Oregairu Bab 1 Bagian 3

==========================================================
Permainan di ruang tertutup bersama seorang gadis cantik...?
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 1 - Biar Bagaimanapun, Hachiman Hikigaya Memang Busuk

Bagian 3


Sejujurnya, meninggalkanku sendiri seperti ini justru membuatku lebih nyaman. Berada di lingkungan yang dikucilkan seperti ini juga sudah biasa bagiku, malah bisa membuatku merasa tenang. Bunyi jarum jam di dinding yang bergerak perlahan pun semakin jelas terdengar.

Eh, tunggu, yang benar saja? Apa cerita ini tiba-tiba berkembang ke kisah komedi romantis? Semuanya justru jadi tampak konyol. Walau sebenarnya aku tak punya keluhan mengenai situasi ini.

Aku jadi teringat lagi kenangan pahitku saat masih SMP dulu.

Jam pelajaran telah berakhir; menyisakan dua orang murid di dalam ruang kelas.

Tirai terkibar dengan lembutnya seiring dengan semilir angin dan remang-remang matahari senja yang memenuhi ruangan. Kemudian, terucaplah sebuah pengutaraan dari seorang anak lelaki.

Sampai dengan saat ini, suara perempuan itu masih terngiang jelas di telingaku.

Kita berteman saja, ya?

Sungguh sebuah kenangan pahit. Setelahnya, kami memang berteman tapi tak pernah ada percakapan semenjak itu. Berkat kejadian tersebut, aku jadi tak pernah lagi berniat mencari teman, bercakap-cakap, apa lagi berpacaran. Bisa dibilang, kisah komedi romantis yang melibatkan diriku dengan perempuan cantik dalam ruangan tertutup, tak pernah berjalan lancar di kehidupan nyata.

Terbiasa akan hal itu, membuatku bisa menghindari perangkap semacamnya hingga saat ini. Para perempuan cenderung menunjukkan ketertarikannya hanya pada hal-hal sensual atau para riajuu dan makhluk sejenisnya, lalu menjalin hubungan yang tak sehat dengan mereka.

Singkat kata, mereka musuhku.

Sampai sekarang aku selalu berusaha supaya kenangan itu tak kualami kembali. Cara tercepat agar bisa terhindar dari situasi yang seperti kisah komedi romantis ini yaitu membuat diriku menjadi orang yang dibenci. Mungkin aku akan terluka, namun demi harga diri ini, sikap bijak dan semacamnya tak lagi kuperlukan!

Menurut teori, sebaiknya kuintimidasi Yukinoshita dengan tatapan benci. Membiarkannya terbunuh oleh tatapan hewan buas!

Grrrr!—

Spontan membalas, Yukinoshita menatap hina padaku seakan aku ini onggokan sampah. Ia memicingkan mata diselingi desahan panjang. Dan dengan suaranya yang kecil ibarat desiran sungai, ia menegurku,

"... daripada berdiri sambil menggerutu di situ, kenapa kau tak ambil kursi lalu duduk?"

"Hah? Oh, benar juga. Maaf."

Wuaah ..., apa-apaan barusan itu? Memangnya ia itu hewan buas, apa?

Tatapan seperti itu bisa membunuh lima orang tak berdosa. Sama halnya yang menimpa penyanyi, Tomoko Matsuhima yang pernah diterkam binatang buas. Apa tanpa kusadari — tanpa sengaja — aku memohon ampun padanya? Meski ia tak punya niat mengintimidasiku, namun Yukinoshita sudah menjadikanku layaknya seorang tawanan. Dengan hati yang terguncang ini, kuambil sebuah kursi kosong kemudian duduk.

Setelahnya, ia tak begitu menunjukkan perhatiannya lagi padaku. Di saat yang sama ia kembali membuka buku bacaannya. Terdengar suara dari lembar halaman yang ia balik. Jika hanya melihat dari sampulnya saja, aku tak bisa tahu buku apa yang sedang ia baca, namun mungkin itu semacam karya sastra. Mungkin saja karya Salinger, atau Hemingway, atau bisa saja Tolstoy. Seperti itulah kesan yang ia tunjukkan.

Yukinoshita terlihat layaknya seorang perempuan terhormat, itu karena ia memang seorang murid teladan, dan tanpa embel-embel apa pun, ia akan selalu jadi gadis yang cantik. Namun layaknya orang dari kalangan elit, Yukino Yukinoshita pun terasingkan dari segala lingkungan sosial. Seperti halnya namanya, yuki no shita no yuki (salju di bawah salju), seberapa pun cantik dirinya, takkan ada yang bisa menyentuh ataupun menjangkaunya. Yang bisa orang-orang lakukan hanyalah membayangkan kecantikannya saja.

Sejujurnya, aku tak pernah mengira bakal bisa duduk berdekatan dengannya. Kalau saja aku punya teman, pasti aku membanggakan hal ini pada mereka; mungkin aku akan bertanya apa yang harus kuperbuat dengan si nona cantik di ruangan ini.

"Ada apa?" tanyanya.

Mungkin karena aku terlalu sering menatapnya, Yukinoshita jadi mengeryitkan alis matanya karena tak senang dan balas menatapku.

"Oh, maaf. Aku hanya bingung harus berbuat apa."

"Bingung?"

"Soalnya, tanpa penjelasan apa-apa aku dipaksa kemari."

Disertai suara berdecak dari mulutnya, dengan tegas Yukinoshita menutup buku bacaannya; seolah ingin menunjukkan kekesalannya ke seluruh dunia. Lalu setelah menyayatku dengan tatapan tajamnya, ia pun menghela napas karena pasrah dan mulai berbicara.

"Benar juga .... Baiklah, kita adakan permainan."

"Permainan?"

"Benar. Permainan menebak identitas klub ini. Jadi menurutmu, klub apa ini?"

Permainan di ruang tertutup bersama seorang gadis cantik ....

Dan aku merasa jika ini bukan sesuatu yang akan menjurus ke adegan mesum. Daripada disebut permainan yang seru, suasana yang ditampakkan Yukinoshita lebih seperti sedang mengasah belati hingga tajam. Saking tajamnya sampai-sampai aku berpikir akan mati jika aku kalah di permainan ini. Hilang ke mana suasana komedi romatis yang tadi? Bukannya ini malah seperti adegan di dalam manga Kaiji?

Karena takutnya diriku akan kalah, keringat dingin mengucur dari tubuhku. Aku pun akhirnya meninjau baik-baik ruangan ini untuk mencari petunjuk.

"Apa ada anggota lagi selain dirimu di klub ini?"

"Tak ada."

Jika memang demikian, lalu bagaimana caranya klub ini bisa bertahan, ya? Pertanyaan bagus.

Cukup sudah. Tak ada petunjuk sama sekali.

Eh, tunggu. Sebaliknya, hal tersebutlah petunjuknya. Bukan bermaksud sombong, sih, namun karena sedari kecil aku sudah jarang berteman, bisa dibilang aku benar-benar jago jika dalam permainan satu orang. Aku cukup percaya diri jika menyelesaikan soal semacam TTS atau sejenisnya. Malah kupikir, mungkin aku pun bisa menang dalam lomba cerdas cermat antar-SMA. Jadi inilah perkiraanku: jika ini adalah klub yang tak bisa lagi merekrut anggota baru, maka anggota lain selain dirinya takkan pernah ada. Banyak yang bisa aku tangkap dari hal tesebut. Dan jika menyatukan fakta-fakta barusan, maka jawabannya sudah jelas—

"Klub Sastra?"

"Oh? Lalu alasannya?" Yukinoshita bertanya penuh antusias.

"Lingkungannya yang khas; tak begitu memerlukan perlengkapan khusus dalam kegiatannya; dan fakta kalau klub ini tak dibubarkan meski kekurangan anggota. Singkatnya, kegiatan klub ini tak membutuhkan banyak biaya. Terlebih, kau sedang membaca buku. Jawabannya pun sudah kautunjukkan dari awal."

Menurutku itu hipotesis yang sempurna. Meski tanpa bantuan dari anak SD berkaca mata, aku masih bisa menjelaskannya dengan gamblang. Ini perkara mudah.

Hal itu harusnya membuat sang Nona Yukino merasa kagum dan berkata, Begitu rupanya ..., sambil diselingi sedikit rasa kesal.

"Salah."

Dengan nada tegas ia menjawab, yang kemudian diselingi tawa sinis.

Kini ia malah membuatku jengkel. Memangnya dirinya itu Manusia Super Sempurna yang tanpa cela, apa? Justru ia tampak seperti Manusia Super Kejam.

"Jadi, ini klub apa?"

Yukinoshita tampak tak peduli dengan tanggapanku yang sedikit mengesankan rasa jengkel tadi. Ia kemudian memberi penjelasan, sebagai tanda bahwa permainan ini masih berlanjut.

"Baiklah, akan kuberi petunjuk. Keberadaanku ini, yang kulakukan ini adalah bagian dari kegiatan klub."

Akhirnya petunjuk yang ditunggu-tunggu muncul. Tapi tetap saja tak sedikit pun membantu. Ujung-ujungnya aku malah kembali ke jawabanku sebelumnya — Klub Sastra.

Tunggu dulu ..., tunggu sebentar dan tenanglah dulu. Santai saja. Santailah dulu, Hachiman Hikigaya.

Ia bilang tadi tak ada lagi anggota klub selain dirinya. Meski begitu, klub ini masih bisa tetap aktif.

Dengan kata lain, bisa saja ada anggota tak terlihat, contohnya seperti hantu, ya 'kan? Lalu yang ganjil dalam cerita ini adalah, anggota tak terlihat itu ternyata memang benar-benar hantu. Akhirnya kisah komedi romantis ini pun berkembang ke hubungan antara diriku dengan seorang hantu perempuan jelita.

"Komunitas Penelitian Hal Gaib!"

"Yang kutanyakan adalah klub."

"Eng ..., Klub Penelitian Hal Gaib!"

"Salah ...." Ia pun menghela napas. "Konyol sekali. Mana ada yang namanya hantu."

Padahal ia bisa saja berkata layaknya gadis manis seperti, Ma-mana ada yang namanya hantu! A-aku bilang begitu, bu-bukannya karena aku takut lo, ya. Yang terjadi justru ia memandangku dengan pandangan yang begitu menghina. Seolah matanya berkata, Orang-orang bodoh, mati saja sana.

"Aku menyerah. Aku benar-benar tak tahu."



1 tanggapan:

Ahmad Abdullah mengatakan...

Thanks For Translate

Posting Komentar

 
;