Oregairu Bab 2 Bagian 1

===========================================================================================
Pembuka Bab 2... Banyak sekali istilah-istilah manga Tinju Bintang Utara di Bagian ini... Ane juga baru tahu selain chuunibyou ternyata ada juga sindrom kounibyou... Dan ini salah satu adegan yang gak ada di anime...
Selamat Menikmati...
===========================================================================================


Bab 2 - Sampai Kapan pun, Yukino Yukinoshita Tetap Keras Kepala

Bagian 1


Saat keluar dari ruang kelas setelah jam pelajaran berakhir, kulihat Bu Hiratsuka sedang menungguku sambil menyandarkan dirinya ke tembok. Beliau sudah tampak seperti sipir penjara yang berdiri tegap sambil melipat kedua tangannya. Kalau boleh bilang, pasti akan terasa cocok apabila beliau berpakaian militer dan memegang cambuk di tangannya. Yah, yang namanya sekolah memang mirip seperti penjara, setidaknya itu bukan imajinasi yang terlalu berlebihan. Maksudku, sekolah pun bisa disamakan seperti Alcatraz ataupun Cassandra. Pastinya aku akan bersyukur andai sang Penyelamat Akhir Zaman bergegas datang menolong.

"Hikigaya. Waktunya kegiatan klub."

Seketika itu darahku langsung membeku. Sial, aku tertangkap. Kalau aku sampai digiring ke ruang klub, mungkin kehidupan sekolahku ini sudah tak punya harapan lagi.

Yukinoshita itu orang yang angkuh sejak lahir, kata-kata yang terucap dari mulutnya bagaikan ular berbisa. Sangat kasar, bahkan tak ada manis-manisnya. Apa makhluk sepertinya itu bisa disebut tsundere? Yang benar saja. Ia cuma gadis kurang ajar.

Sambil tersenyum cuek, Bu Hiratsuka tak menghiraukan keenggananku yang tampak jelas ini.

"Ayo pergi." Ujar Bu Hiratsuka sembari berusaha merangkul lenganku. Aku menghindar. Tak tanggung-tanggung, beliau langsung menjulurkan tangannya lagi. Aku pun kembali mengelak.

"Eng... asal Ibu tahu... jika saya pikir-pikir lagi, yah, di antara sekian banyak hal, sistem pendidikan di negara kita ini harusnya saling mendukung juga menghormati kebebasan murid-muridnya, oleh karena itu... saya merasa keberatan jika dipaksa-paksa begini."

"Sayangnya, sekolah merupakan sebuah institusi yang dirancang untuk melatih murid-murid agar bisa menjadi bagian dari masyarakat yang baik. Di kehidupan sesungguhnya, pendapatmu barusan tak mungkin akan dihiraukan. Karena itu, kau pun harus terbiasa untuk dipaksa-paksa orang."

Kali ini bukan sebuah pukulan biasa yang beliau lesatkan, melainkan sebuah serangan telak dari sebuah tinju yang terpilin dan menusuk tubuhku. Sangat kuat, sampai-sampai aku tak bisa bernapas. Tanpa menyia-nyiakan momentum, beliau berhenti menyerang dan langsung merangkul lenganku.

"Kau tahu apa jadinya jika coba membangkang, bukan? Jadi jangan coba-coba memancing tinju Ibu ini, ya."

"Jadi Ibu benar-benar serius mau memakai tinju itu?"

Perih ini tak mungkin bisa lebih buruk lagi.

Selagi berjalan, mulut Bu Hiratsuka mendadak terbuka seakan beliau baru teringat sesuatu.

"Oh, iya. Jika kau mencoba kabur lagi, maka secara tak langsung kau dianggap kalah dari Yukinoshita. Segala bentuk keberatan takkan Ibu terima, lo. Jadi, jika kau tetap tak menghiraukannya, maka jangan harap kau bisa lulus di tahun ketigamu."

Aku sudah tak mungkin lagi bisa lari dari beliau, bahkan dari segi mental sekalipun. Bu Hiratsuka berjalan di sampingku, suara ketukan dari hak sepatu berbunyi di setiap langkahnya. Dan yang terburuk, beliau merangkul pergelangan tanganku. Kalau dilihat lagi, ini tampak seolah Bu Hiratsuka menjadi seorang wanita penghibur yang memakai kostum guru sekolah dan sedang menggandengku ke kabaret cosplay miliknya.

Meski begitu, ada tiga hal yang membedakannya, yaitu, aku tak bisa membayar beliau sepeser pun, beliau sebenarnya hanya merangkul ujung sikutku bukan seluruh lenganku, dan aku tak merasa senang maupun tertarik sama sekali. Yah, terkecuali fakta kalau ujung sikutku sempat menyentuh payudara Bu Hiratsuka.

Satu-satunya tempat yang ingin beliau tuju sekarang hanyalah ruang klub.

"Eng... saya takkan coba kabur lagi kok, jadi biar saya jalan sendiri saja, ya. Ibu juga pasti sudah tahu kalau selama ini saya selalu sendiri. Jadi tak akan apa-apa jika saya jalan sendiri. Lagi pula, kalau tak melakukannya sendiri, saya justru tak bisa tenang."

"Jangan bicara begitu. Ibu memang mau pergi bareng, kok." Bu Hiratsuka tersenyum lembut sambil mendesah pelan.

Ini membuatku kaget; ini bukan ekspresi yang biasanya beliau tunjukkan padaku.

"Membiarkanmu kabur bisa bikin Ibu gregetan. Jadi, meski tak tega, Ibu harus memaksamu pergi ke sana supaya stres Ibu ini bisa berkurang."

"Alasan yang tak masuk akal!"

"Mau bagaimana lagi? Meski Ibu sebenarnya sudah capek, Ibu masih harus menemanimu sampai ke sana. Semua ini demi kelancaran program rehabilitasimu itu sendiri. Bisa dibilang, ini salah satu contoh dari ikatan kasih sayang seorang guru terhadap muridnya."

"Ibu bilang yang begini ini kasih sayang? Maaf, Bu, saya tidak butuh."

"Nah, jawabanmu semacam itu yang malah menunjukkan kalau kau memang sudah menyimpang, kau tahu? ...apa saking menyimpangnya sampai-sampai titik urat nadimu jadi terbalik? Lalu kau mau coba membangun sesuatu semacam Makam Kaisar Salib Suci, begitu?"

Bu Hiratsuka ini memang penggila manga...

"Padahal, kau bisa tampak lebih manis kalau mau sedikit menurut. Kau tak bisa menikmati hidup kalau masih punya pandangan menyimpang seperti itu."

"Yah, dunia itu kan tak selalu dipenuhi padang bunga matahari dan aster. Jika masyarakat terbentuk oleh pikiran kalau orang harus selalu bahagia, tentunya Hollywood takkan membuat film-film sedih, ya 'kan? Soalnya, ada sebagian orang yang juga senang dengan tragedi."

"Argumen seperti itu memang ciri khasmu. Wajar, sih, bagi remaja kalau berpikiran sinis, tapi kalau kau ini sudah jadi penyakit namanya. Jenis penyakit yang sering diidap anak kelas dua SMA. Kalau dipikir lagi, ternyata kau memang pengidap kounibyou." Ujar Bu Hiratsuka sambil tersenyum bangga.

"Jadi Ibu memperlakukanku seperti orang penyakitan, begitu? Kejam banget. Lagi pula, apa itu kounibyou?"

"Kau suka manga dan anime, tidak?" Beliau mengganti topik pembicaraan dan mengabaikan pertanyaanku.

"Yah, bukannya saya tidak suka, sih."

"Lalu apa yang kausuka dari hal itu?"

"Eng, soalnya... itu mewakili kebudayaan Jepang. Itu juga bagian dari budaya modern yang bisa jadi kebanggaan Jepang. Aneh kalau saya tak mengakui fakta tersebut, ya 'kan? Pangsa pasar domestik bisa semakin berkembang karenanya, maka dari itu sisi ekonomi pun harus disangkut-pautkan di sini."

"Begitu rupanya. Lalu kalau karya sastra umum? Seperti Keigo Higashino dan Koutarou Isaka contohnya?"

"Saya juga baca, tapi jujur, saya lebih senang karya yang ditulis oleh mereka ketika masih belum terkenal."

"Terus, kalau label penerbit light novel favoritmu?"

"Gagaga... Kodansha Box juga. Saya tak tahu apakah Ibu juga menggolongkan Kodansha Box sebagai salah satu penerbit light novel. Oh, iya, untuk apa Ibu tanya-tanya hal barusan?"

"Yah, kau memang seperti yang Ibu duga. Tapi dalam artian negatif. Contoh sempurna seorang pengidap kounibyou."

"Makanya tadi saya tanya, apa itu kounibyou?"

"Kounibyou ya kounibyou, sebuah ungkapan umum terhadap kondisi mental yang dialami murid-murid SMA. Mereka pikir kalau bersikap sinis itu terlihat keren dan mereka selalu memberi tanggapan dengan kalimat-kalimat yang populer di internet, contohnya, Bekerja itu untuk dipercundangi. Ketika sedang membahas tentang pengarang novel dan manga, mereka berkata, Aku lebih senang karya yang ditulis oleh mereka ketika masih belum terkenal. Mereka mencemooh sesuatu yang sedang digandrungi orang-orang dan memuja hal-hal yang sifatnya tak jelas. Dan terlebih lagi, mereka mengejek para otaku padahal mereka sendiri sebenarnya tak berbeda jauh. Mereka menerka-nerka seakan tahu segalanya lalu menyebarkan logika-logika sesat. Intinya, mereka tak disukai orang-orang."

"Tak disukai orang-orang... cih! Logis sekali, sampai-sampai tak bisa saya sangkal lagi!"

"Oh, bukan begitu... Ibu ini sedang memujimu. Murid-murid zaman sekarang sudah pintar-pintar dan mudah menerima kenyataan. Sebagai guru, Ibu takkan mengejek kesalahan yang kauperbuat. Maksudnya, Ibu menganggapmu layaknya orang yang sudah dewasa, jadi ini sama seperti kita sedang berbisnis."

"Murid-murid zaman sekarang, ya?" Aku hanya bisa tersenyum kecut. Pernyataan barusan itu sudah tampak jelas dan aku jadi merasa sedikit jengkel, karena itu aku sempat berniat membantahnya. Meski begitu, kusadari Bu Hiratsuka sudah menatap mataku dengan pandangan serius dan aku pun cuma bisa menundukkan bahu.

"Kau memang terlihat sedang mengatakan hal-hal keren tapi itu justru menandakan karakteristik asli seorang kounibyou."

"Oh... benarkah?"

"Sebenarnya Ibu tak mau kau jadi besar kepala, tetapi Ibu memang sedang memujimu, kok. Ibu senang dengan orang yang memegang teguh pendiriannya, meskipun orang itu menyimpang."

Mendengar beliau yang tiba-tiba berkata senang malah membuatku terbengong layaknya orang bodoh. Aku jadi bingung harus menjawab seperti apa.

"Jadi, sebagai orang yang sudah menyimpang, bagaimana pendapatmu tentang Yukino Yukinoshita?"

Langsung kujawab. "Gadis kurang ajar." Aku membencinya seperti ingin memberi racun pada orang yang berkata, Lebih baik kau menyerah saja menggubah lagu Concrete Road.

"Begitu rupanya." Bu Hiratsuka menyengir. "Yukinoshita memang murid yang luar biasa, tetapi... yah, bagi mereka yang mereka diberkati sesuatu, tentunya akan ada penderitaan tersendiri ketika memiliki sesuatu itu. Biar bagaimanapun, ia tetap gadis yang sangat manis."

Dalam hal apa? Pertanyaan itulah yang mencuat di benakku.

"Ia pun pasti mengidap penyakit yang hampir sama denganmu. Yukinoshita orang yang jujur dan senantiasa benar, namun sekelilingnya tak demikian dan justru bersikap tak adil. Ibu yakin hidupnya penuh kesulitan."

"Ia tak selalu benar, tapi saya yakin sebagian besar orang-orang akan setuju dengan Ibu."

Bu Hiratsuka langsung melihatku seolah ingin berkata, Itulah yang Ibu pikirkan.

"Sudah Ibu duga seperti itu — kalian berdua saling bertolak belakang. Ibu jadi khawatir. Tak ada satu pun di antara kalian yang bisa berbaur dengan baik di masyarakat, karena itu Ibu mengumpulkan kalian dalam satu tempat."

"Ternyata itu memang ruang karantina..."

"Ya, begitulah. Sungguh menyenangkan ketika melihat tingkah murid-murid seperti kalian berdua ini. Mungkin Ibu cuma sekadar mau tahu bagaimana jadinya kalau kalian akrab." Beliau lalu tertawa dengan senangnya.

Kemudian, seperti yang sudah-sudah, beliau dengan cepat mengunci pergelangan tanganku. Kedua lengan beliau sudah menguciku di seputaran tubuhnya, merangkul tanganku di setiap sisinya. Bela diri campuran ini pasti pengaruh dari manga. Sikutku sampai mengeluarkan bunyi patahan seiring dengan payudara besar Bu Hiratsuka yang menggesek-gesek lenganku.

...ampun, deh. Lagi-lagi aku kesulitan untuk lari dari jurus beliau yang satu ini. Sungguh menjengkelkan, tapi lama-lama aku pun akhirnya terpaksa pasrah.

Sudah cukup, aku tak tahan lagi.

Saat itu sesuatu terlintas di pikiranku, karena jumlahnya ada dua, maka seharusnya kata itu disebut dengan lengkap, yaitu, sepasang payudara.



Mundur

1 tanggapan:

Ahmad Abdullah mengatakan...

Thanks For Translate!

Posting Komentar

 
;