Oregairu 2 Bab 1 Bagian 3

==========================================================
Oke, memang sudah keterlaluan lamanya rentang waktu untuk posting Bagian ini...
Pas ane buka, ternyata malah ada juga yang tanya-tanya soal detail jilid kemarin...
Bagi yang bersangkutan, silakan ke TKP , di situ sudah ane jawab...
Nah, karena ane sempat bareng teman ngerjain yang kemarin itu, entah kenapa niat mau lanjutin muncul kembal
Untuk "teman yang kaubutuhkan hanyalah cinta dan keberanian", itu moto dari seri Anpanman... Dan semua yang pernah menonton Captain Tsubasa, pasti gak asing mendengar moto, "bola adalah teman"...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 1 - Begitulah, Yui Yuigahama Memutuskan Untuk Belajar

Bagian 3


"Hei, sadarkah kau betapa kejamnya reaksimu tadi?" tegasku ke Yuigahama. "Kau tak sadar, 'kan? Pekalah sedikit!"

"... oh," alih Yuigahama. "Aku cuma, eng ..., enggak bisa bayangkan kau bersama perempuan, Hikki ...," ia lalu mengambil ponsel yang terjatuh tadi sambil tersenyum malu.

"Perempuan bodoh," kataku. "Aku ini memang hebat. Biar kuberi tahu betapa hebatnya diriku. Dulu, sewaktu hari pertama di kelas yang baru, semua anak saling bertukar nomor telepon satu sama lain. Saat itu aku begitu populer, jadi kukeluarkan ponsel-ku dan menoleh ke kanan dan ke kiri hingga seorang gadis menyapaku dan berkata, Oh, ya sudah, ayo tukaran nomor."

"Ya, sudah, katanya? Sikap baik itu memang kejam," senyum senang tampak di wajah Yukinoshita.

"Tak usah menyindir begitu! Kami memang saling kirim SMS setelahnya."

Pandangan Yuigahama tertuju ke arah ponsel. "Anaknya kayak apa?" tanyanya cuek. Yang cukup aneh, kecepatan pergerakan jemarinya itu tetap terjaga.

"Kuingat-ingat dulu ...," kataku. "Ia perempuan yang kalem dan sehat. Kenapa kubilang sehat? Soalnya aku mengirim SMS padanya jam tujuh malam lalu ia membalas keesokan paginya dengan jawaban, Maaf, aku ketiduran, ~sampai ketemu di sekolah, ya~, ia pun begitu sopan dan berhati-hati karena berbicara denganku bisa membuatnya malu."

Yuigahama menutupi mulutnya dengan tangan. "Kejamnya ...," ia terisak sambil meneteskan air matanya.

Padahal ia tak perlu membuat diriku menjelaskan betapa menyedihkannya aku dulu. Ia benar-benar sudah menyadarinya sendiri.

"Itu artinya ia mengabaikan SMS-mu dengan berpura-pura tidur. Hikigaya, jangan berpaling dari keadaan yang sebenarnya. Hadapi kenyataan."

Seorang Yukinoshita menasihatiku? Sampai-sampai ia memandang iba begitu? Yukinoshita sialan!

"... aku sudah tahu segalanya soal memahami kenyataan. Begitu pahamnya, sampai-sampai bisa kubuatkan Hikipedia."

Fiuh ..., hahaha! Sungguh membuatku mengingatnya lagi. Saat itu aku masih lugu. Tak kusangka perempuan itu meminta nomorku karena kasihan dan membalas SMS-ku karena merasa sungkan. Aku pun akhirnya tersadar setelah dua minggu kemudian, saat ia tak lagi membalas satu pun SMS-ku, dan aku pun menyerah.

Hingga suatu hari aku mendengar obrolan para perempuan di kelasku.

"Si Hikigaya itu masih mengirimiku SMS. Kapan berhentinya, sih? Menakutkan."

"Anak itu pasti menyukaimu, Kaori ...!"


"Ih, menjijikkan!"


Rasanya aku ingin jatuh dan mati di tempat saja. Dan aku memang ..., memang benaran menyukainya!

Kini aku merasa prihatin akan diriku yang dulu berusaha keras, yang selalu menyertakan emoticon di setiap SMS. Karena menurutku menggunakan simbol hati dianggap menjijikkan, makanya kugunakan saja simbol bintang dan senyuman juga not musik. Hanya dengan memikirkannya bisa membuatku merinding. Ampun, deh.

"Hikigaya ...," sahut Bu Hiratsuka sambil bergerak maju. "Ka-kalau begitu, tukaran nomor dengan Ibu, yuk? Ibu janji akan membalas SMS-mu. Ibu juga tak akan pura-pura ketiduran," beliau pun langsung menyambar ponselku yang berada di tangan Yuigahama lalu mulai memasukkan nomornya di ponselku. Rasa kasihan beliau terhadap diriku sudah melampaui kewajaran.

"Eng ..., Ibu tak perlu bersikap sebaik itu padaku ...."

Soalnya, mendapat SMS dari guru sendiri itu rasanya menyedihkan. Tak ada bedanya seperti mendapat cokelat tiap tahun dari ibu sendiri di Hari Valentine. Rasa kasihan macam apa itu? Rasanya masih lebih baik jika tak diacuhkan oleh Yukinoshita saja.

Akhirnya kedua orang tersebut menyimpan nomorku di ponsel mereka masing-masing lalu menyerahkan kembali ponselku. Itu hanya penambahan sedikit data pada ponsel mereka, jadi bukan berarti ada yang benar-benar berubah. Tapi entah kenapa rasanya seperti ada beban di balik tindakan mereka tadi. Jadi ini yang namanya beban dari sebuah ikatan?

... hal yang begitu rapuh. Menggelikan betapa masa laluku sendiri akan sangat melekat pada beberapa kilobyte data. Sewaktu aku memikirkan tentang tak bergunanya mengenang hal tersebut saat ini, kubuka daftar kontakku. Dan di situ tertulis.

☆★YUI★☆

Ya ampun, memangnya yang seperti itu bisa dimasukkan ke kontak? Huruf pertamanya saja bukan abjad. Ditambah, dari sudut pandang manapun itu terlihat seperti alamat spam. Cocok sekali dengan bispak-nya Yuigahama. Kututup ponsel-ku tanpa melihat isinya lebih jauh.

Dikarenakan aku cukup hebat dalam melakukan pekerjaan yang tak biasa, hanya tinggal beberapa lembar saja yang tersisa. Aku mulai meletakkan tumpukkan lembaran itu segera.

Bu Hiratsuka dengan kentara berdeham sambil melirik ke arahku. "Hikigaya, cukup. Terima kasih bantuannya. Kau boleh pergi sekarang," ucap beliau sembari menyalakan rokok di mulutnya tanpa melihat.

Mungkin saja luapan rasa iba atas kejadian sebelumnya punya dampak yang mendalam pada diri beliau. Bu Hiratsuka menjadi sangat baik. Atau lebih tepatnya tergantung kepada siapa beliau berhadapan, dan beliau tidak bersikap lebih baik dibanding orang kebanyakan.

"Sip. Saatnya lanjut ke kegiatan klub," kuambil tas sekolahku dari atas karpet, lalu menentengnya di bahu kananku. Di dalamnya ada kumpulan buku pelajaran untuk bahan UTS dan beberapa manga yang rencananya akan kubaca saat di ruang klub.

Mungkin itu akan menjadi kebiasaan lain dari menghabiskan waktu ketika tak ada yang datang meminta bantuan ke klub.

Aku lalu pergi disusul oleh Yuigahama. Kuharap ia bergegas dan langsung pulang ke rumah. Jangan sampai ia mengikutiku .... Tepat saat di penghujung pintu, kudengar suara dari belakangku, "Oh, iya. Hikigaya. Ibu lupa bilang. Kau harus membentuk kelompok berisi tiga orang untuk Tur Lapangan Kerja-mu nanti. Kau bisa memilih kelompokmu sendiri. Pikirkan dengan bijak, ya."

Aku tak percaya akan pendengaranku.

Seketika mendengarnya, tubuhku melemas. Bahuku sampai terturun. 

"... waduh. Saya tak mau teman sekelas sampai datang ke rumah, Bu."

"Jadi kau benar-benar akan melakukan Tur Lapangan Kerja di rumah ...?" Bu Hiratsuka bergidik saat melihat wajahku yang penuh keyakinan.

"Saya sungguh menganggap konyol ide soal membentuk kelompok," terangku.

"Eh? Bagaimana bisa ada anak seperti di"

Aku langsung menoleh, mengibaskan rambutku di waktu bersamaan. Kemudian sesaat aku membuka mata, kutatap Bu Hiratsuka dengan seluruh intensitas yang terhimpun di kedua bola mataku. Gigi-gigiku pun ikut berkelip.

"Menjadi penyendiri bukan hal yang menyakitkan, kok! Saya sudah terbiasa!"

"Menyedihkan ...."

"Da-dasar bodoh. Pahlawan super selalu sendirian, tahu. Dan juga keren. Dengan kata lain, penyendiri itu keren."

"Benar juga. Soalnya ada pahlawan yang berkata bahwa teman yang kaubutuhkan hanyalah cinta dan keberanian," ujar Yukinoshita.

"Ya, 'kan? Wah, rupanya kau tahu juga moto itu."

"Ya, aku memang tertarik soal ini. Aku penasaran, sewaktu kau masih kecil, kapan kausadar kalau kau tak punya cinta, keberanian ataupun teman?"

"Ketertarikan yang menyimpang ...."

Tapi, yah, Yukinoshita ada benarnya. Aku memang tak punya cinta, keberanian ataupun teman. Di dalam kata-kata manis nan indah tersebut tersembunyi kebohongan dan kepalsuan yang menghibur. Di dalam hati orang-orang, itu tak lebih dari kata-kata pemenuh harapan dan pemuas diri. Karena itu aku tak punya teman. Bahkan bola pun bukanlah temanku.

Sikap baik, rasa kasihan, keberanian, teman benar, bahkan bola aku tak butuh itu semua.

4 tanggapan:

Unknown mengatakan...

Mantab, Lanjutkan Gan...

Unknown mengatakan...

gan bagian "Seketika mendengarnya, tubuhku memelas. Bahuku sampai terturun. "

"Memelas" atau "melemas"?

Unknown mengatakan...

Semoga masih mau di lanjutin lagi...!!

Cucundoweh mengatakan...

@Ichsan Ali: Oiya ane typo, yang benar memang "melemas"... Terima kasih ya gan atas koreksinya...

@Shuriiye: Amin...

Posting Komentar

 
;