Oregairu Bab 3 Bagian 6

==========================================================
Yukino oh Yukino... Pedas amat kata-katamu... Ane senang banget sama Bagian ini, terutama saat wejangan-wejangannya Yukino terlontar... Betewe, pâtissier adalah chef yang ahli dalam membuat hidangan berupa kue...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 3 - Berulang Kali, Yui Yuigahama Bersikap Gelisah

Bagian 6


Kami pun selesai mencicipi kue kering buatan Yuigahama. Jika ini di dalam manga, riwayat kami pasti bakal tamat, kami akan jatuh sakit lalu tak sadarkan diri setelah memakannya. Kalau boleh bilang, saking buruknya benda tersebut, sampai-sampai kita akan merasa senang andai cuma jatuh pingsan saja. Kalau aku, lebih baik memilih jatuh sakit daripada harus memakannya lagi.

Lalu sebuah pikiran terlintas di benakku. Apa ia memasukkan jeroan sebagai bahan di kue keringnya ini, ya? Tapi kurasa takkan sampai seburuk itu, setidaknya itu tak langsung membunuh kami semua. Namun, jika dipikir lebih dalam lagi, bukan hal mustahil kalau itu lambat laun akan memicu sel-sel kanker.

"Ih... sudah pahit, menjijikkan pula..." Ujar Yuigahama sambil mengunyah kue keringnya dengan air mata yang berlinang. Yukinoshita langsung menyodorkan cangkir teh padanya.

"Akan lebih baik jika itu disterilkan dulu dan sebisa mungkin jangan mengunyahnya. Berhati-hatilah untuk tidak membiarkan lidahmu tersentuh olehnya. Kue kering itu memang seperti racun mematikan."

Hei, jangan seenaknya saja berkata hal-hal mengerikan begitu.

Yukinoshita lalu menuangkan air panas dari ceret pemanas dan menyeduh seteko teh hitam. Seusai ia menuangkannya ke cangkir kami masing-masing, teh itu segera kami minum supaya rasa yang tak enak pada lidah kami ini bisa segera hilang. Paling tidak, semuanya sudah kembali normal, dan aku pun bisa bernapas lega.

Kemudian, Yukinoshita segera membuka mulutnya, seakan ia ingin mengganggu suasana santai yang kini tengah kami nikmati. "Nah sekarang, ayo pikirkan cara untuk membuat ini jadi lebih baik."

"Bagaimana kalau Yuigahama tak usah memasak lagi?"

"Kau memang enggak mau memberiku kesempatan, ya?!"

"Hikigaya, yang tadi itu adalah usaha terakhir kita."

"Usaha terakhir? Jadi semua ini akan berakhir begitu saja?!" Ekspresi Yuigahama yang terkejut segera berubah jadi putus asa. Tampak murung, bahunya terturun dan ia menghela napas panjang. "Kurasa, memasak memang enggak cocok buatku... orang-orang menyebut itu sebagai bakat, 'kan? Nyatanya, aku memang enggak punya bakat."

Yukinoshita spontan sedikit berdesah. "...begitu, ya. Kurasa aku punya solusi"

"Solusi apa?" Tandasku.

"Berusaha lebih keras." Jawab Yukinoshita dengan tenang.

"Kausebut itu solusi?" Sejauh yang kuamati, itu justru jadi solusi paling buruk. Di titik ini, memang tak ada lagi yang bisa dilakukan selain memaksanya untuk lebih serius, sebab cuma itu pilihan yang tersisa.

Tapi jujur saja, hal tersebut akan selalu jadi percobaan yang sia-sia.

Pasti akan lebih mudah jika ia tinggal bilang, Hentikanlah, tak perlu berharap lagi. Mencoba begitu keras dan berusaha tanpa arti pada hal semacam ini, akan berakhir sia-sia. Jika Yukinoshita memang ingin menyerah terhadap Yuigahama, maka ia bisa memanfaatkan waktunya itu untuk bekerja keras pada hal lain. Pastinya itu akan lebih efisien.

"Berusaha keras adalah solusi paling tepat. Jika kita melakukannya dengan benar, hal tersebut akan berhasil." Tanggap Yukinoshita yang seakan sudah membaca pikiranku. Apa ia punya indra keenam, ya? "Yuigahama, tadi kaubilang kalau kau tak punya bakat, bukan?"

"Hah? Ah, iya, tadi aku bilang begitu."

"Tolong singkirkan pemikiran semacam tadi. Mereka yang tak pernah berjerih payah tak pantas iri pada mereka yang berbakat. Mereka yang gagal sampai berpikir seperti itu, karena mereka tak bisa membayangkan perihnya kerja keras yang dilakukan oleh mereka yang berhasil." Kata-kata Yukinoshita terasa begitu dingin. Tak terbantahkan jika kata-kata itu memang benar, hingga tak menyisakan ruang untuk mengelak.

Yuigahama kehilangan kata-kata. Pasti tak seorang pun pernah melontarkan kenyataan seperti itu padanya. Ekspresi panik dan kebingungan terlintas di wajahnya, hingga ia menutupinya dengan sebuah cengiran.

"Ta-tapi, eng... zaman sekarang sudah enggak ada lagi orang yang melakukan hal begini... sudah pasti itu enggak cocok buatku."

Seiring tawa malu-malu Yuigahama yang berangsur tersamar, terdengar suara berdenting dari cangkir yang diletakkan ke atas meja. Suaranya begitu tenang, terdengar pelan, dan masih bergemerincing pada lapisan kristalnya, yang secara tak sadar memaksa pandangan kami untuk tertuju ke arahnya. Ialah Yukinoshita, yang memancarkan hawa dingin ini, dan menghimpun aura di sekitarnya.

"...tolong berhenti untuk selalu menyesuaikan diri dengan sekelilingmu. Sungguh tak enak didengar. Apa kau tak malu membebankan sikap plinplan, ketidakmampuan serta kebodohan yang kaumiliki itu kepada orang lain?" Ujar Yukinoshita dengan nada keras. Ia jelas terlihat jengkel, sampai-sampai aku pun tersentak, hingga mau berseru, Wu-wuah...

Yuigahama yang tak berdaya, jatuh dalam keheningan. Ia menundukkan kepala hingga tak bisa lagi kulihat wajahnya, namun tangannya menggenggam erat ujung roknya seolah sedang menyingkap emosinya.

Pastinya ia orang yang cakap dalam berkomunikasi. Lagi pula, untuk dapat bergaul dengan anak-anak populer, penampilan menarik saja tidaklah cukup; kita harus bisa bersikap baik pada orang-orang. Dengan kata lain, perempuan ini memang pandai dalam menyesuaikan diri dengan orang lain. Yang juga berarti, ia tak punya cukup keberanian untuk menjadi dirinya sendiri, karena itu sangat beresiko baginya.

Akan tetapi, sementara Yuigahama menyesuaikan diri dengan sekelilingnya, Yukinoshita justru berusaha melangkah di jalannya sendiri. Ia memang orang yang keras kepala.

Mengingat kecenderungan mereka menjadi seorang penyendiri, mereka adalah dua tipe perempuan yang sangat berbeda. Jika kita membahas siapa yang lebih kuat, sudah jelas kalau itu Yukinoshita. Dari argumennya saja sudah terlihat.

Mata Yuigahama sudah berkaca-kaca.

"Lu-lu..."

Kurasa ia mau bilang, Lupakan saja kue keringnya. Suaranya yang parau dan terbata terdengar seperti sedang menangis. Karena bahunya yang gemetar, suaranya pun ikut gemetar.

"Luar biasa..."

"Hah?!" Tanggapku dan Yukinoshita dalam satu harmoni. Bicara apa perempuan ini? Tanpa sengaja kami pun saling bertukar pandang.

"Kau langsung berkata apa adanya... dan itu rasanya, sungguh... sangat keren..." Yuigahama menatap ke arah Yukinoshita dengan ekspresi menggebu-gebu. Wajah Yukinoshita menegang seiring ia mundur dua langkah ke belakang.

"Bi-bicara apa kau... apa kau tak dengar yang kukatakan tadi? Aku cukup yakin kalau kata-kataku tadi terdengar kasar."

"Enggak, kok! Sama sekali enggak! Yah, maksudku, kata-katamu memang kasar... dan jujur. Aku pun sempat tersentak."

Ya, itu memang benar. Sesungguhnya tak kusangka Yukinoshita akan mengatakan hal semacam itu ke sesama perempuan. Kata-kata yang diucapkannya lebih dari sekadar kasar, bahkan sempat membuatku tersentak. Meski aku yakin, yang dialami Yuigahama lebih dari sekadar tersentak.

"Biarpun begitu, aku sungguh berpikir kalau kau cuma ingin bersikap jujur padaku. Maksudku, bahkan ketika kau berbicara pada Hikki. Kalian memang saling melontar kata-kata pedas, namun kalian berbicara satu sama lain dengan begitu wajar. Yang selama ini kulakukan hanyalah berusaha mencocokkan diri dan berkata sesuai dengan pikiran orang-orang terhadapku, jadi ini hal baru bagiku..."

Yuigahama masih melanjutkan. "Aku minta maaf. Akan kulakukan lagi dengan benar." Ketika ia meminta maaf, tatapannya kembali tertuju ke Yukinoshita.

"..." Tak disangka, kali ini yang kehilangan kata-kata justru Yukinoshita. Mungkin ini pertama kalinya ia mengalami hal semacam ini. Ternyata masih ada segelintir orang yang setelah dicecar dengan sebuah kebenaran, tapi malah meminta maaf. Biasanya, wajah kita akan memerah dan jadi benar-benar marah karena itu.

Tiba-tiba Yukinoshita memalingkan kepalanya ke samping dan mengibaskan rambut dengan tangannya. Gelagatnya seakan sedang mencari-cari sesuatu tapi masih belum bisa menemukannya. Astaga... ia benar-benar payah saat memberi tanggapan spontan.

"...sudah, ajari saja ia cara yang benar. Dan kau, Yuigahama, pastikan kau sungguh-sungguh menuruti apa yang dikatakannya." Sesaat kucoba memecah kesunyian di antara mereka, Yukinoshita sedikit berdesah dan mengangguk setuju.

"Aku akan mencontohkannya padamu, jadi kau bisa mencoba dan membuatnya persis seperti yang kubuat." Yukinoshita lalu berdiri dan memulai persiapan. Ia gulung lengan bajunya ke atas, memecahkan beberapa telur ke dalam mangkuk, kemudian mengocoknya. Ia ayak sejumlah tepung terigu dalam takaran tepat dan mencampurnya hingga tak menggumpal. Lalu ia tambahkan gula, mentega, perisa, dan aroma vanili secukupnya.

Keahliannya membuat kecil hati Yuigahama. Ia bisa membuat adonan kue kering dalam sekejap mata dan mencetaknya dalam bentuk lingkaran, bintang, maupun hati. Kertas panggangan pun sudah siap di atas loyang pemanggang. Dengan hati-hati ia tempatkan adonan yang telah dicetak itu pada loyang, dan memasukkannya ke dalam oven yang telah dipanaskan.

Beberapa saat kemudian, aroma sedap tak tertahankan telah memenuhi ruangan. Mudah untuk menyimpulkan bahwa persiapan yang diselesaikan dengan tepat akan memberi hasil yang bagus. Dan sesuai dugaan, kue kering yang baru matang ini segera memanjakan mataku yang sempat perih sebelumnya. Yukinoshita lalu meletakkannya ke atas piring dan segera menyajikannya.

Benda itu terpanggang dalam balutan warna coklat muda yang sedap dipandang mata dan sudah jelas kalau itu bisa disebut kue kering. Kue itu dibuat dengan baik, mirip seperti yang dibuat bibiku. Itu sebabnya, kue kering tersebut kuterima dengan senang hati.

Saat kuambil salah satunya dan coba memakannya, tanpa sadar wajahku tersenyum.

"Enak sekali! Kau ini seorang pâtissier, ya?" Kubiarkan pujianku terlontar padanya. Aku tak bisa menahan diri untuk tak memakannya lagi. Soalnya itu sangat enak. Mungkin takkan ada lagi gadis yang membuatkanku kue buatannya sendiri, karena itu kuambil kesempatan ini untuk memakannya sekali lagi. Buatan Yuigahama tadi tak bisa disebut kue kering, makanya itu tak kuhitung.

"Rasanya benar-benar enak... Yukinoshita, kau luar biasa."

"Terima kasih." Yukinoshita tersenyum tanpa menyisipkan sarkasme di dalamnya. "Perlu kau tahu, aku hanya mengikuti apa kata resep. Maka dari itu, mestinya kau mampu membuat seperti apa yang kubuat ini. Jika masih belum berhasil, mungkin saja ada semacam kekeliruan."

"Boleh kue kering ini kupakai sebagai contoh?"

"Tak masalah. Kalau begitu, mari sama-sama berusaha, Yuigahama."

"Ba-baik... menurutmu, apa aku bisa membuatnya? Maksudku, membuat seperti yang kaubuat itu?"

"Tentu saja. Itu jika kau mengikuti apa kata resep." Yukinoshita tak lupa mengingatkannya. Dengan demikian, dimulailah percobaan Yuigahama yang kedua.


2 tanggapan:

Posting Komentar

 
;