Oregairu Bab 2 Bagian 4

===========================================================================================
Penutup Bab 2... Di Bagian ini dipaparkan siapa saja pelaku dari 60 kalinya sepatu Yukino dimalingi waktu dia SD, juga alasan kenapa Yukino sampai-sampai ikut bawa pulang serulingnya... Kalau di LN memang diceritain lengkap... Tapi karena ini penutup, sudah pasti ada monolog keren dari Hachiman di akhir ceritanya... Gak ketinggalan, pemikiran Yukino juga gak kalah keren...
Selamat Menikmati...
===========================================================================================


Bab 2 - Sampai Kapan pun, Yukino Yukinoshita Tetap Keras Kepala

Bab 4


Aku teringat dulu ketika kuberdiri sendirian di depan papan tulis, dan seisi kelas mengelilingku sambil menyerukan, Min-ta-ma-af! Min-ta-ma-af! Dengan nyaringnya disertai tepuk tangan yang bergemuruh. Keadaan saat itu bisa dibilang seperti di neraka.

...pengalaman yang benar-benar menyakitkan. Itulah kali pertama dan terakhirku menangis di sekolah.

Namun kini aku baik-baik saja.

"Setidaknya, disukai banyak orang, masih lebih baik ketimbang terus-menerus dibenci. Kau ini memang tidak normal. Benar-benar tidak normal." Umpatku ketika kenangan pahit barusan terlintas kembali di pikiranku.

Yukinoshita sedikit berdesah. Ia lebih terlihat seolah sedang tersenyum, walau ekspresi yang ditunjukkannya jelas berbeda.

"Bukan berarti seakan akulah yang menginginkan hal itu." Tegas Yukinoshita yang kemudian lanjut berbicara. "Sebaliknya, jika mereka memang tulus suka padaku, bisa jadi itu hal yang bagus."

"Apa?" Tanpa sadar aku memintanya untuk mengulangi ucapan yang tak begitu jelas terdengar tadi. Dengan tampang serius, ia lalu menoleh ke arahku.

"Bagaimana sikapmu, jika di antara temanmu ternyata ada yang begitu populer di kalangan perempuan?"

"Pertanyaan konyol. Aku kan enggak punya teman, jadi enggak perlu risau mengenai itu." Jawabku menggebu-gebu. Seperti yang biasanya pria dewasa lakukan. Meski itu hasil pikiranku sendiri, aku sempat kaget karena bisa secepat itu menyanggah ucapannya.

Yukinoshita tampak terkejut. Ia terbengong seolah kehilangan kata-kata.

"...tunggu sebentar, kupikir kau mau mengatakan hal keren tadi." Yukinoshita menempelkan tangan di dahinya sembari menundukkan kepala. "Anggaplah kalau itu hanya pengandaian, dan beri aku jawaban."

"Kubunuh anak itu." Aku tak tahu apakah jawaban spontan itu bisa memuaskannya, namun Yukinoshita menganggukkan kepalanya seolah mengerti.

"Lihat, kau pun mau menyingkirkan temanmu itu, 'kan? Orang yang berperilaku begitu memang tak jauh beda dengan orang barbar yang tak berakal. Bahkan lebih tak berakal dari hewan sekalipun... dan sekolah tempatku belajar banyak diisi oleh orang-orang seperti itu. Walau aku yakin jika mereka berbuat demikian supaya orang-orang mau mengakui keberadaan mereka." Yukinoshita pun segera tertawa seakan mengejek.

Perempuan yang dibenci oleh kalangannya sendiri. Kategori seperti itu sudah pasti ada. Tak percuma aku bersekolah sampai dengan sepuluh tahun ini. Bukan berarti aku bisa paham karena berada di tengah-tengah mereka, melainkan karena berada di luar kalangan tersebutlah makanya aku bisa mengerti.

Dan posisi Yukinoshita hampir selalu berada di tengah-tengahnya, alhasil, sudah pasti ia dikepung dari segala arah. Tak bisa kubayangkan seperti apa hidup yang sudah dijalaninya selama ini.

"Sewaktu SD dulu, sepatu sekolahku disembunyikan sebanyak enam puluh kali, yang lima puluh di antaranya merupakan ulah para perempuan di kelasku."

"Aku jadi penasaran seperti apa sepuluh sisanya."

"Tiga di antaranya perbuatan anak lelaki. Dua lagi, karena guru yang menyimpankannya untukku. Lalu lima sisanya, seekor anjing pelakunya."

"Ternyata persentase perbuatan anjing lumayan tinggi."

Hal itu sudah di luar jangkauan imajinasiku.

"Namun hal tadi bukanlah bagian yang paling mengejutkan."

"Tak perlu bilang begitu, aku juga tak berniat ingin tahu, kok!"

"Berkat kejadian tersebut, setiap hari aku selalu membawa pulang sepatu sekolahku ke rumah, bahkan sampai serulingku pun ikut kubawa pulang." Ujar Yukinoshita dengan nada memelas. Tak sengaja aku jadi merasa simpati padanya.

Bukankah ia berbuat demikian karena sebuah alasan? Yaitu sebuah fakta yang mirip dengan yang pernah kulakukan dulu. Sebuah fakta yang terjadi ketika masih SD, yang membuatku merasa bersalah karena sewaktu tak ada siapa-siapa di kelas aku bebas menukar corong serulingku dengan corong milik anak lain.

Aku jadi merasa prihatin terhadap Yukinoshita.

Itu benar. Itu benar. Hachiman. Jangan. Berkata. Bohong.

"Itu pasti hal berat bagimu."

"Ya, memang berat. Semua itu karena parasku yang manis."

Kali ini, entah kenapa aku tak merasa jengkel saat mendengar ucapan yang disertai senyum getirnya tadi.

"Namun apa boleh buat. Tak ada manusia yang sempurna. Mereka lemah, berpikiran jelek dan gampang iri. Bahkan mereka berusaha menjatuhkan sesamanya. Anehnya lagi, semakin diberkati seseorang, maka semakin sulit baginya untuk hidup di dunia ini. Bukankah itu hal yang ironis? Itu sebabnya aku ingin mengubah dunia ini beserta orang-orang di dalamnya." Tatapan Yukinoshita tampak begitu serius dan di dalamnya tersimpan sebuah kesinisan yang mampu membekukan orang yang memandangnya.

"Bukankah itu terlalu gila, memaksakan dirimu ke dalam rencana yang tak wajar itu?"

"Mungkin kau benar. Tapi itu masih lebih baik ketimbang rencanamu yang hanya berdiam diri, membusuk kemudian mati... aku benci caramu yang menganggap kelemahan sebagai hal positif." Ucap Yukinoshita sambil memalingkan pandangannya ke arah luar jendela.

Yukino Yukinoshita memang perempuan yang cantik. Sebuah fakta tak terbantahkan yang sampai memaksaku untuk mengakuinya. Dari luar ia tampak begitu mengagumkan dengan nilai sempurna dan tanpa cela yang ia miliki. Akan tetapi, pribadinya yang keras justru menjadi sebuah borok bagi pencitraan karakternya. Hal demikian memang bisa membuat jelek citra seseorang. Namun ada alasan tersendiri kenapa ia masih mau memendam borok tersebut.

Aku memang tak begitu saja percaya dengan apa yang dikatakan Bu Hiratsuka. Tapi untuk seseorang yang begitu diberkati, Yukinoshita ternyata cukup menderita.

Pasti tak sulit menyembunyikan hal tersebut dengan berbohong pada diri sendiri dan orang di sekitarnya. Hampir semua orang di dunia ini berbuat begitu. Seperti halnya murid yang mendapat nilai tinggi di ujian, dan berkata kalau ia cuma beruntung saat mengerjakan soal. Begitu pula dengan gadis bertampang pas-pasan yang iri pada gadis yang lebih cantik, dan memaksakan anggapan bahwa dirinya jelek karena lemak yang ada di tubuhnya.

Tapi Yukinoshita tak seperti itu.

Ia tak pernah membohongi dirinya sendiri.

Bukan aku mau memuji sikapnya. Namun lebih karena kami punya kesamaan.

Dan selepas pembicaraan ini berakhir, Yukinoshita mengarahkan kembali pandangan pada buku bacaannya.

Ketika melihatnya, tiba-tiba ada perasaan aneh yang kurasakan.

Ada keyakinan tersendiri bahwa aku dan dirinya memang punya kesamaan. Kupikir ini akan bertentangan dengan prinsipku.

Namun entah kenapa keheningan seperti ini terasa nyaman bagiku.

Rasanya detak jantung ini berdetak semakin cepat. Seakan ingin lebih cepat dari irama jarum jam.

Mungkin...

Mungkin ia dan aku bisa...

"Begini, Yukinoshita... jika kau mau, aku bisa jadi te—"

"Maaf. Itu mustahil."

"Haaah? Tapi aku belum selesai bicara!"

Yukinoshita spontan menolak. Dan parahnya lagi, ia memasang wajah yang seakan jijik terhadapku.

Begitulah, gadis ini memang tak ada manis-manisnya. Kisah komedi romantis beserta isinya mending meledak saja sana.

— II —


Mundur
Lanjut

2 tanggapan:

Ahmad Abdullah mengatakan...

Thanks!

chemist anthusiast mengatakan...

Ngakak deh,makasih mimin yg baik.baca ini jd teringat adegan2 animenya.hahahaha

Posting Komentar

 
;