Oregairu Bab 3 Bagian 7

==========================================================
Wah, ternyata cukup lama juga gak update... Bab 3 ini memang banyak kosakata memasaknya, sampai bikin ane cari-cari referensi dari buku resep...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 3 - Berulang Kali, Yui Yuigahama Bersikap Gelisah

Bagian 7


Yuigahama menirukan pengerjaan maupun tindakannya, seolah ia setengah berhasil menyalin apa yang Yukinoshita lakukan. Begitulah, karena ia cuma mengulang pembuatan kue keringnya, jadi itu terasa seperti memutar-mutar kata saja. Aku yakin kue kering yang sudah jadi nanti bakal tak enak dimakan. Dan yang kulakukan kini hanyalah memutar-mutar kata yang tak ada juntrungnya.

Biarpun begitu...

"Yuigahama, bukan begitu caranya. Saat kau mengayak tepungnya, cobalah untuk mengayaknya dalam pola lingkaran. Lingkaran, kubilang, lingkaran. Kau paham, tidak? Apa sewaktu SD kau tak diajari tentang lingkaran?"

"Sewaktu mencampur bahan-bahannya, pastikan kau memegang mangkuknya dengan benar. Kau justru memutar-mutar mangkuknya, bahan-bahannya jadi tak tercampur sama sekali. Jangan diaduk, gulung mengikuti campuran bahannya."

"Tidak, tidak, yang kaulakukan itu keliru. Kau tak perlu menambahkannya walau itu untuk menguatkan rasa. Bahan seperti persik kalengan tak perlu ditambahkan sekarang. Lagi pula, bahan tersebut mengandung banyak air, adonannya bisa hancur. Dan itu tak bisa diperbaiki lagi."

Yukinoshita
Sang Yukino Yukinoshita benar-benar pusing dibuatnya. Ia tampak sungguh tertekan.

Ketika Yukinoshita selesai memasukkan adonannya ke dalam oven, ia menarik napas. Sikap galaknya perlahan menghilang, dan setetes keringat mengalir di dahinya.

Saat Yuigahama membuka ovennya, aroma yang sedap menyeruak; ini hampir mirip seperti kue kering yang dibuat Yukinoshita sebelumnya. Akan tetapi...

"Kue keringnya kelihatan beda..." Putus asa, bahu Yuigahama pun terturun.

Setelah mencicipinya, aku bisa bilang kalau kue keringnya jelas berbeda dengan buatan Yukinoshita. Meski begitu, buatan Yuigahama ini masih layak disebut kue kering. Dibandingkan dengan batu arang yang ia buat sebelumnya, ini jauh lebih baik. Jujur, aku tak keberatan memakannya.

"...harus kuajari seperti apa lagi supaya kau bisa paham?" Kebingungan, Yukinoshita pun memiringkan kepalanya seolah sedang berpikir.

Sewaktu menyaksikannya tadi, kusadari sebuah alasan yang jelas: Ia memang payah dalam hal menjelaskan sesuatu.

Kalau boleh jujur, Yukinoshita memang orang yang genius, dan karena hal itu, ia jadi tak mau memahami perasaan orang biasa. Ia hanya tak dapat menerima alasan di balik kegagalan mereka.

Sebagai contoh, penerapan yang tepat untuk sebuah resep mirip seperti sebuah rumus dalam matematika. Orang-orang yang payah dalam matematika pasti tak mengerti cara kerja sebuah rumus hingga bisa menghasilkan sebuah jawaban. Mereka bahkan tak paham kenapa rumus itu perlu untuk digunakan.

Yukinoshita hanya tak bisa mengerti alasan kenapa Yuigahama masih belum bisa paham. Bila aku berkata begitu padanya, itu malah terdengar seolah aku yang menyalahkan dirinya. Padahal bukan. Yukinoshita sudah berusaha semampunya; masalahnya ada pada Yuigahama.

"Kenapa masih belum benar juga? ...padahal aku sudah membuatnya sesuai yang kauajarkan." Yuigahama menundukkan kepalanya, tertegun sembari mengambil kue keringnya.

Jika ada orang yang percaya kalau seseorang yang benar-benar pandai harusnya juga bakal pandai dalam mengajari orang lain, tak peduli betapa bodohnya yang diajari, maka orang tersebut salah. Tak peduli bagaimanapun cara mengajarinya, sekali bodoh tetaplah bodoh, itu sebabnya orang bodoh sulit untuk mengerti. Biar berkali-kali pun diajari, satu pun mungkin tak ada yang menyangkut.

"Hmm... ini beda sekali dengan buatanmu, Yukinoshita." Yuigahama sudah tampak patah semangat, dan Yukinoshita telah membenamkan kepala dalam dekapan tangannya sendiri.

Sewaktu kusaksikan sulitnya keadaan mereka, kukunyah kembali salah satu kue kering tadi. "Hei, eng... aku jadi berpikir, kenapa kalian sampai sebegitunya ingin membuat kue kering yang enak?"

"Apa?" Ekspresi Yuigahama tampak seolah ingin berkata, Bicara apa kau, dasar perjaka? Ekspresi yang begitu melecehkan, hingga membuatku sedikit geram.

"Se-bispak itukah dirimu sampai enggak tahu apa-apa? Kau ini bodoh kali, ya?"

"Sudah kubilang, berhenti memanggilku bispak!"

"Soalnya kau memang enggak mengerti cara pikir anak lelaki."

"Ya jelaslah! Aku kan enggak pernah sekalipun pacaran! Maksudku, teman-temanku banyak yang sudah punya pacar... jadi aku cuma mengikuti apa yang pernah mereka lakukan dulu dan seperti inilah jadinya..." Suara yuigahama perlahan-lahan semakin mengecil, hingga akhirnya tak dapat kudengar lagi.

Kalau bicara itu yang jelas, tahu? Jangan bilang kalau ia mau meniru tingkahku sewaktu aku dicibir guru di kelas.

"Ini tak ada hubungannya dengan tubuh bagian bawah Yuigahama. Jadi apa maksudmu bicara begitu, Hikigaya?"

Tunggu dulu, apa maksudnya dengan tubuh bagian bawah? Padahal, tak pernah lagi kulihat ada poster yang memamerkan hal tersebut di dalam kereta. Berapa sebenarnya umur perempuan ini?

Aku terdiam sejenak untuk memberi kesan dramatis sebelum tertawa terbahak-bahak, seolah aku sudah menguasai keadaan. "Huh. Tampaknya kalian berdua tak pernah tahu bagaimana nikmatnya memakan kue kering buatan sendiri. Kembalilah sepuluh menit lagi. Akan kuhidangkan rasa sesungguhnya dari kue kering buatan sendiri."

"Kau ini mengoceh apa... ini bukan main-main. Aku ini serius, tahu!" Mungkin ia merasa tersinggung atas penolakan kue kering buatannya itu, namun meski ia berkata demikian, ia malah mengajak Yukinoshita untuk keluar dari ruangan dan menuju koridor.

Nah, kalau begitu, sekarang adalah giliranku untuk mengambil langkah di pertandingan ini. Dengan kata lain, kini waktunya membeberkan solusi pamungkas dan jitu untuk masalah ini.

Segera setelah itu, ruang PKK telah terselimuti oleh hawa yang tak mengenakkan.

"Inikah kue buatan sendiri sesungguhnya, yang sempat kausebut tadi? Teksturnya tak merata dan gosong di sana-sini. Kalau yang begini ini..." Tatap Yukinoshita penuh keraguan pada benda yang ada di hadapannya.

Tiba-tiba Yuigahama melongok dari samping. "Yah, padahal tadi kau sudah bicara sehebat itu, tapi ternyata ini enggak ada istimewanya. Bikin ketawa saja! Dimakan saja rasanya kurang layak!" Tiba-tiba saja ia tertawa mengejek... atau boleh kubilang, tawa yang menggelegar. Kurang ajar... awas saja, ya.

"Sebelum komentar, cicipi dulu, dong." Ujarku sambil tersenyum santai dengan ekspresi datar. Dengan senyum itu, aku berlagak seolah persiapanku ini telah sempurna, seolah tak ada yang tahu tentang strategiku ini, seolah aku sudah memastikan kemenanganku ini.

"Yah, kalau kau memang sudah berusaha sekeras itu..." Sambil malu-malu Yuigahama memasukkan kue kering itu ke mulutnya. Tanpa bicara apa-apa, Yukinoshita pun ikut mengambilnya sepotong.

Setelah berakhirnya suara kunyahan dari mereka, kesunyian pun segera meliputi ruangan ini. Tak diragukan lagi, inilah yang disebut ketenangan sebelum badai.

"E-eh, ini!" Mata Yuigahama terbelalak. Sambil mengingat-ingat kembali dengan indera pengecapnya, ia seakan sedang mencari kata-kata yang tepat untuk mengekspresikan tanggapannya. "Ini memang enggak ada istimewanya, maksudku, ada yang begitu keras di beberapa bagian! Jujur, ini enggak begitu enak!" Emosi Yuigahama berubah 360 derajat dari terkejut menjadi menggebu-gebu. Aku tak begitu yakin kalau rasa kue tersebut sampai bisa mengubah emosinya, meski begitu, tatapan Yuigahama sedang tertuju ke arahku.

Yukinoshita tak berkata apa-apa; yang ada, ia justru melihatku dengan curiga. Entah kenapa, sepertinya ia menyadari sesuatu.

Seusai memerhatikan ekspresi mereka masing-masing, perlahan kutundukkan pandanganku.

"Begitu, ya. Jadi, kue keringnya enggak enak... padahal sudah susah payah membuatnya."

"
ah... maaf." Yuigahama jadi salah tingkah, lalu menundukkan pandangannya di hadapan diriku yang sedang termenung.

"Lebih baik kue keringnya kubuang saja." Kataku sambil menyambar piring yang berisi kue kering tersebut dari dirinya, kemudian berbalik dan pergi menjauh.

"Tu-tunggu sebentar."

"...mau apa lagi?"

Yuigahama lalu memegang tanganku ini untuk mencegahku pergi. Tanpa membiarkanku beranjak, ia mengambil sepotong kue kering tersebut dan segera memakannya. Wajahnya berubah muram, dan ia pun menggertakkan giginya.

"Kau enggak perlu membuangnya. Rasanya enggak buruk-buruk amat, kok... dan rasanya enggak semenjijikkan seperti yang kubuat sebelumnya."

"...oh. Jadi kau sudah cukup puas dengan kue kering ini?" Kusunggingkan sebuah senyuman, dan Yuigahama menganggukkan kepalanya tanpa bersuara, lalu memalingkan pandangannya. Diikuti sinar senja yang memancar dari jendela, bisa kulihat kalau wajahnya kini sedang tersipu.

"Sejujurnya, ini adalah kue kering yang kaubuat sebelumnya, Yuigahama." Ucapku jujur dengan santai, tanpa terbata-bata. Aku tak pernah bilang kalau aku yang membuatnya, jadi aku tak berbohong.

"...hah?" Matanya terbelalak dan mulutnya menganga. Bisa dibilang, ia memang orang yang plinplan. "A-apa?" Mata Yuigahama berkedip-kedip. Yukinoshita dan aku saling bertukar pandang. Rupanya Yuigahama sama sekali tak mengerti apa yang sedang terjadi.


3 tanggapan:

Posting Komentar

 
;