Oregairu Bab 3 Bagian 1

==========================================================
Pembuka Bab 3... Dari sini akhirnya baru ane tahu, alasan di balik kenapa Yui yang jadi klien pertama Klub Layanan Sosial... Betewe, Hachiman memang berwawasan luas...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 3 - Berulang Kali, Yui Yuigahama Bersikap Gelisah

Bagian 1


"Biar Ibu tebak, jangan-jangan kau punya trauma saat di pelajaran Tata Boga, ya?"

Sudah kuserahkan makalah untuk mata pelajaran PKK sebagai pengganti absenku saat di pelajaran Tata Boga, namun entah kenapa aku masih saja dipanggil ke ruang guru.

Rasanya ini lebih mirip déjà vu saja. Kenapa yang menceramahiku justru Bu Hiratsuka?

"Maaf, Bu, bukannya Ibu ini guru Bahasa Jepang?"

"Ibu merangkap sebagai guru BK di sini. Bu Tsurumi yang memberi wewenang pada Ibu untuk menyelesaikan masalah ini."

Kulihat Bu Tsurumi sedang asyik menyiram bunga penghias di pojok ruangan. Bu Hiratsuka pun sejenak memandang beliau sebelum mengarahkan pandangannya kembali padaku.

"Pertama, Ibu mau dengar alasanmu bolos dari pelajaran Tata Boga. Jelaskan dengan singkat."

"Yah, saya hanya tak habis pikir kenapa dalam pelajaran Tata Boga saya mesti kerja berkelompok dengan murid lain..."

"Hikigaya, jawabanmu itu tak masuk akal. Apa sesakit itu kenanganmu saat kerja berkelompok? Atau jangan-jangan tak ada yang mau mengajakmu berkelompok?" Bu Hiratsuka memandangku, berlagak seolah cemas.

"Jelas tidak. Bu Hiratsuka ini bicara apa? Ini kan cuma tentang pelatihan memasak dalam pelajaran Tata Boga. Artinya, pelatihan semacam ini tak berguna jika diterapkan dalam kehidupan nyata. Contohnya ibu saya. Beliau bisa memasak karena belajar sendiri. Dengan kata lain, memasak adalah hal yang harus dipelajari sendiri! Sebaliknya, menghubungkan antara pelatihan memasak dengan kerja berkelompok adalah hal yang keliru!"

"Hal yang kaubicarakan tadi jelas berbeda dengan yang Ibu maksud."

"Maaf, Bu! Jadi Bu Hiratsuka mau bilang kalau ibu saya salah?! Sungguh keterlaluan! Sudahlah, tak ada yang perlu dijelaskan lagi! Saya mau keluar!" Jawabku seraya berpaling pergi.

"Hei! Jangan buat seolah Ibu yang jahat di sini, terus kau mencak-mencak tak keruan begitu padahal Ibulah yang harusnya marah!"

...rencanaku gagal, ya? Soalnya Bu Hiratsuka langsung merentangkan lengannya dan menarik bagian belakang kerah bajuku. Untuk beberapa saat wajah kami saling berhadapan, dan beliau menggantung kerahku layaknya mengangkat seekor anak kucing. Sial. Andai saja saat itu kujawab, Salah, toh? Saya ini bodoh banget, ya? Sambil menjulurkan lidah keluar, mungkin saja aku tak bakal jadi begini.

Beliau lalu menghela napas dan menepuk lembar makalahku dengan bagian belakang tangannya.

"Cara Membuat Kari Yang Lezat — untuk bagian ini tak ada masalah. Justru bagian setelah ini yang jadi masalahnya. 1. Potong bawang merah secara melintang, lalu iris tipis dan bumbui. Irisan tipis bawang merah akan mudah meresap dengan bumbu, sama halnya orang awam yang gampang terpengaruh dengan sekitarnya... kenapa hal itu malah kaucampur dengan sarkasme? Harusnya itu kaucampur dengan daging."

"Maaf, Bu, tolong berhenti bermain kata-kata... saya yang mendengarnya pun jadi ikut malu."

"Meski Ibu sudah tak ada niat lagi untuk membacanya. Paling-paling kau sudah tahu kalau Ibu bakal menyuruhmu untuk mengerjakan ulang." Bu Hiratsuka benar-benar terlihat sangar ketika sebatang rokok terhimpit di antara bibirnya.

"Memangnya kau bisa masak?" Tanya Bu Hiratsuka. Ekspresi beliau tampak sedikit kaget sewaktu membalik makalahku.

Pernyataan tersebut sudah terlalu melecehkan. Murid SMA zaman sekarang setidaknya sudah bisa memasak kari sendiri.

"Bisa, dong. Jika mempertimbangkan rencana masa depan, tentu saja saya bisa."

"Jadi maksudmu, kau sudah di umur yang wajar untuk hidup sendiri, begitu?"

"Bukan, bukan itu alasannya."

"Eh?" Tampang beliau seakan ingin bertanya, Lalu, apa?

"Soalnya, memasak adalah keahlian yang wajib dikuasai oleh bapak rumah tangga."

Setelah mendengar jawabku, beliau lalu mengedipkan mata bulatnya yang digarisi dengan maskara itu sekitar dua sampai tiga kali.

"Oh, kau mau jadi bapak rumah tangga, toh?"

"Ya begitu, deh, itu salah satu pilihan..."

"Setidaknya hentikan dulu tatapan mesummu itu selagi kau bicara tentang impian. Kalau mau membahas hal tersebut, harusnya kau menatap dengan mata penuh harap... Ibu cuma mau tahu saja, kok. Memangnya seperti apa sih rencanamu terhadap masa depan?"

Mungkin bukan ide bagus jika aku menjawab, Harusnya Ibu lebih khawatir tentang masa depan Ibu sendiri. Karena itu aku memilih untuk mengalah dengan memberi jawaban logis.

"Yah, saya akan coba berkuliah di perguruan tinggi mana pun yang mau menerima saya."

"Oh, begitu." Bu Hiratsuka mengangguk, isyarat setuju akan jawabanku. "Lantas, selesai kuliah kau mau cari kerja apa?"

"Akan saya cari wanita cantik nan terpandang untuk dinikahi, jadi wanita tersebut bisa selalu mendukung saya hingga akhir hayat nanti."

"Yang Ibu tanya itu kerja! Jawab dengan spesifik!"

"Bukannya tadi sudah saya bilang? Bapak rumah tangga."

"Kalau seperti itu, hidupmu malah tak jauh beda seperti gigolo! Sebuah cara hidup yang mengerikan untuk dijalani. Mereka menyinggung tentang masalah pernikahan pada pasangan mereka, lalu tanpa disadari mereka sudah tinggal dalam satu rumah, bahkan mereka membuat kunci duplikat dan mulai menaruh barang-barang mereka ke dalam rumah pasangannya. Lalu ketika saatnya mereka berpisah, tanpa tanggung-tanggung mereka ikut membawa pergi perabotan pasangannya seperti gelandangan yang sedang menjarah toko!" Cerocos Bu Hiratsuka, yang tanpa sadar menguak rahasianya sendiri dengan begitu detail. Sambil menggebu-gebu beliau menceritakan hal tersebut, air matanya pun berlinang.

Sungguh kasihan aku melihat beliau... sampai-sampai aku ingin menghiburnya.

"Tenang saja, Bu! Saya takkan mungkin seperti itu. Saya tetap akan mengurus segala urusan rumah tangga dan menjadi gigolo terbaik yang pernah ada!"

"Teori Superstring gila macam apa itu?!"

Saat mendengar cita-citaku yang telah dilecehkan sebegitu hinanya, diriku merasa seolah dipaksa berada di ujung perbatasan. Impianku sudah seperti di ambang kehancuran, karena itu aku mencoba berargumen untuk membela diri.

"Kedengarannya malah enggak enak kalau Ibu menyebut saya gigolo, soalnya kan, menjadi bapak rumah tangga juga enggak buruk-buruk amat."

"Hmm..." Bu Hiratsuka menatap tajam ke arahku sambil bersandar pada kursinya yang berdecit. Sikap tubuh beliau seakan berkata, Baiklah, kemukakan pendapatmu.

"Berkat kehidupan masyarakat yang telah mengakui kesetaraan gender seperti sekarang, sebuah hal yang wajar jika kaum wanita sudah membuat kemajuan di dalamnya. Bu Hiratsuka sampai bisa berprofesi sebagai guru begini adalah bukti nyata dari hal tersebut."

"...yah, Ibu pikir kau benar."

Kurasa aku berhasil menarik perhatian beliau. Berarti aku kini hanya harus lanjut bicara saja.

"Meski begitu, hanya butuh matematika sederhana untuk mengetahui fakta bahwa besarnya jumlah wanita yang memasuki dunia kerja ternyata berbanding lurus dengan jumlah pria yang kehilangan pekerjaan. Maksud saya, bukankah jumlah lapangan kerja akan selalu terbatas?"

"Betul..."

"Ambil contoh, ada sebuah perusahaan yang lima puluh tahun lalu memiliki tenaga kerja yang sepenuhnya diisi oleh seratus orang pria. Jika kemudian lima puluh orang wanita dipekerjakan di perusahaan tersebut, berarti lima puluh orang pria sisanya harus mencari pekerjaan di tempat lain. Namun itu hanyalah perhitungan yang benar-benar sederhana. Bila Ibu mempertimbangkan kemerosotan ekonomi yang terjadi seperti saat sekarang, maka hanya masalah waktu hingga para tenaga kerja pria jatuh dalam masa kemunduran."

Bu Hiratsuka merenung sembari menggaruk dagunya sewaktu mendengar argumenku.

"Lanjutkan."

"Bagi pihak perusahaan sendiri, yang ada justru mereka mengurangi jumlah tenaga kerjanya. Semua ini akibat dari meluasnya penggunaan komputer dan berkembangnya internet yang memungkinkan sebuah efisiensi kerja teroptimal dalam rangka meningkatkan tingkat efisiensi per kapita secara besar-besaran. Jika Ibu bertanya pada masyarakat tentang pendapat mereka, mungkin Ibu akan menemukan jawaban semacam, Memang tak ada salahnya jika kau bekerja keras, tapi itu malah merepotkan... kemudian, hal-hal seperti istilah, saling berbagi tugas kerja pun mulai bermunculan. Yah, kurang lebih seperti itu, deh."

"Ya, pendapat itu bisa diterima."

"Karena peralatan rumah tangga sudah semakin jauh berkembang dan juga lebih beraneka ragam, alhasil, takkan jadi masalah walau siapa pun yang menggunakannya. Bahkan kaum pria dapat melakukan berbagai pekerjaan rumah dengan baik."

"Eh, tunggu sebentar." Potong Bu Hiratsuka saat kujelaskan argumenku dengan penuh semangat tadi. Beliau lalu sedikit berdeham dan langsung menatap ke arahku. "Memang cukup sulit untuk tahu cocok atau tidaknya suatu hal, itu sebabnya... hal tersebut tak selalu berjalan sesuai dengan keinginanmu..."

"Yah, mungkin itu hanya berlaku bagi Ibu."

"...apa?" Kursi yang sempat beliau duduki tadi mendadak berputar sewaktu beliau mendaratkan tendangannya di pergelangan kakiku. Sakitnya bukan main. Setelah itu, tatapan geram beliau tertuju ke arahku. Aku kemudian lanjut berbicara untuk memperjelas maksud perkataanku sebelumnya.

"Ja-jadi intinya! Sewaktu Ibu memikirkan bagaimana beratnya membangun masyarakat yang ternyata di dalamnya ada orang yang bisa sukses tanpa bekerja, maka akan terasa konyol dan salah kalau ada yang terus-menerus menggerutu tentang pekerjaan atau mengeluh karena tak cukupnya lapangan kerja yang tersedia!"

Kesimpulan yang sangat tepat. Bekerja itu untuk dipercundangi. Bekerja itu untuk dipercundangi.

"...benar-benar, deh. Kau memang benar-benar sudah busuk." Bu Hiratsuka lalu menghela napas panjang. Kemudian, segera setelahnya, beliau menyengir dan tertawa kecil seakan baru terpikir sesuatu.

"Andai saja ada anak perempuan yang pernah menawarkanmu masakan buatannya sendiri, Ibu yakin kau akan mengubah cara pikirmu yang sudah busuk itu..."

Bersamaan dengan itu, Bu Hiratsuka lalu berdiri dan mulai menarik bahuku menuju pintu.

"Tu-tunggu dulu! Ibu ini mau apa?! Aduh-duh! Sakit, Bu!"

"Kembalilah kemari saat kau sudah belajar tentang martabat seorang tenaga kerja di Klub Layanan Sosial." Kemudian, dengan kuncian jepit pada bahuku, beliau lalu mengekang tubuh ini dengan sekuat tenaga dan menarikku keluar pintu.

Baru saja aku hendak berbalik dan mengeluh, tahu-tahu pintu sudah dibanting dengan keras. Kurasa itu artinya, Segala bentuk keberatan, bantahan, protes maupun keluhan takkan Ibu terima


Saat-saat itu rasanya bagai diriku habis didepak dari sekolah saja, bahuku terasa begitu nyeri sewaktu Bu Hiratsuka menguncinya... bila saja waktu itu aku mencoba melarikan diri, mungkin aku bakal dihabisi.

Orang yang mengekang tubuhku dengan gerak refleks cepat dan terukur seperti tadi adalah makhluk yang benar-benar mengerikan.

Dan tanpa menyisakan pilihan, kuputuskan untuk datang ke klub yang mengatasnamakan Layanan Sosial itu, yang menurut pengamatanku, salah satu kegiatannya adalah memecahkan teka-teki. Walau disebut sebagai sebuah klub, namun aku tak pernah tahu seperti apa kegiatan utama klub tersebut. Ditambah lagi, sosok ketua klubnya sendiri pun jauh lebih misterius. Sebenarnya ada apa sih dengan perempuan itu?



Mundur

4 tanggapan:

Ahmad Abdullah mengatakan...

Thanks For Translate!
Lanjutkan Gan!!

Cucundoweh mengatakan...

Oke gan... Malam ini ane update yang Bagian 2...

Ahmad Abdullah mengatakan...

HORE!!!!!

Cucundoweh mengatakan...

Sudah di-update gan...
Terima kasih sudah menunggu...

Posting Komentar

 
;