Oregairu Bab 6 Bagian 2

==========================================================
Nah, kalau yang ini baru pembuka Episode 3...
Fantasista adalah sebutan bagi pemain sepak bola yang bisa melakukan hal-hal yang sulit dibayangkan manusia ketika bermain sepak bola... Kalau yang pernah baca komiknya (dengan judul yang sama) pasti mengerti... Begitu pula dengan QED (Quod Erat Demonstrandum) yang artinya "sudah terbukti", dan kalau yang pernah baca komiknya pasti juga sudah mengerti...
Yang terakhir, sampai di bagian ini, Saika Totsuka belum aja muncul... Trap-lover bersabar dulu, ya...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 6 - Akan Tetapi, Saika Totsuka Mau Saja Menurut

Bagian 2


Berganti bulan berarti ikut berganti pula kegiatan dalam pelajaran Olahraga.

Di sekolahku, pelajaran Olahraga dilaksanakan serempak oleh tiga kelas berbeda, dan enam puluh anak lelaki yang ada di kelompok tersebut dipisah ke dalam dua kegiatan.

Hingga bulan kemarin, kami harus memilih antara bola voli ataupun lari. Dan untuk sekarang, pilihannya adalah tenis atau sepak bola.

Baik aku maupun Zaimokuza adalah seorang fantasista di lapangan hijau, tetapi kami berdua lebih memfokuskan diri pada skill individu masing-masing. Maka dari itu, kami beranggapan bahwa akan merugikan bagi tim andai kami bergabung di dalamnya, sehingga kami pun memilih tenis. Tentunya... aku adalah orang yang sudah gantung sepatu dalam dunia sepak bola karena cedera lama yang menghinggapi kaki kiriku ini. Dan itu bukan cedera yang kualami saat bermain sepak bola...

Akan tetapi, tampaknya tahun ini banyak sekali anak yang ingin bermain tenis. Lalu setelah melewati pertarungan suten yang heroik, akhirnya aku pun bertahan dalam grup tenis sedangkan Zaimokuza terpaksa masuk ke grup sepak bola.

"Hemh, Hachiman... sungguh disayangkan karena aku tak bisa memperlihatkan bola melengkung ajaibku di sini. Tanpa dirimu... siapa gerangan orang yang bisa kuajak berpasangan dalam latihan mengumpan...?"

Ucapan tersebut meninggalkan kesan mendalam bagiku. Zaimokuza yang biasanya tampil percaya diri kini terlihat begitu putus asa.

Siapa gerangan orang yang bisa kuajak berpasangan...? Pertanyaan itu sebenarnya juga berlaku untukku.

Lalu kegiatan tenis pun dimulai.

Kulakukan peregangan secara serampangan kemudian mendengarkan arahan mengenai tenis dari Pak Atsugi selaku guru Olahraga.

"Baik, sekarang ayo kita praktikkan. Buat pasangan, lalu tiap anak tempati masing-masing sisi lapangan."

Setelah Pak Atsugi berkata demikian, semua anak menyebar ke dalam kelompok kecil lalu pergi ke masing-masing sisi lapangan.

Bagaimana bisa mereka secepat itu berpasangan? Mereka bahkan tak melihat sekitarnya dulu! Apa mungkin mereka juga ahli dalam umpan tanpa melihat?

Radar penyendiriku yang sensitif mulai aktif, mendeteksi tingginya tingkat peluang ditelantarkan.

Aku tidak takut. Aku sudah mengembangkan trik khusus untuk saat-saat seperti ini.

"Eng... saya sedang tak enak badan, Pak. Jadi boleh saya berlatih sendiri dengan tembok? Soalnya saya tak mau merepotkan yang lain."

Ujarku demikian, dan tanpa menunggu tanggapan Pak Atsugi, aku segera menuju ke arah tembok dan mulai mengayunkan raket. Mungkin Pak Atsugi sadar kalau beliau sudah melewatkan kesempatan untuk menanggapiku, karena itu beliau sama sekali tak mempersoalkannya.

Trik tersebut benar-benar ampuh...

Pernyataan, Tak enak badan serta Tak mau merepotkan yang lain, punya efek sinergi yang besar. Dan dengan memakai kalimat itu aku juga bisa bersikap santai seolah aku memang punya motivati untuk berusaha keras.

Begitulah. Ini tindakan pencegahan yang kukembangkan setelah melalui begitu banyak pelajaran Olahraga sewaktu disuruh berpasangan dengan siapa saja sesukanya. Mungkin kapan-kapan aku akan mengajari ini ke Zaimokuza... aku yakin anak itu akan senang dan menangis bahagia.

Kukejar bolanya dan kupukul kembali ke arah tembok, gerakan tersebut kulakukan berulang-ulang. Waktu berlalu seiring kulanjutkan kegiatan monoton itu.

Lalu kudengar sorakan riuh dari sekitarku sewaktu para anak lelaki lain sedang memainkan tenis yang tampak heboh itu.

"Uryoaah! Wuoh?! Itu pukulan yang hebat, 'kan?! Luar biasa, 'kan?!"

"Iya, hebat! Enggak ada yang bisa memukul kayak begitu! Keren!"

Sorakan tersebut jelas menandakan bahwa mereka sedang bersenang-senang selama sesi latihan bebas.

Berisik, mati saja sana... Pikirku sewaktu aku menoleh dan melihat Hayama.

Pasangan main Hayama
atau tepatnya, mereka yang sering terlihat berempat terdiri dari dirinya sendiri, si rambut pirang yang begitu akrab dengannya di kelas, beserta dua anak lainnya yang tak begitu kukenal. Mungkin mereka dari kelas 3-C atau kelas 3-I atau kelas lainnya... pokoknya, bisa dibilang mereka memancarkan aura heboh selama bermain tenis.

"Wuaah!" Si rambut pirang itu tak bisa mengembalikan pukulan Hayama dan berteriak. Perhatian seluruh anak pun tertuju ke arahnya, penasaran tentang yang sedang terjadi.

"Hayama, yang tadi itu benar-benar hebat! Bolanya tadi melengkung, 'kan? Benaran melengkung, 'kan?!"

"Ah, kurasa tadi aku tak sengaja memilin bolanya... maaf, itu salahku."

Hayama mengangkat tangannya untuk meminta maaf, namun kata-katanya justru tenggelam oleh sikap berlebihan si rambut pirang setelahnya.

"Gila?! Kau bisa memukul bola dengan teknik melengkung begitu?! Hayama memang hebat! Benar-benar hebat!"

"Hahaha... masa, sih?"

Hayama segera masuk ke dalam pembicaraan kemudian tertawa riang. Di saat yang sama, pasangan di sebelahnya juga ikut berkomentar.

"Hayama juga hebat bermain tenis, ya? Bola yang melengkung tadi... bisa ajari aku caranya, enggak?"

Anak yang bicara lalu mulai berjalan mendekati Hayama tadi punya rambut yang dicat cokelat, dan anehnya ia terlihat cukup kalem. Kami mungkin satu kelas. Aku juga tak tahu namanya, jadi itu tak begitu penting.

Dalam sekejap, kuartet Hayama tadi berubah menjadi sekstet. Saat ini mereka adalah geng penguasa terbesar di pelajaran Olahraga... omong-omong, sekstet kok malah terdengar seperti sexaroid, ya? Ya, ya, ya... memang terdengar mesum, sih...

Pokoknya, itulah alasan kenapa pelajaran tenis berubah menjadi Kerajaan Hayama. Rasanya seolah kita tak boleh mengikuti pelajaran jika bukan bagian dari kelompok mereka. Tentu saja, semua anak di luar kelompok Hayama jadi diam tak bersuara. Selamat tinggal, kebebasan berbicara...

Kegaduhan yang dibuat oleh kelompok Hayama memberi kesan begitu kuat, padahal Hayama sendiri tak begitu gaduh
orang-orang di sekitarnya yang justru bikin gaduh. Lebih tepatnya, si rambut pirang, yang secara sukarela menjadi kepala pelayan dari Kerajaan Hayama itulah yang paling gaduh.

"Melengkung!"

Ya, 'kan? Anak itu benar-benar gaduh.

Padahal bola yang dipukul si rambut pirang itu tak melengkung sama sekali, justru melayang jauh dari Hayama dan mengarah ke pojok lapangan yang gelap dan lembab. Dengan kata lain, bola itu melayang ke arahku.

"Ah, maaf, maaf! E-eng... hei, Hikitani, ya? Hikitani, bolanya lempar ke sini, dong."

Siapa itu Hikitani?

Tapi aku tak ingin membenarkan ucapannya, jadi kuambil saja bola yang menggelinding ke arahku itu kemudian kulemparkan padanya.

"Terima kasih, ya!"

Hayama tersenyum dan melambaikan tangannya padaku.

Aku menanggapinya dengan sedikit mengangguk.

...buat apa aku mengangguk?

Sepertinya naluriku menganggap bahwa Hayama berada lebih tinggi di atasku... bahkan dengan standarku ini, aku jadi benar-benar tunduk. Begitu tunduknya sampai-sampai membuatku berpikir bahwa aku sudah dipercundangi oleh seseorang...

Kukumpulkan semua perasaan suram ini dan kulampiaskan semuanya pada tembok.

Tembok adalah rekan terpenting dalam masa muda.

...bicara soal itu, aku masih penasaran kenapa istilah tembok berlapis sering ditujukan untuk payudara kecil?

Terdapat satu teori, yakni tembok berlapis tersebut adalah siluman tanuki, dan tembok itu sendiri adalah tanuki yang sedang membentangkan alat kelaminnya. Memangnya tembok macam apa itu? Hal yang barusan itu sebenarnya justru terdengar seperti benda empuk... jadi dengan kata lain, dan cukup paradoks, ketika kita mengejek seorang perempuan yang berpayudara kecil dengan sebutan tembok berlapis, maka secara tak langsung kita berkata kalau payudaranya itu cukup empuk. QED, jelas terlihat. Bodoh.

Biarpun begitu, aku yakin Hayama tak pernah berpikir demikian. Teori di luar nalar tadi hanya bisa diciptakan oleh rasa sakit hatiku yang tak biasa ini.

Baiklah, anggap saja kami seri hari ini... yak, rasanya juga memang begitu.



9 tanggapan:

Anonim mengatakan...

pertamaxx ..
arigato gan lanjutkan truzz ...

Cucundoweh mengatakan...

Wuoh... Cepatnya...
Terima kasih kembali gan...

Unknown mengatakan...

Thanks gan
lanjutannya pekan depan kan?

Anonim mengatakan...

ohh, , mantep nihh lanjutkan gan,

~AGG~

Unknown mengatakan...

Terus semangat gan !! Makasih bgt udah update lagi :')

Cucundoweh mengatakan...

Sama-sama gan...
Iya, kalau gak ada halangan, paling cepat akhir pekan ini gan...

Cucundoweh mengatakan...

Siaaap...

Cucundoweh mengatakan...

Terima kasih kembali dukungannya gan...

chemist anthusiast mengatakan...

Hahaha,ngakak gue.lucu amat.semangat admiin

Posting Komentar

 
;