku ingin tahu kenapa kamu ingin melihatku telanjang?!"

"Ceritanya panjang."

"Apa seperti itu perlakuanmu terhadap orang yang kamu mintai bantuan?!"

"... tunggu sebentar."

Mashiro berjalan ke mejanya dan kembali dengan membawa memo yang ditulisnya.

"Saran dari Ayano."

"Siapa itu Ayano? Dan jangan berbicara seakan saran itu ditujukan untukku!"

"Editor."

"Oh, ternyata kamu sudah punya editor?"

Mashiro mengangguk pelan.

"Aku mengikuti lomba manga tahun lalu."

"Lalu kamu menang?"

"Kalah."

Tentu saja, itu seharusnya sudah jelas. Toh, Mashiro masih belum menerbitkan apa pun.

"Ayano melihat karyaku dan merasa gambarnya bagus. Jadi dia menghubungiku."

"Hmm ..., jadi hal seperti itu juga bisa terjadi? Lalu, apa yang mau kamu lakukan sekarang?"

"Membuat karya untuk lomba tahun ini."

"Padahal kamu sudah punya editor, tapi kenapa kamu masih harus mengikuti lombanya?"

"Begitulah."

"Hmm."

Memang benar bahwa menerbitkan karya yang memenangkan hadiah lebih menarik dibandingkan menerbitkan sesuatu yang belum memenangkan apa pun. Bagi sebuah perusahaan penerbit, tidak ada yang lebih baik dibanding menerbitkan karya-karya populer dan memastikan karya-karya itu terjual dengan baik, jadi wajar saja kalau mereka akan berusaha mengajari orang yang mereka rasa punya potensi.

"Jadi? Ada apa dengan editor itu?"

"... apa maksudmu?"

"Maksudku sarannya! Sarannya!"

"Kamu masih membahas soal itu?"

"Kita masih belum membahasnya! Jangan lupakan percakapan kita tadi!"

Mashiro lalu melihat memo tersebut.

"Saran dari Ayano."

"Kamu benar-benar mau memulainya dari awal?!"

"Jika ada perasaan yang lebih peka ...."

"Ya ...."

"... yang kurasa sulit diekspresikan ...."

"Lalu ...."

"... maka aku harus mencobanya ...."

"Mencoba apa ...?"

"Menggambarkan sesuatu yang lebih ekstrim."

"Oh."

"Itu yang dikatakannya."

"Begitu. Jadi itu alasan kenapa kamu ingin melihat lelaki telanjang. Kurasa memang banyak kejadian di mana manga cewek tampak lebih ekstrim .... Lagi pula, itu sama sekali bukan cerita yang panjang."

"Jadi hari ini, aku mengincar tubuh Sorata."

"Itu cara mesum yang tidak ada gunanya untuk dikatakan, tahu?"

"Lepaskan bajumu."

Mashiro mencengkeram ujung kaus Sorata.

"Aku menolak."

Sorata menepisnya.

"Aku sudah mengatakan alasanku."

"Mengetahui alasannya membuatku lebih menyadari betapa berbahayanya semua ini! Kamu sedang memintaku untuk menjadi modelmu, 'kan?"

"Model telanjang."

"Berarti aku harus telanjang bulat?! Itu memalukan!"

"Tidak apa-apa."

"Apanya yang tidak apa-apa?"

"Aku tidak malu."

"Tapi aku yang malu!"

"Aku tidak akan tertawa."

"Memangnya apa yang mau kamu tertawakan?!"

"Jadi kamu tidak akan melakukannya?"

"Tidak akan."

"Begitu. Kalau begitu tidak ada gunanya ...."

Untuk sesaat, Sorata merasa lega, hingga dia melihat Mashiro memegangi piyamanya.

"Shiina, sebenarnya apa yang kamu lakukan ini?"

"Kalau aku juga melepas baju, berarti tidak masalah, bukan?"

"Jangan, bukan begitu maksudku!"

"Kamu bisa mengatakannya dari awal."

"Jangan berlagak seolah aku yang malu-malu! Dan bisa-bisanya kamu mulai membuka baju tanpa ragu begitu?! Tidak seharusnya gadis seusiamu berani buka-bukaan di depan orang lain!"

"Sorata itu istimewa."

"Tidak peduli soal istimewanya aku! Dan jangan membahasnya! Itu mungkin hanya karena aku pernah memberimu baumkuchen!"

"Benar."

"Kubilang jangan dibahas! Kamu bisa menghilangkan rasa ikhlasku! Dan berhenti melepas bajumu!"

Mashiro menghentikan gerakannya.

"Jadi, kamu akan membantuku?"

Melepas baju atau melihat orang lain melepas baju. Belum pernah di sejarah manusia pilihan semacam ini muncul.

"Apa aku sungguh sedang diperas dengan cara seperti ini ...? Baik. Akan kulepas bajuku. Tidak masalah kalau aku melepas baju, 'kan?! Tapi aku tidak akan melepas celanaku! Itu syaratku!"

"Akan kulepas celanaku."

"Bentuk kesetaraan macam apa yang mau kamu tunjukkan itu, hah?! Kamu gila, ya?! Baiklah! Yang penting kamu tidak buka!"

"...."

"Kenapa kamu masih terlihat tidak puas?"

"Itu bagian yang penting."

"Tapi kamu tidak akan menggambarnya ke dalam manga, 'kan?!"

"Tidak percaya diri?"

"Tidak percaya diri dengan apa?!"

Mencoba untuk menyudahi ini secepat mungkin, Sorata melepaskan kaos dan celana jersinya, hingga dirinya hanya mengenakan celana pendek yang tipis.

"Hei .... Kalau kamu hanya ingin melihat lelaki telanjang, kenapa tidak cari fotonya saja?"

"Tidak."

"Kenapa tidak?"

"Tidak bisa disentuh."

"...."

"...."

"Hah?"

"Aku tidak bisa meraba seluruh tubuhnya."

"Oh, senang mengenalmu. Aku mau balik ke kampung halaman dulu."

Sorata buru-buru mengenakan kembali kaosnya. Akan tetapi, Mashiro telah mengenggam lengan kaos itu dan tidak melepaskannya.

"Penting untuk merasakannya sendiri. Membuat lukisan menjadi hidup."

Ditatap langsung seperti itu, Sorata merasa pikirannya terhenti. Pada akhirnya, ini semua demi karyanya. Dia tidak sedang bercanda, atau berusaha menggodanya. Dia benar-benar serius.

"Baik, baik, akan kulakukan. Lalu, aku harus apa?"

"Berbaring."

Mashiro menunjuk ke arah tempat tidur. Sorata awalnya sedikit enggan, tapi dia akhirnya mau menurut ketika ingat bahwa Mashiro tidur di bawah meja, yang berarti kalau tempat tidurnya jarang digunakan.

Dia pun merebahkan diri ke atas tempat tidur, menunggu instruksi selanjutnya.

Kemudian, tanpa pemberitahuan apa-apa, Mashiro menaiki tubuh Sorata, dengan lutut tertekuk.

"Kamu ini sedang apa?!"

"Jangan bergerak."

Jari lembut yang cekatan itu menelusuri perut Sorata dari atas hingga ke bawah. Punggung Sorata bergidik. Merinding karena sensasi tidak nyaman ini, Sorata menjadi kaku karena gugup, bahkan sewaktu isi tubuhnya mengendur.

"Keras, dan terasa berat."

Mashiro terasa lembut. Sorata dapat merasakan bokongnya yang terlapisi piyama. Bagian tubuhnya yang menyentuh Mashiro itu perlahan memanas. Bagian tersebut mulai berkeringat, memenuhi Sorata dengan sensasi menenangkan.

Dia ingin lebih banyak menyentuh. Dia juga ingin mengulurkan tangan dan menyentuh area lainnya. Dorongan jahat tersebut mulai menyeruak di dalam diri Sorata, namun matanya bertatapan dengan Mashiro, hingga hasrat itu pun padam.

Dia kehilangan kata-kata saat melihat tatapan serius Mashiro.

Jemari Mashiro membentuk sebuah garis antara leher Sorata dengan dagunya. Sorata membiarkannya melakukan apa yang dia mau.

Mashiro bergerak dan semakin melingkupi Sorata dengan tubuhnya.

Dia menyandarkan dagunya di dada Sorata, lalu menengadahkan pandangannya.

"Jantungmu berdetak."

"Ya, karena aku masih hidup."

"Semakin lama detakannya semakin cepat."

"Memangnya itu gara-gara siapa?! Siapa, hah?!"

"Peluk aku."

"Eh, aku tidak bisa melakukan itu!"

"Sorata pengecut."

"Uh, sial! Oke, oke!"



Sorata melilitkan kedua lengannya ke punggung Mashiro.

Awalnya, lengannya nyaris menyentuh Mashiro.

"Lebih erat."

Sorata sedikit mengeratkan pelukannya. Lengannya mulai bergetar karena gugup.

Dia bisa tahu betapa ramping pinggang gadis itu melalui lengannya.

Perasaan tidak nyaman mulai menyerangnya. Jika dia memeluknya lebih erat lagi, apa tulangnya akan remuk? 

"Sudah."

Sorata lalu melepaskan pelukannya.

Mashiro pun mengangkat kepalanya dari dada Sorata, lalu melirik wajahnya.

"Terangsang?"

"Enak saja!"

Sekilas Sorata dapat melihat payudara Mashiro dari kerahnya yang terbuka.

Karena panik, Sorata segera memalingkan pandangannya.

"Ada apa?"

"Dasar. Ya ampun, sadar dirilah sedikit. Kamu terlalu lengah."

Mashiro lalu melihat payudaranya sendiri.

"Kamu suka ini, ya?"

"Kalau aku terangsang hanya karena payudara Shiina, lebih baik aku tidur dengan setumpuk kamaboko saja."

Mashiro tampak tidak mengerti lelucon itu, hingga tidak menyahut.

"Sorata, apa kamu pernah berhubungan seks?"

"...."

"Sorata?"

"Jangan buat aku kaget! Jelas aku belum pernah! Jangankan mencium seorang gadis, bergandengan tangan saja aku belum pernah! Baru kali ini saja aku diduduki seorang gadis!"

"Sayang sekali. Kamu punya tubuh yang bagus."

"Bagaimana bisa kamu berpikir begitu?! Mungkin aku pernah bermain sepak bola sewaktu SD dan SMP, tapi itu sama sekali tidak istimewa."

"Lalu sekarang?"

"Aku tidak memainkannya lagi. Seharusnya itu sudah cukup jelas."

Kenyataannya, Sorata tidak melakukan apa pun. Sejak masuk SMA, dia tidak bergabung dalam klub apa pun.

"Apa kamu cedera?"

"Tidak, sama sekali tidak."

Mashiro terdiam, dan berpikir sejenak.

"Kalau begitu, kamu tinggal main saja."

"... ada alasan kenapa aku berhenti selain karena cedera."

"Aku tidak paham."

Dipandangi oleh kedua mata polos Mashiro dari atas, Sorata merasa semakin gelisah dan membiarkan pandangannya mengelilingi kamar tersebut. Dia mencari hal lain di kamar tersebut untuk mengalihkan pikirannya. Namun dia tidak bisa menemukan apa-apa. Dalam tatapan bingungnya, tidak ada kesadaran dari kecanggungan suasana ini, ataupun fakta bahwa Sorata ingin mengganti topik pembicaraan.

Tidak menemukan pilihan lain, Sorata mulai berbicara.

"... hanya begitu-begitu saja."

Sorata telah bermain sepak bola selama sembilan tahun penuh, namun dia tidak membuat kemajuan apa pun. Sewaktu SMP, dia memasuki tim yang jika masuk kualifikasi turnamen prefektur saja sudah bersyukur, dan dia pun bukan pemain yang hebat dalam tim tersebut. Jadi, dia tidak bisa bermimpi melakukan sesuatu yang lebih hebat dari itu.

Sewaktu SD, dia tidak habisnya bermimpi supaya bisa bermain di lapangan hijau yang luas dengan disinari lampu stadion, tapi mimpi itu berhenti setelah dia mulai masuk SMP.

"Mungkin aku sudah mencapai batasku. Dan aku sudah kehilangan minat."

Bahkan ketika tim mereka kalah dalam pertandingan, Sorata berhenti menangis, dan bahkan selama latihan, dia tanpa sadar mulai malas. Padahal sewaktu kecil dulu dia sering menangis saat kalah bertanding sepak bola ....

Bidang olahraga di Suikou tidaklah begitu kuat, meski begitu, klub sepak bolanya punya target untuk tembus ke tingkat nasional, sementara tim bisbolnya menargetkan Koushien. Percaya pada diri sendiri, bekerja keras, hadapi tantangan .... Ada makna di balik semua itu, tapi Sorata sudah tidak punya semangat lagi untuk bisa berusaha keras di bidang olahraga.

Sesuatu tanpa ada batasan. Sorata ingin mencari sesuatu yang diyakininya mampu untuk dilakukan, sesuatu yang mampu memberinya tantangan. Sesuatu yang bisa dia minati seperti teman sekelasnya yang mandi keringat di lapangan.

Itu sebabnya, dia membuat keputusan besar untuk tidak bergabung dalam klub apa pun. Tetap saja, satu tahun telah berlalu, dan dia tidak mendapatkan apa-apa.

"Ah, lupakan. Aku baru saja mengatakan hal konyol."

Karena tidak ada gunanya mengatakan semua itu pada Mashiro. Untuk seseorang seperti Mashiro yang sudah meraih puncak di bidangnya, persoalan rakyat jelata yang bermalas-malasan ini mungkin tidaklah masuk akal baginya.

"Baik."

Dengan respon singkat itu, Mashiro membuka buku sketsanya. Dengan posisi masih menduduki Sorata, Mashiro memusatkan perhatiannya pada lembaran putih buku sketsanya dan mulai menggerakkan pensilnya.

"... Shiina?"

"...."

"Apa aku harus terus seperti ini?"

"...."

"Oi, memangnya aku ini sedang bicara dengan angin, hah?!"

"...."

Seakan dia tidak mendengarnya.

Ekspresi wajahnya tampak berbeda. Seakan dia telah memusatkan semua perhatiannya pada pekerjaannya.

"Shiina ..., apa kamu punya pacar?"

"...."

"Ya, kurasa begitu."

"...."

"Sungguh kejam. Kejam. Kejam sekali! Hidupku .... Hukuman keji macam apa ini?! Sial .... aku benar-benar mau menangis ...."

Selang beberapa saat, Mashiro berdiri dan menyalakan komputernya, lalu duduk di depan mejanya.

Dia mulai menggambar di atas layar dengan sebuah tablet.

"Pasti begini rasanya saat mau dicabuli .... Salah apa aku sampai harus menerima semua ini ...?"

Selagi Sorata berdesah dan kembali mengenakan pakaiannya, dia berjalan ke belakang Mashiro dan mengintip ke arah layar. Setiap kali Mashiro menggerakkan tangannya, sosok seorang pria mulai terbentuk di atas layar dengan keakuratan yang mengejutkan. Dia hampir tidak pernah menggunakan penghapus. Seakan dia tahu persis garis apa yang perlu digambarnya sejak awal. Dari sudut pandang Sorata, teknik Mashiro hampir terlihat seperti sihir.

Tiba-tiba, punggung Mashiro seakan menghilang ke kejauhan.

Dia berada persis di depan Sorata. Jika Sorata mengulurkan tangan, dia akan bisa menyentuhnya. Namun di saat yang sama, jarak tersebut terasa tidak terhingga.

Bermaksud melarikan diri dari sensasi itu, Sorata berpaling dan mulai mengumpulkan lembaran naskah yang berserakan di lantai.

Itu adalah naskah yang berbeda dari yang Sorata pernah lihat sebelumnya, tapi nuansa yang dihadirkan kurang lebih sama. Seorang gadis SMA yang sungguh tidak mencolok jatuh cinta pada seorang lelaki teman sekelasnya yang juga tidak mencolok, dan lewat obrolan yang benar-benar tidak menarik, mereka memutuskan untuk mulai berpacaran.

"Yang benar saja, siapa yang mau peduli ...?"

Tidak ada satu bagian pun dari gaya manga-nya yang membuat Sorata ingin berkata bahwa itu sudah semakin bagus.

Mungkin itu disebabkan kepribadian dari Mashiro, namun membuat tokoh yang begitu hambar adalah suatu kesalahan fatal saat berbicara soal manga

Dia sungguh harus lebih berani dan dramatis dalam penggambarannya, dan menciptakan tokoh yang lebih banyak menunjukkan emosi.

Aura tidak bersemangat yang terus terasa sepanjang karyanya membuat seluruh karya tersebut tidak begitu menarik. Gambarnya tidak terasa hidup. Semua itu membuat Sorata tidak merasakan apa-apa. Tidak ada perasaan tertarik ketika membacanya. Yang seperti ini bukanlah manga, tapi hanya koleksi gambar biasa. Orang-orang tidak membaca manga hanya untuk melihat ilustrasi yang bagus. Setidaknya, itulah yang Sorata rasakan. Karena itu, jika ceritanya membosankan, maka Sorata tidak memiliki minat untuk terus membacanya.

Yang seperti ini akan cukup sulit untuk memenangkan hadiah ataupun membuat debut sebagai seorang pengarang manga.

Selagi dia memikirkan hal tersebut dan melihat naskahnya, Sorata tersadar jika Mashiro sedang memandanginya.

"Tidak bagus?"

"Kalau boleh jujur, iya."

Sorata sempat berpikir jika dia akan mengutarakannya secara tidak langsung, namun akhirnya dia memutuskan untuk menjawabnya dengan jujur. Lagi pula, sebelumnya dia juga pernah menyampaikan pendapatnya secara langsung. Jadi tidak ada gunanya jika menjawab dengan pengandaian.

"Ayano juga bilang begitu."

Memutuskan untuk menahan diri agar tidak berkata lebih banyak lagi, Sorata hanya bisa menyodorkan naskah itu pada Mashiro

"Kamu boleh membuangnya."

"Memangnya tidak apa-apa? Itu naskah, 'kan?"

"Aku sudah menyimpan datanya. Itu hanya konsep cerita."

"Hah?"

Konsep cerita .... Jadi maksudnya ini cuma sketsa kasarnya saja? Sesuatu yang kamu bawa saat bertemu editormu supaya kamu bisa membicarakan detail manga-mu?

"Rasanya tidak efisien kalau menggambar sketsa kasar sampai sebagus ini ...."

"Aku belum terbiasa memakai komputer. Perlu latihan."

"Lalu kenapa kamu tidak memakai kertas saja?"

"Kirino juga bilang begitu. Katanya kalau aku terlalu banyak menggambar garis pada kertas hingga gambarnya terlalu berat."

"Jangan bilang ... kalau gambar di kertasmu itu terlalu bagus?"

"Tidak. Aku lemah menggambar manusia."

Sorata tidak paham dengan kata lemah yang diucapkan Mashiro tadi. Tokoh di layar itu tampak memiliki desain yang kurang rumit jika dibanding dengan yang pernah Sorata lihat sebelumnya, dan itu digambar dengan seni manga yang meyakinkan. Bahkan dari sudut pandang profesional, kemampuan seni Mashiro itu tergolong kelas atas. Sorata sudah pernah melihat banyak sekali manga yang gambarnya lebih buruk.

Sorata hanya bisa mengira kalau Mashiro sudah gila karena merasa lemah di bagian itu.

Sensasi yang membuat Sorata memalingkan pandangan sebelumnya itu pun muncul kembali dengan begitu kuatnya.

Mashiro sendiri telah terfokus kembali pada karyanya, dan sosok punggungnya itu pun tampak menghilang ke kejauhan dengan begitu cepatnya.

Itu bukanlah halusinasi. Mashiro memiliki sebuah tujuan, dan dirinya langsung bergerak menuju ke sana. Bagi seseorang yang berdiam diri seperti Sorata, Mashiro mungkin saja sedang bergerak dengan kecepatan cahaya.

Sorata tidak akan pernah bisa mengejarnya.

Meski saat itu mereka berada di kamar yang sama, Mashiro berada di tempat yang sepenuhnya berbeda.

Misaki dan Jin, bahkan Ryuunosuke .... Mereka semua sama. Mereka semua berlari ke arah tujuan mereka.

Hanya Sorata saja yang berdiam diri.

Sorata merasakan perih yang menusuk di dadanya. Sakit sekali. Tanpa sadar, Sorata menjauhkan dirinya dari Mashiro, lalu duduk di atas tempat tidur.

Entah kapan, rasa kesepian dan tidak nyaman itu mulai berputar-putar dalam perut Sorata. Karena perlu mengalihkan perhatian, Sorata pun memanggil Mashiro.

"Hei ..., kenapa memilih manga?"

"...."

Seperti yang dia duga, tidak ada respon.

Ketika Mashiro berkonsentrasi seperti ini, suara Sorata ..., atau bahkan keberadaan dirinya ... tidak pernah hadir dalam pikiran gadis itu.

Untuk beberapa saat, keheningan mengisi kamar tersebut. Hanya ada suara Mashiro yang sedang bekerja dengan tabletnya menggema di dalam kepala Sorata dan merampas kemampuannya untuk berpikir. Tanpa bisa memikirkan apa-apa, Sorata memandang hampa punggung Mashiro.

Sejenak waktu telah berlalu.

"Karena menarik."

Mendengar tanggapannya yang teramat telat, Sorata berseru karena kaget.

"Eh?"

Mashiro menoleh lalu menatap melalui belakang bahu.

"Karena menarik."

"Apa melukis itu belum cukup menarik?"

"Melukis saja tidak menarik."

"Tidak seharusnya kamu mengatakan hal seperti itu."

"Itu kebenarannya."

"... kalau begitu ..., kalau menurutmu itu tidak perlu, serahkan bakat senimu itu padaku."

"Baik."

"Memangnya itu bisa, hah?!"

"Sorata yang bilang."

Sorata sadar akan itu.

"Sorata yang meminta hal yang sebenarnya tidak kamu inginkan."

Ucapannya tepat mengenai sasaran.

Sorata bahkan tidak tahu yang sebenarnya dia inginkan dalam hidupnya. Meski dia nantinya memperoleh bakat Mashiro, itu hanya akan menjadi sia-sia saja.

Mashiro segera kembali mengerjakan karyanya. Hampir seakan dia tidak pernah mengikuti obrolan barusan, Mashiro kembali memusatkan perhatiannya pada tugasnya itu.

Bagi Sorata, punggung Mashiro tampak begitu dingin pada saat itu.

Dia hampir merasa jika dia baru saja ditolak.

Namun, itu mungkin bukan cara yang tepat untuk melihatnya. Perasaan itu mungkin hanya kegelisahan Sorata semata. Rasa bersalahnya. Mashiro sama sekali tidak memikirkan itu. Dia tidak merasakan apa pun. Sorata hanya menyesal karena meminta Mashiro untuk menyerahkan bakat itu pada dirinya.

Dia merasa hina.

Dia bergumam pada dirinya sendiri.

Dia merasa muak pada sikap angkuh dirinya.

"Sorata."

"Ya?"

"Jangan pakai pakaianmu."

"Hah?"

"Kita lanjut."

"Hei, tunggu dulu. Kamu masih mau apa terhadapku?!"

"Jelas ...."

"Jelas?"

"Itu jelas tidak bisa kukatakan."

"Jangan berbuat seperti itu padaku!"

"Aku tidak akan membiarkanmu tidur malam ini."

"Kalau memang itu yang mau kamu katakan, harusnya itu lebih menggoda!"

"Aku tidak akan membiarkanmu tidur malam ini."

"Itu sama sekali tidak ada bedanya!"


Bagian 4


Persis seperti yang dikatakannya, Mashiro tidak membiarkan Sorata tidur malam itu. 

Hingga jam lima pagi di mana Mashiro sendiri sudah tertidur pulas, Sorata pun tergeletak di atas tempat tidur setelah menuruti apa pun yang diperintahkan gadis itu dan terkadang cukup aktif terlibat membantu berbagai macam eksperimennya.

Karenanya, dia pun bisa menyaksikan seperti apa makhluk yang bernama Shiina Mashiro itu terlelap. Terlebih, dia tidak dapat menahan rasa penasarannya tentang alasan Mashiro bisa berada di bawah meja setiap malam.

Ketika sedang mengerjakan manga-nya, Mashiro akan terus fokus di depan meja hingga akhirnya dia tertidur. Saat perlahan memasuki ambang batas keletihannya, secara naluriah dia akan berguling ke lantai. Kemudian, dengan niat menghindari pendaran cahaya lampu, dia pun akan mengerahkan sisa tenaganya untuk merangkak dan membenamkan diri ke bawah meja sembari menggulung dirinya dengan setumpuk pakaian serta celana dalam. 

Dia tidak langsung tertidur begitu saja. Anggap saja itu sudah sifat atau perilaku bawaannya, namun yang pasti itu terasa begitu liar. Mungkin saja setiap hari dia tertidur seperti itu. Dia akan terus mengerjakan manganya sampai HP-nya mendekati angka nol, bahkan sampai tidak menyisakan cukup tenaga bagi dirinya sendiri untuk berjalan ke tempat tidur.

Astaga, bahkan caranya untuk tidur pun begitu konyol.

Seraya mengarahkan pandangannya ke bawah kepada Mashiro yang sedang tertidur dengan posisi layaknya sebuah janin, Sorata pun melemaskan bahunya. 

"Jangan sesantai itu tidur di depan seorang lelaki .... Astaga ...."

Dia terlihat begitu damai saat terlelap. Wajahnya tertutupi namun bokong dan kakinya tidak. Sorata mencoba untuk menutupinya dengan selimut, tapi gadis itu tampak merasa geli dan melawan.  

Sorata ingin menyuarakan kekesalannya, tapi akan terasa menyedihkan jika dia berbicara sendiri, karena itu, dengan lunglai dia keluar dari kamar tersebut. 

Suasana cerah di kala fajar saat itu memenuhi lorong Asrama Sakura. 

Tapi mengingat betapa dirinya yang kurang tidur, Sorata tidak punya waktu untuk berhenti dan menikmati suasana menyegarkan tersebut. 

Dia menuruni tangga dengan langkah sempoyongan. Liburan telah usai, dan dia akan memulai sekolah hari itu, namun Sorata tidak dapat memikirkan apa pun selain kembali ke kamarnya dan tidur. Semua orang akan bersimpati padanya jika mereka tahu apa yang telah dilaluinya, bukan? Jadi, tidak ada satu pun yang bisa menyalahkannya jika dia sampai tidur seharian. 

Tapi Sorata mendadak berhenti ketika mendengar sebuah suara. 

Kemungkinan bahwa ada pencuri tiba-tiba melintas di benak Sorata, tapi dengan kondisinya yang sekarang ini, untuk waspada saja sudah menghabiskan banyak tenaga. Dia lalu mengikuti suara tersebut dan menjulurkan kepalanya, mengintip ke ruang makan. 

"Tidak. Aku cukup yakin sudah pernah mengatakannya padamu. Misaki tidak mengerjakan proyek secara berkelompok. Dia itu tipe orang yang tinggal membayangkan jalan cerita dan langsung menggambarkan semuanya ke dalam kertas. Tidak, aku tidak sedang mencoba memonopolinya. Kamu bisa bertanya pada orangnya sendiri. Dan aku juga bukan manajer Misaki. Jadi jangan menghubungiku untuk masalah ini!"

Orang yang duduk di meja bundar dan meninggikan suaranya tersebut tidak lain adalah Jin.

Panggilan itu langsung dia tutup dan ponselnya dilemparkannya begitu saja ke atas meja. Dia miringkan kursinya ke belakang lalu menangadahkan kepalanya melewati atas kursi untuk memandang Sorata.

"Ada apa? Sedang apa kamu di jam seperti ini? Wajahmu berantakan sekali."

"Shiina tidak membiarkanku tidur."

Sorata menguap.

Jin lalu menyahut.

"Wah, cepat sekali. Aku terkesan."

"Tidak, itu bukan jenis kegiatan yang suka kamu lakukan. Aku cuma membantunya mengerjakan manga."

"Tapi ... berkata seperti tadi memangnya tidak membuatmu hampa? Yah, untuk ukuran seorang murid SMA yang sehat jasmaninya."

"Meskipun benar, kamu juga tidak perlu menjelaskannya .... Malah semakin membuatku depresi."

Mata Jin juga terlihat letih.

"Seperti apa pesta ulang tahunnya?"

"Yah, karena kamu melarikan diri, aku harus menghadapi karnaval kubis itu sendirian. Pesta itu seperti siklus memakan dan mengeluarkan tanpa akhir .... Dan cukup kukatakan bahwa aku sudah lumayan akrab dengan toilet. Jujur saja, setelah empat jam di sana, aku sungguh mulai berpikir kalau dudukan bundar pada toilet itu tampak sedikit seksi ...."

"Sepertinya kamu ada kelainan."

"Jadi aku harus membawa kubis yang tersisa besok ... atau kurasa hari ini .... Tetap saja aku harus mengambil kubis tersebut dan mulai membagikannya ke sekolah." 

Jin tertawa datar. Dia mungkin sedang membayangkan dirinya yang berangkat sekolah sambil menenteng setumpuk besar kubis. Dan dalam benak Sorata, tidak diragukan lagi jika dia pasti akan terlibat di dalamnya. Dia sungguh tidak mau mengalaminya .... 

"Lalu kenapa dengan panggilan tadi?" 

"Produser dari perusahaan anime. Mereka bilang kalau mereka ingin agar Misaki membuat anime dengan skenario yang lebih baik. Yah, memang terasa jelas jika mereka mau memanfaatkan Misaki untuk menganimasikan karya mereka supaya bisa terkenal." 

"Mereka menghubungimu di jam seperti ini?" 

"Itu sudah biasa. Setidaknya bagi industri semacam ini." 

Kemudian, Sorata pun menangkap kesan dari mata Jin yang mengisyaratkannya untuk duduk.

Dia lalu mengambil tempat yang berjarak satu kursi dari Jin. 

Seharusnya Sorata kini mengantuk, tapi setelah melihat Jin, dia pun jadi ingin mengobrol.

"Apa ada yang mau kamu bicarakan?"

"Bagaimana menjelaskannya, ya .... Shiina itu agak aneh, tapi dia juga cukup hebat."

"Kamu baru sadar sekarang?" 

"Yang kumaksud bukan dirinya yang hebat dalam menggambar saja ..., tapi lebih pada cara dia yang benar-benar membenamkan diri pada karyanya, dan itu terasa seolah dirinya terasingkan dari dunia luar." 

"Begitu. Lalu karena melihat hal itu kamu jadi gelisah."

"...."

Sorata tidak ingin begitu saja mengiyakannya. Karena itu dia terus diam.

"Rasanya seperti hanya aku saja yang tidak punya sesuatu untuk dilakukan. Maksudku, di Asrama Sakura ini."

Misaki membuat anime, dan Jin menulis skenario. Ryuunosuke bekerja sebagai seorang pemrogram, dan Mashiro dengan manga-nya.

Lantas, apa yang dimiliki seorang Sorata Kanda?

Seperti apa dirinya?

Apa yang ingin dilakukannya .... Apa cita-citanya .... Tidak satu pun dia ketahui.

"Kamu sudah salah mengerti soal itu."

"Hah?"

"Aku sendiri tidak benar-benar yakin ingin terus menulis skenario seumur hidupku."

"Sungguh?"

"Pada awalnya itu terasa menarik, karenanya kucoba untuk menulis sebuah skenario. Itu terasa menyenangkan, dan aku terus melakukannya hingga akhirnya aku pun menekuni bidang ini. Itu terjadi begitu saja. Memang, untuk mencapai level Mashiro atau Misaki, perlu juga sesuatu semacam intuisi, dan aku tidak punya kemampuan semacam intuisi itu .... Yah, seperti itulah maksudku."

"Tapi aku sendiri tidak punya hal yang kuminati." 

"Soalnya dari awal kamu sudah berpikir begitu. Bagaimana kalau kamu coba dulu melakukan sebuah hal, apa saja .... Yah, anggap saja seperti kedai ramen yang mulai membuat hiyashi chuuka saat musim panas."

"Kamu harus minta maaf pada semua pemilik kedai ramen atas komentar tadi."

"Maksudku, ketika kamu membicarakan tentang memulai sesuatu, bukankah wajar jika berpikir untuk membuat hiyashi chuuka saat musim panas?"

"Aku sama sekali tidak paham bagaimana kamu bisa berkesimpulan begitu."

"Kamu yang aneh, tahu? Terkadang aku yang sama sekali tidak bisa memahamimu."

"Tapi rasanya aku cukup normal jika dibandingkan dengan semua penghuni Asrama Sakura."

"Yah, ketika membicarakan orang lain, orang-orang mungkin berpikir kalau mereka bergerak lebih cepat dari cahaya, tapi ketika membicarakan tentang diri mereka sendiri, mereka mungkin berpikir kalau mereka bergerak lebih lambat ketimbang sirup yang menetes." 

"Jadi ...."

"Itu bisa dilakukan. Maksudku, kamu tidak tahan saat melihat ada anak kucing terlantar di jalanan, 'kan? Bahkan sewaktu kita membicarakan Mashiro, meski itu dipaksakan padamu, kamu telah mengurusnya dengan baik selama sebulan penuh. Kamu bangun lebih awal, membuatkannya bekal makan siang, memberinya baumkuchen saat dia minta, dan langsung bergegas ke arahnya setiap kali dia berbuat hal gila .... Kalau itu aku, aku tidak akan mau repot melakukan itu semua. Ketika membicarakan tentang menolong orang lain, seorang Sorata bisa seratus persen melakukannya .... Kamu nyaris seperti seorang pahlawan pembela kebenaran di situasi seperti itu."

"Soalnya tidak ada yang membantuku!"

"Tapi asal kamu tahu ...."

Suara Jin melemah.

"Yang kamu lakukan hanyalah mencoba melempar kesalahan pada orang lain. Jika kamu memutuskan berbuat sesuatu lalu ikut membawa serta orang lain ke dalamnya, maka walau nantinya gagal, kamu akan punya alasan. Kamu bisa berkata, Oh, itu bukan salahku. Apa boleh buat, atau semacamnya. Kalau kamu tidak bisa mengatakan itu, maka akan terasa menyakitkan. Menyakitkan karena kamu gagal dan harus menghadapi fakta bahwa semua itu salahmu. Menyakitkan karena kamu tidak ada tempat untuk melarikan diri."

"Bukan seperti itu maksud ...."

"Lalu kenapa kamu tidak keluar dari Asrama Sakura, Sorata?"

Kalimat dari Jin itu telah menyerang titik buta Sorata. Mendengar sebuah pertanyaan yang di luar dugaannya, jantung Sorata seakan tersedak melalui tenggorokannya. Seakan Jin telah menancapkan paku ke dalam kepalanya. Sembari berusaha menenangkan diri, Sorata langsung melawan dengan sebuah alasan. 

"Yah, itu mustahil karena aku masih punya tanggungan Shiina serta kucing-kucingku."

"Akan kucari orang untuk merawat kucing-kucing itu. Dan Mashiro, biar aku saja yang mengurusnya."

Sorata tidak bisa menertawakannya sebagai sebuah lelucon. Tatapan Jin menghujam tepat ke diri Sorata. Bahkan dia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Kilau mata Jin tampak seolah memperingatkan Sorata agar tidak melarikan diri. 

"Kalau begitu tidak masalah, 'kan?

Jin mematahkan ketegangan tersebut dan mengangkat bahunya dengan santai.

"Tidak, maksudku ...."

"Kamu tahu? Aku benar-benar menyukaimu, Sorata."

"Tidak pernah kusangka kalau pernyataan cinta pertamaku berasal dari seorang lelaki ..."

"Yah, kamu sanggup berada di dekat orang yang menyusahkan seperti Misaki, dan kamu bisa berinteraksi dengan orang sesulit Ryuunosuke. Kamu pun tidak terlihat membenci orang sepertiku ini yang jarang disukai oleh banyak lelaki lain. Begitu pula dengan Mashiro. Ditambah, ketika seseorang mengatakan sesuatu yang gila, tanggapanmu juga tidak begitu menyakitkan."

"Mungkin sebaiknya kita berpasangan sebagai duet komedian lalu tampil di pinggir jalan."

"Simpan saja impianmu itu untuk kehidupan selanjutnya, kawan."

Jin tersenyum pada Sorata. Sorata tidak balas tersenyum. Jin masih belum mengutarakan yang ingin dikatakannya. Karena itu Sorata menguatkan dirinya untuk menghadapinya.

"Kalau kamu bilang tidak bisa memutuskan yang ingin kamu lakukan, maka akan kubantu menemukannya. Tapi kamu harus memutuskan dulu di mana kamu akan tinggal. Kalau kamu ingin kembali ke asrama biasa, sebaiknya segera kamu lakukan."

"...."

"Sebenarnya ini tidak perlu kukatakan, tapi aku tidak sedang bercanda. Kalau kamu benar-benar ingin pergi, aku akan mengurus Mashiro dan kucing-kucingmu. Biar aku yang bertanggung jawab."

"Itu ...."

"Jadi sebaiknya kamu putuskan sendiri. Entah kamu memutuskan untuk pergi atau tetap di sini, bertanggungjawablah pada keputusanmu itu. Kalau kamu bisa melakukannya, berarti seharusnya kamu mampu menetapkan tujuan bagi dirimu sendiri. Pilihannya hanya ada dua. Seharusnya mudah, 'kan?"

"...."

Jin lalu berdiri, menandakan bahwa percakapannya telah usai. 

Sorata terus menundukkan kepalanya. Dia terus memandang ke arah meja bundar, tanpa bergerak sedikit pun. 

Suara langkah kaki Jin perlahan menghilang di kejauhan. Entah kenapa, selama apa pun dia menunggu hilangnya sosok Jin, Sorata terus merasa ada sebuah kehadiran di dekatnya.

Sorata tidak merasa mengantuk lagi.

Dia akan meninggalkan Asrama Sakura.

Ya. Biar bagaimanapun, dia selalu ingin pergi. Dia selalu ingin kembali ke asrama biasa. Dan Jin akan mengurus Mashiro serta kucing-kucingnya. Tidak ada alasan lagi baginya untuk tetap berada di Asrama Sakura.

Bukankah seharusnya dia merasa senang?

Bukankah itu hal yang dia inginkan?

Tidak ada alasan untuk ragu-ragu.

Tapi ..., meski begitu ..., kenapa dia tiba-tiba merasa sulit bernapas?

Dia merasa tersiksa ... seakan perlahan tenggelam ke dalam rawa-rawa. Berat kakinya menariknya semakin dalam selagi dirinya terus menerus melambaikan tangan dan berjuang. Dan tidak peduli sekeras apa pun dia mencari, tetap tidak ada jalan keluar baginya.

Tidak bisa menahannya lagi, Sorata tersungkur ke atas meja bundar tersebut.

Terasa sulit .... Terasa menyakitkan .... Jam terus berdetak selagi Sorata menghadapi penderitaan dalam hatinya.

"Sorata."

Terdengar suara yang nyaris terasa hilang. Suara yang terdengar lembut, namun tegas. Sebuah kehadiran yang dirasakan Sorata sebelumnya bukanlah Jin. Itu adalah Mashiro.

Karena tidak ada lagi tenaga untuk menoleh, Sorata tetap tergeletak di atas meja dan memejamkan matanya. 

"Kamu akan pergi?"

"Aku akan pergi. Dari awal aku sudah ingin pergi."

Masih teguh pada pendiriannya yang lama, Sorata akhirnya berhasil mengucapkan kata-kata tersebut.

Mashiro tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak meninggalkan apa-apa. Tanpa bersuara, yang dilakukannya hanyalah meninggalkan ruang makan tersebut.

"Apa-apaan semua ini ...."

Sorata mengayunkan tinjunya ke atas meja. Rasa sakit yang tertahan menjalar dari punggung tangannya. Dia pun langsung kembali tersadar, namun setelah itu kembali dikerumuni arus pemikiran yang kacau, membuatnya lupa akan rasa sakit tadi.

Yang tersisa adalah perasaan muak karena separuh tubuhnya terus terperangkap di dalam lumpur kental tersebut. Terasa mirip seperti perasaan bersalah, tapi tetap saja, Sorata tidak bisa menjelaskan seperti apa tepatnya perasaan tersebut.


Mundur
Lanjut

0 tanggapan:

Posting Komentar

 
;