Oregairu Bab 4 Bagian 2

==========================================================
Semua penggemar Yui, segera merapat...! (ane ikutan)
Penutup bab memang berkesan kok... Di bagian ini ya dialognya, komedinya, monolognya, terasa pas banget...
Ane pakai tanda baca "[ ]" supaya membedakan suara percakapan yang teredam, sama perlakuannya dengan pembicaraan yang terdengar di telepon...
Dan Ojamajo merujuk pada serial anime mahou-shojo lawas... Ini referensinya...
Efye-i, akun fb ane keblokir, jadi ane gak bisa update lewat fanpage, kalau ada yang bertanya di fanpage soal update, ane minta tolong bantu wakilkan ane jawab ya... Terima kasih sebelumnya...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 4 - Meski Begitu, Kelas Berjalan Seperti Biasanya

Bagian 2


Ketika kutinggalkan ruang kelas, kulihat ada Yukinoshita di luar. Ia telah bersadar di tembok dekat pintu, melipat tangannya, dan memejamkan matanya. Mungkin dikarenakan aura teramat dingin yang dipancarkannya, hingga tak ada seorang pun berada di sekitarnya. Rasanya sunyi sekali.

Karenanya, aku dapat mendengar pembicaraan yang tengah berlangsung di ruang kelas.

[... eng, maaf. Kau tahu, aku jadi gelisah sewaktu enggak bisa akrab dengan orang lain .... Yah, anggap saja kalau aku selalu merasa was-was .... Mungkin kau jadi jengkel karena hal itu.]

[...]

[Eng ..., bagaimana bilangnya, ya? Aku memang selalu begitu. Bahkan dulu sewaktu aku dan teman-temanku bermain pura-pura jadi Ojamajo, aku ingin dapat peran Doremi atau Onpu, tapi anak lain juga menginginkannya, ujung-ujungnya aku malah dapat peran Hazuki .... Mungkin karena aku dibesarkan di komplek apartemen yang dipenuhi banyak penghuni, jadinya kupikir itulah sikap yang paling tepat ....]

[Aku enggak paham kau bicara apa.]

[Ya-yah, begitulah, haha. Aku juga enggak begitu paham sedang bicara apa .... Hanya saja, ketika melihat Hikki dan Yukinon, aku jadi menyadari sesuatu. Enggak ada seorang pun yang dekat dengan mereka, tapi mereka masih bisa bersenang-senang .... Mereka mengutarakan pemikiran masing-masing, dan anehnya, meski sering berselisih paham, mereka tampak cocok.]

Sesekali bisa kudengar suara mirip isakan dari dalam kelas. Setiap kali itu terdengar, bisa kulihat bahu Yukinoshita tersentak. Ia buka sedikit kelopak matanya dan berusaha mengetahui keadaan kelas hanya dengan melihat saja. Sungguh konyol, apanya yang bisa dilihat kalau dari sana? Jika ia memang cemas, ya masuk saja ke dalam. Perempuan ini sungguh tak jujur akan perasaannya sendiri, dasar ....

[Setelah melihat itu, aku mulai berpikir kalau usahaku untuk selalu berusaha akrab dengan semua orang itu ternyata salah .... Maksudku, Hikki tetaplah seorang Hikki. Sewaktu istirahat ia habiskan waktunya untuk membaca sambil terkikih-kikih .... Memang menjijikkan sih, tapi ia terlihat menikmatinya.]

Menjijikkan, katanya .... Dan sewaktu Yukinoshita mendengarnya, ia langsung cekikikan.

"Kupikir hanya di ruang klub saja kau berkelakuan aneh begitu, tapi rupanya di ruang kelasmu pun kau tetap sama. Sungguh perilaku yang menjijikkan, sebaiknya kauhentikan itu."

"Kalau memang merasa, ya bilang-bilang, dong ...."

"Mana mungkin aku mau. Siapa pula yang sudi menegurmu saat bersikap semenjijikkan itu?"

Kucoba untuk lebih berhati-hati mulai dari sekarang. Aku takkan membaca light novel bersama sang dewi iblis lagi di sekolah.

[Jadi kupikir, mungkin aku enggak mesti berusaha terlalu keras dan harusnya lebih santai menyikapi hal itu .... Yah, atau semacamnya, lah. Bukan berarti aku membencimu, Yumiko. Setelah ini ... kita masih bisa ... akrab lagi, 'kan?]

[... hmm. Ya, sudah. Terserah saja. Aku juga enggak masalah.]

Kudengar suara Miura menutup ponsel-nya.

[... sekali lagi maaf. Terima kasih.]

Dengan berakhirnya hal itu, pembicaraan di dalam ruang kelas lalu terhenti, dan kudengar suara ketukan sepatu Yuigahama yang berjalan mendekati kami. Seakan itu sebuah sinyal, Yukinoshita pun berhenti bersandar dan menegakkan badannya.

"... apa kubilang. Kau mampu melakukannya, 'kan?"

Untuk sesaat, aku sempat terkejut oleh sekilas senyuman yang tersungging di wajah Yukinoshita.

Itu memang sebuah senyuman, tulus dan sederhana, tanpa menyiratkan ejekan, sarkasme ataupun penyesalan.

Meski begitu, senyuman itu segera sirna, dan ekspresi Yukinoshita kembali seperti sedia kala, ekspresi yang dingin. Sewaktu kupandangi senyumannya, Yukinoshita pun segera berjalan dan beranjak ke sisi lain ujung lorong, tanpa memerhatikanku sama sekali. Mungkin ia hendak menuju ke tempat yang ia janjikan bersama Yuigahama.

... baiklah, apa yang harus kulakukan di sini? Aku mulai berjalan menjauh, tapi di saat bersamaan, pintu ruang kelas pun terbuka.

"Eh? Ko-kok Hikki bisa ada di sini?"

Tubuhku jadi benar-benar membeku, tapi aku masih bisa mengangkat tangan kananku sambil memberinya salam dengan harapan supaya bisa kabur dari situasi ini. Saat menatap Yuigahama, kulihat semakin lama wajahnya semakin memerah.

"Kau mendengarnya, ya?"

"De-dengar apa, ya ...?"

"Kau tadi mendengarnya, 'kan? Kau tadi menguping, 'kan?! Menjijikkan! Penguntit! Maniak! Eng, eng ..., sangat menjijikkan! Enggak kusangka! Benar-benar menjijikkan. Kau memang ... sangat menjijikkan."

"Tunggu sebentar! Biar kujelaskan!"

Soalnya, aku yang begini pun bisa merasa sedih kalau dihujani cacian sebanyak itu. Dan tak perlu ia tegaskan bagian terakhirnya itu dengan wajah serius. Sial... rasanya kini aku benar-benar terluka.

"Huh ..., sudah telat penjelasannya. Memangnya kaupikir ini salah siapa? Dasar bodoh."

Yuigahama lalu menjulurkan lidahnya yang berwarna sakura itu di depanku, dan ia segera berlari setelah memprovokasiku dengan sikap menggemaskannya itu. Memangnya ia anak SD, apa? Jangan lari-lari di lorong.

"Salah siapa .... Itu salah Yukinoshita, 'kan?"

Aku jadi berbicara sendiri. Aku memang sendirian, jadi itu hal yang wajar.

Saat kuperhatikan jam yang menempel di dinding, kulihat hanya sedikit saja waktu istirahat yang masih tersisa. Jam makan siang yang begitu mendahagakan itu baru saja berakhir. Mungkin aku harus membeli Sportop untuk menghilangkan dahaga ini, baik yang ada di kerongkonganku maupun yang ada di hatiku.

Sewaktu aku menuju ke mesin penjual minuman, tiba-tiba saja sesuatu terlintas di benakku.

Otaku punya komunitasnya sendiri, jadi mereka bukanlah penyendiri.

Dan untuk menjadi seorang riajuu, kita harus selalu peka terhadap jenjang sosial dan pemilahan kekuasaan, karenanya, hal tersebut sangatlah sulit.

Jadi pada akhirnya, akulah satu-satunya yang tetap sendiri. Tak perlulah Bu Hiratsuka mengisolasi diriku, karena sebenarnya, aku pun sudah terisolasi di kelasku sendiri. Maka dari itu, tak ada gunanya pula sampai capek-capek mengisolasiku di Klub Layanan Sosial.

... kesimpulan yang begitu mengecewakan. Kenyataan memang terlalu kejam.

Satu-satunya yang terasa manis dalam hidupku hanyalah rasa dari Sportop ini.


— II —


12 tanggapan:

Anonim mengatakan...

thanks gan ..
tpi singkat banget lagi enak" bca tau" abis T.T

Unknown mengatakan...

"Satu-satunya yang terasa manis dalam hidupku hanyalah rasa dari Sportop ini."
Hahah :v sesuram apa sih hidupnya nih si Hachiman :v

Ridho mengatakan...

Selalu setia menunggu update-an blog ini. Ditungu kelanjutannya ya, bro.

Anonim mengatakan...

Iya, suram...

Cucundoweh mengatakan...

Hkhkhk...
Sama-sama gan...

Cucundoweh mengatakan...

Suramnya... Sampai di tahap, kalau kehidupan nyata adalah sesuatu yang harus dia lawan... (Mungkin... Hkhkhk...)

Cucundoweh mengatakan...

Oke gan... Terima kasih atas dukungannya...

Cucundoweh mengatakan...

Hkhkhk... Kasihan Hachiman...

Unknown mengatakan...

thx bgt gan...

Cucundoweh mengatakan...

Sama-sama gan...

Anonim mengatakan...

Sankyu gan..
ganbare (y)

Cucundoweh mengatakan...

Sip... Sama-sama gan...

Posting Komentar

 
;