Oregairu Bab 2 Bagian 2

===========================================================================================
"Itu salam yang aneh. Kalau boleh tahu, itu salam dari suku mana, ya?" Hkhkhk...
Selamat Menikmati...
===========================================================================================


Bab 2 - Sampai Kapan pun, Yukino Yukinoshita Tetap Keras Kepala

Bagian 2


Sesampainya di paviliun, Bu Hiratsuka akhirnya melepaskanku. Mungkin beliau tak lagi cemas kalau aku bakal lari. Biar begitu, beliau pergi tanpa melepas pandangannya padaku. Tak ada sedikit pun rasa kasihan yang beliau tampakkan, bahkan tak ada ucapan seperti, Maaf, Ibu harus meninggalkanmu di sini, atau, Ibu benci harus berpisah denganmu... yang ada justru beliau memberi kesan membunuh, seolah hendak berkata, Kau tahu apa jadinya kalau mencoba lari, bukan?

Aku lanjut berjalan sambil tersenyum masam.

Ujung gedung paviliun ini sudah dipenuhi hawa dingin dan rasa sunyi yang mencekam.

Harusnya ada klub lain di sekitar sini, tapi tak sekalipun aku pernah mendengarnya. Mungkin saja ini karena perempuan itu, atau mungkin ini dampak dari aura aneh yang dipancarkan Yukino Yukinoshita.

Kutempelkan tanganku pada pintu, bermaksud ingin membukanya. Hal semacam ini bisa membuatku depresi, namun aku benci kalau harus lari. Semua akan baik-baik saja andai aku tak membiarkannya berlaku semena-mena terhadapku. Aku tak boleh menganggap jika berduaan dengannya di tempat ini bukanlah sebuah masalah. Aku harus berpikir bagaimana cara untuk membiasakan diri sekaligus menjaga jarak darinya.

Andai tak ada sesuatu di antara kami, tak mungkin aku merasa canggung dan tak nyaman begini. Karenanya, hari ini akan kugunakan satu-satunya cara untuk melenyapkan rasa takut akan kesendirian itu: Jika kau melihat orang asing, anggaplah ia memang benar-benar orang asing. Sayangnya, tak ada cara lagi selain cara tersebut.

Rasa canggung timbul akibat persepsi semacam, Kalau aku tak membuka pembicaraan... atau, Jika aku tak berusaha mencoba akrab dengannya... yang selalu muncul di dalam pikiran.

Sama halnya ketika ada seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelah kita saat di dalam kereta, dan kita berpikir, Sial! Kami jadi berduaan begini! Canggung banget rasanya!

Jika aku masih berpikiran seperti itu, maka semua ini takkan bisa berakhir. Semoga saja ia tetap diam dan asyik membaca bukunya.

Begitu pintu ruang itu terbuka, kulihat Yukinoshita sedang asyik membaca, posisi duduknya masih sama persis seperti kemarin.

"..."

Baiklah, pintu sudah kubuka, jadi apa aku juga perlu membuka pembicaraan? Pada akhirnya, aku pun hanya membungkuk kemudian berjalan melewatinya.

Yukinoshita memandangku sekilas lalu segera beralih kembali pada buku bacaannya.

"Kau sudah ada di tempat terasing begini — jangan-jangan kau ini memang diasingkan, ya?"

Ia benar-benar tak menghiraukanku dan rasanya diriku ini dianggap angin lalu saja. Kok situasi ini mirip seperti waktu aku di ruang kelas?

"Itu salam yang aneh. Kalau boleh tahu, itu salam dari suku mana, ya?"

Karena tak tahan akan kata-kata pedasnya, lebih baik kuucapkan saja salam yang kupelajari sewaktu TK dulu.

"...selamat siang."

Yukinoshita langsung tersenyum. Ini mungkin pertama kalinya ia menunjukkan senyumnya padaku. Ketika ia tersenyum, kusadari lesung pipi dan gigi taring yang mirip vampir itu jadi tampak terlihat. Memang kelihatan manis, sih, namun aku tak peduli hal sepele semacam itu.

"Selamat siang. Kupikir kau tak mau lagi datang ke sini." Itu senyum yang melecehkan, sebuah pelanggaran yang setingkat dengan Gol Tangan Tuhan Maradona.

"Ja-jangan terlalu dipusingkan! Kalau aku tak kemari, sama saja aku mengaku kalah, cuma itu! Ja-jangan salah paham dulu!"

Pembicaraan tadi justru agak mirip pembicaraan yang ada dalam kisah komedi romantis. Bedanya, aku yang jadi pihak perempuan dan Yukinoshita yang jadi pihak laki-lakinya. Dan bukan seperti ini yang aku mau.

Komentarku tak tampak menarik perhatiannya. Sebaliknya, ia malah melanjutkan pembicaraan seakan tak peduli dengan tanggapanku.

"Padahal sudah dilecehkan sedemikian rupa, wajar kalau tak mau datang lagi... jangan-jangan kau masokhis, ya?"

"Bukan..."

"Kalau begitu, penguntit?"

"Jelas bukan. Hei, kenapa kaukira aku mau menguntitmu?"

"Oh, jadi bukan, ya?"

Kurang ajar... ia memiringkan kepalanya dan memasang wajah seolah bingung! Kuakui saat itu ia tampak manis, tapi aku tak peduli sama sekali!

"Ya iyalah! Aku tak terima kau langsung beranggapan begitu."

"Ya, soalnya aku sempat yakin kalau kau suka padaku." Ujar Yukinoshita dengan ekspresi datar di wajah dinginnya.

Yukinoshita memang punya wajah yang manis, bahkan untuk orang sepertiku yang tak punya teman ini, sampai ikut mengakuinya.

Sudah pasti ia perempuan paling cantik di sekolah ini.

Meski demikian, sikap percaya dirinya itu sudah di luar kewajaran.


1 tanggapan:

Ahmad Abdullah mengatakan...

Thanks For Translate!

Posting Komentar

 
;