Oregairu Bab 6 Bagian 3

==========================================================
Yaaaah... Muncul juga Saika... *Loh...???
Asyiknya membaca novel seperti ini, kita bisa membuat visualisasi adegannya dengan daya khayal dalam pikiran kita sendiri... Dan terlepas dari komedi seputar Saika di bagian ini, ane merasa adegan Yui di sini begitu sentimentil (#teamyuigahama)...
Pokoknya, bagian ini terasa berbeda sama yang di anime, beginilah adegan sesungguhnya yang diringkas habis di anime-nya...
Akhirnya ketebus juga satu dosa... Baiklah, selagi bulan puasa, ane mau nebus dosa yang lainnya dulu...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 6 - Akan Tetapi, Saika Totsuka Mau Saja Menurut

Bagian 3


Saat itu jam istirahat makan siang.

Aku memakan bekalku di tempat biasanya. Markasku ini bertempat di lantai satu paviliun, bersebelahan dengan ruang UKS dan terletak di pojok belakang kantin. Untuk lebih jelasnya, itu adalah posisi di mana aku bisa melihat langsung lapangan tenis.

Dengan santai kumakan wiener roll, onigiri isi tuna, dan Neapolitan roll yang kubeli dari kantin ini.

Dan rasanya begitu damai.

Di saat yang sama, suara permainan drum yang berirama hendak mengajakku masuk ke alam mimpi.

Para anggota Klub Tenis Putri memulai latihan pribadinya di siang hari, itu sebabnya mereka berada di sisi luar dekat tembok; mereka memukul bolanya lalu dengan heroik mengejar untuk mengembalikannya, kemudian mereka memukulnya kembali.

Sambil memakan bekalku, mataku mengikuti pergerakan mereka. Di penghujung istirahat makan siang, kuhisap teh lemon dalam kemasan ini lewat sedotan, dan bisa kurasakan hembusan angin sedang membuai diriku.

Arah angin pun berubah.

Berubah-ubah seiring cuaca di hari-harinya, namun karena sekolah ini dekat dengan laut, arah angin biasanya berganti sekitar siang hari. Rasanya hampir seolah angin laut pagi hari sedang berhembus kembali ke arah asalnya.

Menghabiskan waktu sendirian begini, merasakan angin tersebut membelai diriku, rasanya tidak buruk-buruk amat.

"Eh? Hikki, ya?"

Angin yang sama ikut membawa suara yang tak asing ke telingaku. Saat aku menoleh, kulihat Yuigahama sudah berdiri sambil menggenggam roknya supaya tak tertiup angin.

"sedang apa di sini?"

"Aku biasa makan di sini."

"Eh, yang benar? Kenapa di sini? Bukannya lebih nyaman kalau makan di kelas?"

"..."

Yuigahama tampak benar-benar bingung, tapi aku hanya menanggapinya dengan diam. Kalau memang lebih nyaman di kelas, tak mungkin aku sampai makan di luar begini... dasar, kenapa ia tak peka begitu?

Kita ganti saja topiknya.

"Lebih penting lagi, kenapa kau ada di sini?"

"Oh, iya! Sebenarnya aku kalah main suten sama Yukinon, jadi... bisa dibilang ini hukumannya."

"jadi hukumannya bicara denganku...?"

Memilukan sekali... rasanya ingin mati saja.

"Bu-bukan, bukan! Yang kalah harus membeli jus! Cuma itu!"

Yuigahama buru-buru mengibaskan tangannya, berusaha menyangkal anggapanku. Baguslah; padahal aku sempat ingin bunuh diri tadi...

Yuigahama mengelus dadanya karena lega, kemudian mendudukkan dirinya di sebelahku.

"Awalnya Yukinon enggak mau. Aku bisa beli makan sendiri. Lagi pula, apa untungnya bagiku memenangkan permainan tak penting ini? Begitu katanya."

Untuk alasan tertentu, Yuigahama tampak berusaha meniru Yukinoshita. Sayangnya ia gagal.

"Yah, ia memang seperti itu."

"Betul, terus aku bilang, Jadi kau merasa kalau enggak bisa menang, ya? Habis itu ia setuju mau ikut."

"...yah, ia memang seperti itu."

Perempuan itu biasanya terlihat begitu kalem, namun beda cerita jika ada yang menantangnya, soalnya ia benci sekali kalah. Ia langsung setuju mengikutinya sama seperti waktu Bu Hiratsuka menantangnya dulu.

"Terus, waktu Yukinon menang, ia sedikit mengepalkan tangannya, lo... lucu banget, deh..."

Yuigahama lalu menghela napas senang.

"Kurasa ini pertama kalinya aku merasa begitu senang saat mengikuti permainan hukuman."

"Jadi kau sudah sering memainkannya?"

Saat aku menanyakan itu, Yuigahama mengangguk.

"Ya, sering beberapa kali..."

Mendengarkannya tiba-tiba membuatku teringat sesuatu. Di penghujung istirahat makan siang, selalu saja ada pojok ruangan konyol yang meributkan permainan suten...

"Cih, rupanya itu sudah jadi klub yang agak eksklusif bagimu."

"Kok reaksimu jelek begitu? Kau enggak suka, ya?"

"Ya jelas, lah. Aku benci orang-orang yang membuat kumpulannya sendiri lalu bercanda dengan sesamanya... ah, tapi aku suka perselisihan internal. Karena aku tak terlibat di dalamnya!"

"Alasanmu enggak hanya suram, tapi terdengar sangat rendahan!"

"Berisik. Pergi saja sana..."

Yuigahama lalu tersenyum sambil memegangi rambutnya, menjaganya agar tak tertiup angin. Ekspresi tadi tampak berbeda dengan yang biasanya ia perlihatkan sewaktu bersama Miura dan kawan-kawannya di kelas...

Ahh, begitu. Kalau tidak salah, ia tak mengenakan riasan yang berlebihan. Wajahnya jadi terlihat lebih alami. Mungkin perubahan tersebut baru saja ia lakukan, meski begitu, bukan berarti aku jadi punya kebiasaan memandangi wajah perempuan... ah, terserahlah.

Tapi itu adalah bukti kalau ia telah berubah, walaupun itu hanya sedikit.

Mungkin itu dikarenakan riasan yang tak berlebihan di wajahnya, tetapi... saat Yuigahama tersenyum, mata sayu dan wajah belianya itu jadi tampak semakin muda.

"Tapi masa, sih? Kupikir Hikki juga sudah terbiasa membuat kumpulan sendiri. Soalnya waktu di ruang klub, kau selalu tampak senang jika mengobrol dengan Yukinon. A-aku pun selalu merasa kalau aku enggak bakal bisa bergabung di perbincangan kalian..."

Sewaktu mengatakannya, Yuigahama merangkul kedua lututnya dan membenamkan wajahnya di sana. Ia lalu melirik ke arahku.

"Yah, mungkin karena aku ingin ikut bergabung juga... ta-tapi bukan dalam artian yang aneh-aneh lo, ya! Mak-maksudku, perbincangan yang juga melibatkan Yukinon! Mengerti, 'kan?!"

"Jangan khawatir... aku bukan orang yang gampang salah paham kalau berurusan dengan orang sepertimu."

"Maksudmu itu apa?!"

Yuigahama lalu mengangkat kepalanya, tampak kalau ia kesal. "Ah, sabar, sabar, tenang dulu!" Kutahan dirinya dengan tanganku, kemudian berbicara.

"Yah, Yukinoshita itu lain cerita. Soalnya ia tak terelakkan."

"Maksudnya?"

"Hmm? Begini, tak terelakkan itu mengacu pada suatu wujud atau keadaan yang mustahil ditentang oleh kemampuan manusia. Maaf kalau aku memakai kata-kata sulit."

"Bukan! Aku sudah tahu artinya! Kau itu yang terlalu meremehkanku! Asal tahu saja, ya, aku mengikuti ujian penerimaan dan berhasil masuk ke SMA Soubu, sama sepertimu!"

Yuigahama lalu melayangkan chop-nya tepat ke tenggorokanku. Sempurna mengenai jakunku, hingga membuatku terbatuk. Kemudian Yuigahama menatapku sambil menjauh dan bertanya dengan nada serius.

"...hei, bicara soal ujian penerimaan... kau masih ingat hari pertamamu masuk SMA, enggak?"

"Uhuk uhuk uhuk! Eh...? Ah, aku tak begitu ingat, soalnya hari itu aku kecelakaan."

"Kecelakaan..."

"Iya. Saat hari pertamaku masuk SMA, aku berangkat sambil bersepeda, tahu-tahu ada anjing milik orang bodoh yang lepas berkeliaran. Anjing itu hampir mau dilindas mobil, jadi aku mengorbankan diri melindunginya... tentu saja, aksiku saat itu sangat keren dan heroik."

Mungkin ada yang sudah kulebih-lebihkan pada cerita itu, tapi tak mungkin juga ada orang lain yang tahu... sekalipun ada yang tahu, paling-paling juga tak ada yang mau membahasnya. Karena itu, di situasi begini ada baiknya bagiku untuk terlihat sedikit lebih keren.

Sewaktu ia mendengarnya, wajah Yuigahama menegang.

"Mi-milik orang bodoh, ya... jadi Hikki sama sekali enggak ingat wajahnya?"

"Karena saat itu aku kesakitan, makanya aku tak begitu ingat. Yah, yang jelas tak ada kesan yang begitu membekas di ingatanku, jadi kurasa ia orang yang biasa-biasa saja."

"[Biasa-biasa saja... ya-yah, waktu itu aku memang tak memakai riasan, sih... rambutku juga belum diwarnai, dan saat itu aku lagi memakai piyama sekenanya... oh, di piyama itu juga ada gambar beruang kecil, jadi aku mungkin agak kelihatan seperti orang bodoh waktu itu...]"

Suara Yuigahama begitu pelan sampai-sampai tak bisa kudengar — yang kulihat hanya gerak bibirnya yang menggumamkan sesuatu sambil menatap ke lantai. Apa perutnya itu sedang mual?

"Ada apa?"

"Enggak... enggak apa-apa, kok... benaran! Jadi Hikki memang enggak ingat sama perempuan itu, ya?!"

"Begitulah, seperti yang tadi kubilang, aku memang tidak ingat... eh, tunggu. Memangnya tadi aku ada bilang kalau itu perempuan?"

"Eh?! I-iya, tadi kau bilang begitu, kok! Benaran! Soalnya, dari tadi yang kaubahas, ...perempuan ini, perempuan itu, perempuan ini, perempuan itu!!"

"Memangnya aku semenjijikkan itu, ya...?"

Saat mengatakannya, Yuigahama hanya tertawa keras dan terdengar hampa, lalu dengan senyum yang masih tertinggal di wajahnya itu, ia memalingkan muka ke arah lapangan tenis. Spontan, aku pun ikut memalingkan muka.

Kurasa saat itu waktunya para anggota klub Tenis Putri untuk menghentikan latihan mereka; mereka menyeka keringatnya lalu kembali ke kelas.

"Hei! Sai~~!"

Yuigahama memanggil sambil melambaikan tangan. Tampaknya ia sedang menegur seseorang yang dikenalnya.

Perempuan itu melihat Yuigahama lalu berlari kecil menghampiri kami.




"Wah, lagi latihan, ya?"

"Iya. Saat ini tim kami benar-benar lemah, karena itu kami harus berlatih saat istirahat makan siang... kami sudah berulang kali meminta izin dari pihak sekolah supaya bisa menggunakan lapangan ketika istirahat, untunglah mereka akhirnya memperbolehkannya. Oh, iya. Yuigahama dan Hikigaya sedang apa di sini?"

"Ahh, bukan apa-apa..."

Ujar Yuigahama sambil menoleh ke arahku seolah meminta pembenaran. Yah, aku juga sudah selesai makan, dan urusannya sendiri juga sudah mau selesai, 'kan? Apa kemampuan fokusnya itu memang seperti burung...

"Oh, begitu." Perempuan itu, Sai atau siapalah namanya, tersenyum pada kami.

"Sai, kau enggak hanya bermain tenis saat pelajaran Olahraga, tapi saat istirahat makan siang juga... rasanya pasti berat."

"Iya, tapi aku juga memang mau, kok, jadi tidak masalah... oh, iya, Hikigaya, ternyata kau cukup hebat bermain tenis, ya."

Mengejutkan, ia mengubah arah pembicaraannya kepadaku, makanya aku langsung terdiam. Pertama kalinya aku mendengar yang seperti ini. Lagi pula, siapa sebenarnya anak ini? Kenapa ia bisa tahu namaku?

"Ohh...?" Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padanya, namun sebelum aku sempat, Yuigahama sudah memotong duluan, seolah terkesan.

"Masa, sih?"

"Iya, waktu ia bermain, form-nya benar-benar bagus."

"Ahh, kau membuatku malu, ha ha ha... [anak ini siapa, ya?]"

Kalimat terakhir tadi kuucapkan dengan sedikit berbisik agar hanya Yuigahama saja yang bisa mendengarnya, namun ia justru membuat usahaku jadi tak ada artinya.

"Haaahh?! Kau itu satu kelas dengannya, lo! Bahkan kau sama-sama dengannya di pelajaran Olahraga! Kok bisa enggak tahu, sih?! Keterlaluan banget!"

"Dasar bodoh, tentu saja aku tahu! Tadi aku hanya lupa! ...soalnya laki-laki dan perempuan dipisah saat pelajaran Olahraga!"

Aku sudah berusaha untuk lebih peka, dan ia benar-benar menghancurkan usahaku... kini semua orang di dunia bakal tahu kalau aku tak tahu nama perempuan ini. Dan mungkin kini ia sedang dalam suasana hati yang buruk...

Sewaktu memikirkan itu, aku memandang ke arah Sai dan melihat matanya sudah berkaca-kaca... sial, ini gawat. Kalau diibaratkan anjing, ia mirip seperti chihuahua, dan ibarat kucing, ia mirip seperti munchkin... tampangnya sendu sekali dan itu menggemaskan.

"A-ahaha. Kurasa kau memang tak ingat namaku... aku Saika Totsuka. Kita berdua sekelas."

"A-ah, maaf kalau begitu. Soalnya kita baru saja naik kelas dua, jadi aku agak sulit mengenali murid lain... haha."

"Kita juga sekelas waktu kelas satu, kok... ehehe, mungkin keberadaanku tak begitu mencolok..."

"Bukan, bukan begitu... oh, aku mengerti! Itu karena aku jarang sekali bergaul dengan perempuan di kelas kita! Asal tahu saja, aku pun masih tak tahu nama lengkap perempuan yang ada di sebelahku ini!"

"Sudah, ingat-ingat saja sana!"

Yuigahama lalu memukul kepalaku, tapi itu malah membuat Totsuka bergumam sambil menyeringai.

"Kau pasti sudah berteman baik dengan Yuigahama..."

"E-ehh?! Sa-sama sekali enggak, kok! Yang ada, aku malah ingin membunuh anak ini! Kubunuh Hikki terlebih dahulu lalu gantian aku yang menyusul... ya, semacam itulah!"

"Ya, begitulah! ...omong-omong, yang tadi itu mengerikan! Kau benar-benar mengerikan! Memangnya kita pasangan bunuh diri, apa?! Amit-amit, deh!"

"Hah?! Ka-kau ini benaran bodoh, ya?! Bukan seperti itu maksudku!"

"Kalian berdua benar-benar akrab, ya..."

Kata Totsuka dengan nada memelas, yang kali ini memandang ke arahku.

"Omong-omong, aku ini laki-laki... apa menurutmu aku kelihatan selemah itu?"

"Eh?"

Pikiran dan tubuhku seketika itu juga terhenti. Aku segera menoleh ke arah Yuigahama. Itu bohong, 'kan? Tatap mataku menanyakan itu. Namun Yuigahama, yang masih kesal dan tampak merah pipinya itu, hanya memberi anggukan tegas kepadaku.

Tunggu... serius, nih? Mustahil. Itu pasti cuma lelucon.

Totsuka melihat tatapan penuh keraguanku dan wajahnya mulai memerah. Ia menundukkan kepalanya, lalu menatapku sambil menengadah.

Tangan Totsuka perlahan bergerak turun ke celana pendeknya. Pergerakan kecil itu sudah cukup untuk memikatku.

"...kalau kau mau, aku bisa menunjukkan buktinya."

Aku merasa sesuatu di dalam hatiku ini tersentak.

Iblis kecil Hachiman lalu muncul di bahu kananku. "Wuoh, mantap, lanjutkan saja, terus lihat baik-baik — siapa tahu kau beruntung, ya 'kan?" Yah, ada benarnya juga, sih... lagi pula, ini kesempatan yang sangat langka. "Tunggu sebentar!" Ahh, kali ini malaikat Hachiman yang muncul. "Selagi sempat, kenapa tak kauminta ia melepas bajunya dulu?" Apa-apaan itu... malaikat hina macam apa yang bisa bicara seperti itu?

Akhirnya, aku memilih untuk mendengarkan akal sehatku sendiri.

Benar, dengan karakter androgini semacam ini, seluruh daya tarik yang bersemayam dalam jenis kelamin mereka terasa begitu ambigu! Dan pada kesimpulan logis ini, aku pun mampu menenangkan diri dan melanjutkan dengan kepala dingin.

"Pokoknya... aku minta maaf. Aku sama sekali tidak tahu, biarpun begitu, aku sungguh minta maaf jika sudah membuatmu tak nyaman."

Saat Totsuka mendengarnya, ia lalu mengusap air mata yang sudah bermuara di matanya itu dan tersenyum padaku.

"Ah, tidak apa-apa."

"Tapi, Totsuka... aku terkejut kau bisa tahu namaku."

"Eh, ahh... yah, soalnya Hikigaya tampak mencolok kalau di kelas."

Setelah Totsuka mengatakannya, Yuigahama lalu memandang ke araku.

"Maaasa? Tapi tampangnya biasa-biasa saja... bahkan butuh usaha lebih supaya bisa menyadari keberadaan anak ini."

"Dasar bodoh, tentu saja aku mencolok! Sama mencoloknya seperti bintang-bintang yang bersinar di malam hari!"

"Kok bisa?"

Wah, ia kini menanggapiku tanpa melepas pandangannya padaku.

"...ya-yah, ketika seseorang duduk di pojok ruang kelas lalu berbicara sendiri, bukankah itu akan membuatnya sedikit mencolok...?"

"Ah, jadi itu maksudnya menco—... ahh, eng... maaf sudah bertanya..."

Yuigahama lalu mengalihkan pandangannya dariku. Sikap yang seperti itu yang bisa membuatku jadi murung...

Suasana pun kembali menengang, karena itu Totsuka memilih untuk mengalihkannya.

"Tapi Hikigaya memang hebat bermain tenis, kok. Kau sudah sering memainkannya, ya?"

"Yah, aku pernah beberapa kali memainkan game Mario Tennis waktu SD dulu, tapi untuk tenis yang asli, aku belum pernah."

"Oh, yang dimainkan bareng-bareng itu, 'kan? Aku juga pernah main, lo. Bermain ganda menyenangkan banget, deh~~"

"...aku hanya bermain seorang diri."

"Eh? ...ah. Eng... maaf."

"Apa-apaan itu, memangnya kau itu penyapu ranjau pikiran, apa? Apa kerjamu itu cuma menggali kepingan-kepingan trauma yang kupunya saja, hah?"

"Hikki sendiri yang terlalu banyak menyimpan ranjau!"

Totsuka yang berdiri di samping kami, tampak begitu senang menyaksikan perdebatanku dengan Yuigahama.

Dan begitulah, bel yang menandakan berakhirnya istirahat makan siang pun berbunyi.

"Ayo balik."

Ucap Totsuka, dan Yuigahama pun mengikuti di belakangnya.

Kupandangi mereka dari belakang dan tiba-tiba aku merasa sedikit aneh.

Oh, iya... mereka itu satu kelas, wajar saja kalau pergi bareng... tanpa sadar aku jadi terikut mereka.

"Lo, Hikki? Kau sedang apa?"

Yuigahama menoleh ke arahku sambil kebingungan. Totsuka pun menghentikan langkahnya lalu menghadap ke arahku.

Bukan hal aneh kalau aku pergi bareng mereka, 'kan? Hampir saja kutanyakan hal itu, namun kuhentikan.

Yang ada, aku malah bertanya.

"Terus, bagaimana dengan jus yang mau kaubeli tadi?"

"Eh? ...ahhh!!"



11 tanggapan:

Unknown mengatakan...

bacaan buat menu sahur nanti.... terima kasih Saikanya.
#hngggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggg

Anonim mengatakan...

arigato gan ..
gan numpang nanya LN yg laen selain oregairu gk dilanjutin knp gan ? tq

Unknown mengatakan...

Wah wah udah Update
thanks gan....!
Di Novel-nya Emang lebih lengkap ya..
sayang anime-nya 6 jilid cuma jadi 12 episode..!!

Cucundoweh mengatakan...

Hiyaaa... Waduh...
#mengendapendapkaburbiargakditagihdosa...
#pelanpelanbukaaegisnyicilsebanyakbanyaknya...

Cucundoweh mengatakan...

Sama-sama gan...
Yah, masih belum ada waktu yang pas sih gan...

Cucundoweh mengatakan...

Terima kasih kembali gan...
Iya gan, itu salah satu alasan ane mau menerjemahkan LN-nya...

Anonim mengatakan...

Loh... si Totsuka mau buka celana, ya? Dan bisa dilihat juga kalau Hikigaya memang busuk.

Ditunggu lanjutannya, gan. Tetap semangat!

Cucundoweh mengatakan...

Iya... Hkhkhk...
Oke gan, terima kasih dukungannya...

Anonim mengatakan...

thanks gan ..
lanjutannya kapan ni ??

Cucundoweh mengatakan...

Sama-sama gan...
Sudah ane lanjut gan...

chemist anthusiast mengatakan...

Andai si totsuka cewek,mungkin hachiman gak ragu nembak si totsuka kalee yaa.hahaha

Posting Komentar

 
;